Monday, December 19, 2011

FIVE MINUTES RAVES (MERACAU)

Avatar
Nowadays, not too nowadays though, world is crowded by, especially through audio-visual media i.e. movie, the word ‘Avatar’. But, what actually Avatar is? Avatar, or Avatara in Hinduism religion, can be defined as incarnation of god, especially Vishnu, in human or animal form in order to help mankind from harm and injustice. Vishnu or Agni or Chu Ta is one of the major of gods of Hinduism and Indian mythology, beside Indra, Soma, and Shiva, that is regarded as the god of peace, the preserve of the universe. According to two beliefs, human may accomplish by following predetermined paths of task faithfully, and good and evil powers (gods and demons) contend for dominion of the world. Unfortunately, the balance of the power was troubled by evil. That’s why Vishnu descends to earth in a mortal form (avatar) to save humankind and world. Rama and Krishna are two important descents that are popularly recognized. Customarily, he is depicted in dark blue with four arms: one hand holds a lotus; a second holds a conch; a third holds a discus; and the fourth carries a mace. While lotus symbolizes unfolding of creation and conch symbolizes the origin of existences, discus and mace apparently were gained by Vishnu as reward for those who can defeat Indra, the god of the atmosphere, storms, rain, and battle.  Lately, based on lotus and conch, Vishnu is assumed as the four elements of the world i.e. earth, air, fire and water. But as we know, numbers of movies represent Vishnu in his form of Avatar refers only to earth. The rest is forgotten, and that cannot be forgiven.

Aphonia
Related to a movie still, there is a Japan’s movie entitled The Snail Restaurant. What will be discussed is not about how the story is, for there are lots of aspects that can be analyzed, but rather than the main character of the movie. Rinko or Furino Rinko is actually an excellent girl with skill and talent. Little Rinko is an unfortunate girl for her the people of her villages always make rumors that her mother likes men so much.  This makes Rinko sad that and calls a mind by leaving her mother and went to her grandma in the city. Within her grandma that is great in making dishes, she learns everything about it until she makes up her dream to manage a restaurant. But before she conveys her dream, her grandma has already passed on and left to her a grind to make miso (one of Japanese dishes). In a short time, she falls in love with Turk man that has same interest in dishes. But, unfortunately, the truth is revealed: His love is a thief that steals everything belongs to Rinko: money, love and her dream. The result of this is aphonia. Rinko looses her power of speech and makes conversation with helps of a note. She writes everything on it each time conversation is held. As a term, aphonia defines itself as some kind of incapacity in speaking a language with no relation to disease or injury over speech instruments (articulation). It is rare from other characters in most of the movies since the main character is the significant one that delivers within him or her message of the story in the movie. In this movie, Rinko speaks not a single word except one: oishii, which means delicious. Related to nowadays situation of the world, one maybe keeps this aphonia to decrease sounds and voice so that, for a little while, one can have a peaceful life far form noise and crowd. Rinko is a fine model of aphonia, living a life without voice and sound, though a the fact drags her down, as the climax of the movies is revealed, that she was born form her  mother that keeps the virginity till the end of life.

Agraphia
Recently, I have been writing whether articles, short story, poem, etc. using ecological view for its perspective –yet, I haven’t published the writings in this blog. The problems occurs when I write some writings that have no classification or, let‘s say, genre among what I have said before. Surely, the writings talk about everything in exception that it uses one and only ecology for their perspective. Things definitely have names and I assure myself to give names for my writings unless if I condemn myself to lose my creativity in creating works before I have to be defeated upon agraphia. The word agraphia consists of two main root of words, i.e. a which means without or not, and graphia, that is derived from Greek graphein, which means write. In other word, agraphia is meant by having incapacity to state one’s mind over writing. I have experience how does it feels to be an aphasic person, which is not only lack in understanding language whether speech or written, but also lack in holding conversation, stating myself, and recognizing sign and symbol. And I don’t want this recent problem turns me back to that situation. At last, action is accomplished. Based on fact that man is animal educandum (homo faber) I made myself status or genre upon my writing. I call it ecography, that in indirect way makes one as ecograper. However, in my opinion, name is matter, because only human being that makes names upon things before he or she gives a damn upon something. [Pipin Saswa]

Subang-West Java, December 18, 2011

Saturday, December 10, 2011

Dhandhaka

Kau

Telah sampai rencana pada batasnya
Ketika kampung demi kampung kumasuki
Sekaligus kutinggalkan dalam bait-bait puisi
Akhirnya aku pulang menujumu

Entah seperti apa aku harus menyebutmu
Mungkinkah laut tempat kembali aku pada bunda
atau gunung tiang segala pancang para bapak
Bahkan cakrawala pun tak bisa menerjemahkanmu

Mungkin tak ada lagi kata mungkin
Di saat aku telah menerima semua
Seperti aku menerima waktu sebagai waktu
Rindu sebagai rindu aku sebagai aku

Dan kau
Telah kusebut dan terima apa adamu

Subang, Agustus 2011

Pertigaan, Suatu Pagi

Berjalan menuju gerbang, kabut mengendap di kacamataku
Dunia yang buram, pagi yang muram
Tanah-tanah penjelasan mengantar kabar hari
lewat anyir ikan asin dan busuk sayuran
Redu redam sebuah pertigaan dengan bahasa perniagaan
yang terdedah dari satu lubang
Atas nama hidup, apalah arti anyir dan kebusukan?
Ia menjaga kita untuk tetap mandi setelah malam menyisakan
simbah keringat karena mimpi yang tak terbeli
lantas bercermin seraya menyisir rambut rapi
Di pertigaan, kebusukan yang lain menunggu di balik pintu
Ia diam namun mengajarkan: tentang bagaimana kita mencuci
tangan setelah mengotorinya meski kebusukan
tak benar-benar pergi dan ayal selalu dipermainkan

Subang, Desember 2011

Jalan Menuju Surga

Ke Bukanagara, jalan panjang, lurus dan lengang
Pohan hitam berderet rapi di kiri-kanan
Hantu-hantu bergentayangan, tak ada cahaya
Tiba-tiba aku terkejut ketika Siamang berkata
sambil bergaya di sebuah cabang, “seribu kilometer
menuju tempat tujuan.” Batu-batu jalan berdiam
di kaki, bahu dan tenggorokanku. Ketika sampai
aku bertanya pada seorang bapak
Kemana jalan menuju surga. Ia berkata:
“Jalan menuju surga ada di urat lehermu
di antara batu-batu waktu yang seringkali kau lempar
padaku.”

Subang, Desember 2011

Monday, December 5, 2011

Dhandhaka

Musim Kelima

Pagi adalah bibirmu yang ruyup di antara musim kuyup
Langkah telah pulang ke sarang ke puputan
Seperti engkau yang selalu menyimpan kerinduan tatapan
bersama malam ditinggal sekawanan mega
Maka bergeraklah pintaku ke arah barat
setelah berita menumpahkan cakap
Sedang pagi masih saja melesapkan jejak
di luruh kerudungmu yang teduh
Siang bagai miang di depan gelas kacaku
Bulir hening diam semati karang
Kau gigir di tubir dzikir sambil berkaca pada tanya
dan menanam kembali musim
yang kau sendiri tak tahu apa namanya

Padangbatu, 2008

Syal Kesaksian

Mungkin syal ini paling lirih dengan bisunya
mendapatimu duduk bersama senja. Aku cemburu
Tapi gerimis masih saja berbaris menguncupkan bunga
Padahal ia tak pernah berjanji pada bumi yang ingin basah
juga nurani yang hendak menorehkan sejarah
Fajar memerah, namun syalku tak lantas marah
Diredamnya deru darahku. Dihempasnya harum namamu
Kuterduduk membaca hujan, meminang alam, menggemakan bisu
tentang langit yang selalu mengaku beratap satu

Padangbatu, 2008

Kiblat Pertemuan
           
Hujan ikhlaskan perjalanan awan
menapaki jejak dengan basahnya
Bulir air menjelma jadi airmata
membuka genangan luka
Matahari pun gigir ke alenia tenggara
mengingkari janji, menghitamkan tatapan
di antara gerak cuaca. Seperti kau:
Perempuan kuyup menembus kegelisahan
demi kegelisahan yang ruyup
sambil menanggalkan percakapan
di kiblat pertemuan. Seperti aku:
Yang tak mengerti tanda lahir di tubuhku
juga garis tanganmu yang tak pernah bersatu
menerjemahkan setiap kecupan
Sedang musim telah sempurna
menghantarkan kembali riwayat mata angin
bersama sunyi dan keraguan

Padangbatu, 2008

Peta Kesunyian

Sudah lama kiranya aku memandang hati sendiri
Disergap berkali-kali oleh rasa cemas
ketika langkah demi langkah menepi dari arah barat
mengembangkan wajah tak tegas
Maka seperti ditusuk-tusuk rindu
aku pun lari membawa resah
menabur gelisah. Menghindari matahari
yang hendak memanggang pandangku
dan melipatnya dalam peta kesunyian
Musim pun berubah. Kecuali musim di dadaku
yang selalu gugur dan kembali kubur
sedang tatapan itu belum kuterjemahkan:
Tentang keningmu yang basah dan tangan tengadah
yang kusebut sebagai nurani
Sehingga musim mengerti bahwa ia tak harus diam
oleh hati yang menyergah pergi
Maka, haruskah kubuang tanya
hingga airmata hanya berita menjelma doa?

Padangbatu, 2008

Selimut Waktu 

Selain malam yang membentang
awan-awan kembali ke sarang
tak ada lagi gelak yang kauhantar
bersama rimbun daun-daun
Kau pun terseduh bersama kabut
Menggenggam jari sendiri jadi selimut
Selimut yang dulu mendekap kesendirianku
bersama waktu yang kupapah namun terluka
sebelum rebah sebagai air mata
Maka seperti pulang yang telah menjadi kawan
kau melangkah lagi ke arah entah
tanpa mengucap salam
Meninggalkanku bersama pilu dan gamang

Padangbatu, 2008

Impresi Rindu

Malam melepaskan gaibnya bersama sembilu
Air mengukir waktu di antara wajah yang mesti diseka
bersama kebekuan yang lesap di dekap buku jari
Jiwa dibawa lari disergah matahari yang masih berjanji
Suara parau seakan masih akrab menerjemahkan risau
sedang bagi tatapan mata adalah nikmat dan langkah
adalah ibu yang melahirkan kata-kata dalam untaian kalimat
walau kita tahu bahwa rebah adalah tempat semua kiblat

Padangbatu, 2008


Sempat dimuat di Lampung Post, Minggu, 1 Februari 2009.

Thursday, December 1, 2011

Uma #7

The earth does not argue,
Is not pathetic, has no arrangements,
Does not scream, haste, persuade, threaten, promise,
Makes no discriminations, has no conceivable failures,
Closes nothing, refuses nothing, shuts none out.
Walt Whitman (1819 - 1892)
U.S. poet.
Leaves of Grass, "A Song of the Rolling Earth"

Thursday, November 24, 2011

Berbicara Imajinasi

SERINGKALI apa yang saya bayangkan atau imajinasikan justru tak pernah menjadi kenyataan. Maksudnya seperti ini, ada kalanya sebuah peristiwa terjadi tidak sesuai dengan apa yang saya bayangkan sebelumnya. Misalnya saja, saya membayangkan bahwa pada suatu waktu tertentu saya akan bertemu dengan pacar saya. Kita menghabiskan waktu berlama-lama untuk ngobrol sambil bermain mengunjungi tempat-tempat keramaian. Tapi justru apa yang saya bayangkan itu tak pernah terjadi. Walhasil, saya memang tak bertemu dengannya, apalagi jika harus berbincang-bincang dan bermain bersama dengannya. Nah, itu yang saya maksudkan.

Monday, November 14, 2011

Hidung (3)


Oleh: Nikolai Gogol
Lelucon benar-benar ada di muka bumi dan kadang-kadang ia muncul sama sekali tanpa dasar kemungkinan yang pasti. Demikianlah, hidung yang akhir-akhir ini hilang sebagai Konselor Negara, dan berjalan-jalan di sepenjuru kota, tiba-tiba saja menempati kembali tempatnya semula (di antara kedua pipi Mayor Kovalev) seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Hari itu tanggal 7 April dimana paginya Mayor terbangun seperti biasa, dan, seperti biasa pula, ia melemparkan sekilas tatapan keputus-asaannya kepada cermin, untuk saat ini ia terdiam, apa? –mengapa, hidung lagi! Dengan segera ia memegangnya. Ya, hidung, benar-benar hidung! "Aha!" teriaknya. Dalam kegembiraannya, ia memeriksa sekeliling kamar dengan dengan telanjang kaki dan tidak membiarkan Ivan tiba-tiba masuk untuk memeriksanya. Lalu ia sendiri menyiapkan peralatan untuk mencuci, mencuci hidung itu, dan melihat lagi ke cermin. Oh, hidung itu masih ada di sana! Lantas selanjunya ia menggosoknya menggunakan handuk dengan semangat. Ah, masih ada di sana, sama seperti dulu!

Hidung (2)

Oleh: Nikolai Gogol
ASESOR Kolega Kovalev juga bangun lebih awal pagi itu. Ia membuat "Br-r-rh!" menggunakan bibirnya yang selalu saja ia lakukan ketika ia bangun–ia sendiri tidak tahu mengapa. Lalu ia pun menggeliat, meraih kaca kecil di atas meja tak jauh darinya, dan membenahi diri untuk memeriksa jerawat yang telah pecah di hidungnya semalam. Tetapi, heran tak dinyana baginya, hanya ada sebidang yang rata di wajah tempat di mana hidung mestinya berada! Dengan gusar ia mengambil air, mencuci dan menggosok matanya menggunakan handuk. Benar, hidungnya benar-benar hilang! Ia menekan  tempat itu dengan tangannya –mencubit dirinya sendiri untuk meyakinkan bahwa ia tidak sedang tidur. Tapi tidak: ia tidak sedang tidur. Kemudian ia melompat dari tempat tidur dan menggeleng. Tak ada hidung! Akhirnya ia mengenakan bajunya dan dengan segera berangkat ke kantor Komisaris Polisi.
Akan saya tambahkan sesuatu yang mungkin pembaca dapat rasakan seperti apa yang Asesor Kolega rasakan. Tentunya, hal ini tanpa ada maksud berkata bahwa Asesor Kolega yang mendapatkan gelar dengan bantuan diploma akademik, tidak bisa dibandingkan dengan asesor kolega yang mendapatkan gelarnya melalui jasa layanan di Kaukasus. Keduanya ini secara keseluruhan berbeda, walau bagaimanapun hal itu ada. Rusia adalah negeri yang sangat aneh yang membiarkan seseorang berkata apa pun tentang ke-asesor-kolega-an seseorang dan yang berhubungan dengannya, dari Riga sampai Kamchatka, dalam sekali waktu menggunakan ucapan untuk dirinya sendiri –semua gelar dan kedudukan adalah hal yang sama saja. Sekarang, Kovalev adalah seorang Asesor Kolega Kaukasus dan telah, juga masih, menyandang gelarnya itu selama dua tahun. Oleh karena itu, tanpa bisa dilupakannya, ia mencari lebih martabat dan bobot dengan memanggil dirinya sendiri “Mayor", selain "Asesor Kolega".

Thursday, November 10, 2011

Dhandaka

Prosesi

Siapa yang berkata darah sama dengan airmata?
Ruang putih tak pernah menagih janji
selain kita sendiri yang menciptanya
Lantas upacara pun dilaksanakan
Utang-utang dibayar dengan jari dan debar
Selanjutnya perjalanan. Langkah demi langkah
diayunkan menapaki tangga-tangga kalimat
persetubuhan menuju kiblat. Seakan tak ada lagi
kewajiban menghias jejak dan telapak tangan
adalah cermin bagi setiap nama dan kata
untuk diamini. Mari kita membuat kenangan di sini
sebelum musim beranjak pergi. Jadikan keringat
sebagai testamen dan ruang sakramen. Darah tetap darah
yang harus tetap dijaga kesuciannya kecuali air mata
yang tak pantas diabadikan di atas dada penuh bulu

(2009)

Tuesday, November 8, 2011

Uma #6

All the poet can do today is to warn. That is why the true Poets must be truthful.
Wilfred Owen (1893 - 1918)
British poet.
Poems, "Preface"

Uma #5

In nature there are neither rewards nor punishments—there are consequences.
Robert G. Ingersoll (1833 - 1899)
U.S. lawyer.
Some Reasons Why

Friday, November 4, 2011

Hidung (1)

Oleh: Nikolai Gogol
Pada tanggal dua puluh lima Maret sebuah peristiwa aneh terjadi di Saint Petersburg. Pagi itu, Tukang Cukur Ivan Yakovlevitch, seorang penduduk di Prosfek Voznesensky, bangun lebih awal dan mencium roti yang baru saja dipanggang. Ivan Yakovlevitch tidak lagi memiliki nama keluarga. Hingga, tak lagi tertera di papan namanya yang dengan tegas memperlihatkan potret seorang laki-laki dengan sabun di pipi dan kata-kata: "Juga, Darah Keturunan di Sini.“ Sedikit beranjak, ia merasa bahwa istrinya (seorang perempuan yang sangat terhormat dan suka sekali dengan kopi) tengah mengambil roti gulung dari oven.
"Prascovia Osipovna“ katanya, "tak apalah jika aku tak mendapat segelas kopi untuk sarapan, asalkan aku mendapat roti panas dan bawang,“ –kenyatannya, ia ingin mendapatkan keduanya. Tapi ia tahu percuma saja untuk memintanya dalam sekali waktu, sebagaimana Prascovia Osipovna tidak suka dengan muslihat seperti itu.
"Oh, Si Bodoh akan mendapatkan rotinya,“ pikir istrinya, "tentunya itu lebih baik untukku, seperti halnya aku akan mendapatkan lebih banyak lagi kopi.“
Ia pun melemparkan sebuah roti ke atas meja. 

Nikolai Vasilievich Gogol

Penulis Rusia yang lahir di Sorokinsti, Mirgorod, Provinsi Poltava, pada tanggal 20 Maret 1809 ini, dikenal lewat kemampuan berceritanya yang satir namun kocak. Kebanggaan nasionalisme yang hebat dan kekagumannya terhadap kehidupan masyarakat Kosak yang sederhana mendasari tema akan karya-karyanya. Hal ini terlihat dari pandangannya terhadap dehumanisasi manusia yang menurutnya telah rusak, kendati tetap mempertahankan lokalitas di setiap karyanya. Intensitasnya dalam menghadapi masalah tersebut membawanya ke dalam penjelajahan yang surealis dan absurd, seperti cerita berjudul Hidung (1836; Nos).
Tiga hal inilah yang membuat Gogol dinobatkan sebagai sastrawan besar Rusia dikarena orisinalitas karya-karyanya. Kesuksesannya diawali dengan karya yang berjudul Vechera na khutore blis Dikanki (1831; Suatu Malam di Ladang Dekat Dikanka) yang dilandasi dari konflik Barat dan Slavia generasi tua, yang kebetulan diceritakan oleh ibunya dan orang-orang sekitar. Kumpulan cerita lainnya adalah Mirgorod (1835), Shinel (1842; Mantel) serta dua buah karya masterpiece-nya, yakni Mertvye Dushi (1842; Jiwa-Jiwa Mati), dan Revizor (1836: Inspektur Jenderal). Karena karya-karyanya yang luar biasa ini kedudukannya sejajar dengan sastrawan besar Rusia lainnya seperti Leo Tolstoy, Ivan Turgenev, Fyodor Dostoyevksy dan Alexander Pushkin.
Simak ceritanya yang berjudul “Hidung” di Blog Saswaloka ini. Berikut adalah sinopsisnya:
Asesor Kolega Kovalev bangun suatu pagi dan menemukan bahwa hidungnya telah hilang. Pada saat yang sama di tempat lain di St. Petersburg, Si Tukang Cukur Ivan Yakovlevitch menemukan hidung dalam sarapan rotinya. Bagaimanapun, Si Tukang Cukur, dengan maksud untuk melepaskan diri dari peristiwa aneh itu, berusaha untuk melempar hidung itu ke sungai Neva. Tak lama kemudian, Kovelev kebetulan saja melihat hidungnya mengenderai kereta kuda dan mengenakan seragam Konselor Negara (pangkat yang lebih tinggi dari pada Asesor Kolega). Ia menuntut agar hidung itu menyerahkan diri, sayangnya hidung itu menampik dengan kasar.
Awalnya baik polisi maupun surat kabar tidak mau membantu, tapi kemudian petugas polisi, yang kebetulan memerhatikan seorang tukang cukur melemparkan sesuatu ke sungai, mengembalikan hidung yang hilang itu pada Kovalev. Akan tetapi, masalah lain pun muncul. Bagaimana ia bisa menempelkan hidung itu kembali ke wajahnya? Untuk itu ia berkonsultasi pada seorang dokter, yang menyarankan agar membiarkannya secara alami, “baiknya kau seperti apa adanya sekarang, jika tidak kau akan membuatnya lebih buruk.” Malangnya Kovalev tak berhidung!
Bagaimana nasib Kovalev selanjutnya?

Saturday, October 29, 2011

Alam dan Tiang Listrik

Menyusuri jalan Sukamandi dari arah Wanayasa ke Purwakarta, pemandangan ajaib tertangkap mata: satu hal yang tidak biasa. Sebuah tiang listrik berdiri tegak. Seandainya. Tapi tiang listrik itu hampir saja roboh, bukan karena ada orang yang hendak mencurinya --mengingat banyak perilaku sosial masyarakat yang dewasa ini tidak cukup bisa menjaga dan mengindahkan fasilitas umum, dan memang tidak mungkin ada orang yang mencuri tiang listrik. Tetapi, hal ini dikarena alam sudah berbicara.dengan bahasanya. Bahasa sakti. 

Peristiwa ini terjadi tepatnya pada tanggal 12 Oktober 2011, di mana sehari sebelumnya hujan lebat turun yang akhirnya menyisakan pemandangan yang sangat jarang. Seharusnya tiang listrik itu berdiri tegak seperti ini:


Sayang, kenyataannya tiang listrik itu justru seperti ingin tidur karena kelelahan:


Sungguh mengerikan. Tapi syukurnya tidak ada korban. Semoga petugas yang lain kali akan mendirikan tiang listrik bisa lebih hati-hati lagi. Entah dengan memeriksa tanahnya, atau mungkin dengan memerika tiang listriknya :) []


Uma #4

After you have exhausted what there is in business, politics, conviviality, and so on—have found that none of these finally satisfy, or permanently wear—what remains? Nature remains.
Walt Whitman (1819 - 1892)
U.S. poet.
Specimen Days and Collect, "New Themes Entered Upon"

Alam Jeung Pujangga

Ku Sir Philip Sydney (1554-1586)

Euweuh seni nu ditujukeun ka jalma nu teu ngabogaan pangaweruh alam sangkan jadi obyék pokona, nu mun teu jeung alam jalma moal daya, jeung nu ngan ka alam jalma gumantung jadi aktor jeung pamaen di mana alam jadi tempat hirup satuluyna. Ku kituna ahli falak nu ningal béntang jeung maké naon marenehna ningalna, nangtukeun tata-titi alam nu ngabogaan peran penting di tempat éta…  Fisikawan nimbang alam raga manusia, jeung alam wanda nu nyalametkeun sarta nu ngarugikeunna. Kitu ogé ahli metafisika, sanajan aya dina peran kadua jeung abstrak, jeung lantaran kitu dianggap supranatural, tapi angger méré kontribusi kana kalumungguhan alam.

Ngan pujangga, nu “ngéréméhkeun” nepi ka embung diatur ku aturan siga kitu, malah nyokot usaha ku cara nu lian karyana sorangan, maprah pangaruh ka alam nu lian dina ngajadikeun hiji pancén leuwih hadé salian waragad nu dibawa ku alam, atawa, nyieun rupa nu anyar nu euweuh nemrak di alam, siga pandita, atawa déwa-déwa, buta, uka-uka, widadari, jllna, sabari paantai-antai leunguen langsung jeung alam jeung teu nutup diri ku kanyataan nu sempit kalayan karuniana, malahan ngatur ilatan bebas ku kapinteran sorangan. Alam teu ningalikeun bumi ku ngan saukur susunan kaendahan nu beunghar nu tangtuna béda jeung pujangga. Teu ogé ngan ku saukur walungan nu éndah, tatangkalan nu boga réa-réh buah, kembang nu seungit teu kacida, ogé ku sagala nu matak ngajadikeun leuwih mikacinta bumi ihwal ti liana. Dunya mah hebatna kacida, tapi pujangga mah ngan méré batu mulia (emas). []   

Ditarjamahkeun tina tulisan nu boga judul “Nature and the Poet” ku Firman Nugraha; Subang, 29 Oktober 2011.


Cara Mengutip:
Syndey, Sir Philip (1595).  Alam Jeung Pujangga. Dalam Saswaloka.  Ter. Firman Nugraha.
        Diambil <sesuaikan tgl, bln, thn,> dari http://upacarausia.blogspot.com/2011/10/alam- 
        jeung-pujangga.html

Thursday, October 27, 2011

Suatu Malam di St. John (2)

Oleh: Nikolai Gogol

Petro mematung, tidak bergerak sedikitpun, ketika anak tak berdosa itu mengutarakan kata-kata Pidroka padanya. “Dan aku adalah pria yang tak beruntung yang berpikir untuk pergi ke Krimea dan Turki, mendapatkan emas dan kembali padamu, kekasihku! Tapi mungkin itu takkan jadi. Mata Iblis sudah melihat kita. Aku juga ingin menikah, sayangku. Aku juga. Tapi takkan ada rohaniawan di pernikahan. Gagak hitam akan berkaok dan bukan Paus yang mendekatiku; ladang akan menjadi tempat tinggalku; langit biru yang hitam akan menjadi atapku; burung elang akan mencungkil mata cokelatku; hujan akan mencuci tulang orang-orang Kosak, dan angin puyuh akan mengeringkannya. Tapi, siapalah aku? Dari siapa, pada siapa aku harus berkeluh kesah? Sudah jelas ini kehendak Tuhan. Jika aku harus hilang, maka hilanglah!” dan ia pun langsung pergi ke kedai minuman.

Wednesday, October 26, 2011

Bahasa Kuliner

Konvensi bahasa memang tidaklah dimiliki oleh kaum intelektual atau ahli bahasa saja. Ia dimiliki oleh para penggunanya, tanpa kecuali, meski tidak dimulai dari pemahaman awal atas bahasa itu sendiri. Konvensi bahasa acapkali tidak taat aturan sebagaimana EYD telah menyempurnakannya. Karena memang, geliat evolusi bahasa lebih cepat tinimbang pembakuan bahasa itu sendiri. Percis sekali dengan teori yang memang selalu datang belakangan. Dan fenomena ini, dapat dilihat salah satunya dari penggunaan bahasa di dalam ranah kuliner.

Tuesday, October 18, 2011

Suatu Malam Di St. John (1)

Oleh: Nikolai Gogol

[Diambil dari salah satu cerita dalam antologi "Tales at a Farmhouse near Dikanka."]
(Berhubungan dengan Koster Gereja Dikanka)
THOMA GRIGOROVITCH memiliki semacam perilaku yang cukup aneh: sampai pada hari kematiannya ia tidak pernah suka mengatakan hal yang sama dua kali. Ada suatu waktu ketika, jika Anda memintanya untuk bercerita sekali lagi, perhatikanlah, ia akan menambahkannya dengan sesuatu yang baru, atau bahkan mengubahnya sampai-sampai mustahil untuk bisa mengenali cerita itu.
Suatu hari, salah seorang dari mereka (sangat sulit bagi orang sederhana seperti kami memberi nama pada mereka, untuk mengatakan bahwa tulisan nama mereka itu bagus atau tidak; akan tetapi itu sama saja seperti halnya seorang lintah darat di pameran tahunan; mereka menggenggam dan mengemis dan mencuri baju pajangan, dan mengeluarkan sedikit terbitan yang berarti, yang tak lebih tebal ketimbang buku ABC, setiap bulan, atau bahkan setiap minggu,) –salah satu dari mereka memancing cerita yang sama dari Thoma Grogorovitch, dan ia benar-benar lupa tentang cerita itu.

Plagiat, Pergi Sana!

Sehubungan dengan ditemukannya beberapa tulisan yang secara langsung menyadur tulisan yang ada di blog ini, yang juga telah dimuat di media (koran), tanpa mencantumkan sumber dan nama penulisnya. Maka untuk selanjutnya, akan dicantumkan kutipan di setiap tulisan yang diterbitkan sebagai referensi agar bisa digunakan dalam daftar pustaka bagi siapa saja yang membutuhkannya. Untuk lebih jelas, silahkan mengunjungi laman "Sadur" yang ada di blog Saswaloka ini. Demikian dan harap maklum. Terima kasih atas perhatian dan pengertian Anda. Salam!

Monday, October 17, 2011

Tentang Epigon dan Plagiarisme

Oleh: Firman Nugraha
Di dunia kepenulisan, istilah epigon seringkali dikaitkan dengan plagiarisme. Apabila plagiarisme merupakan tindakan menyalin atau “mencuri” karya orang lain dan mengklaimnya sebagai karya sendiri; maka, epigon lebih kepada tindakan mengikuti atau meniru karya orang lain, khususnya dalam sudut pandang artisitik atas karya (sastra) tersebut.
Kata ‘epigon’ berasal dari bahasa Yunani (epigonos) yang berarti keturunan, sedang dalam bahasa Sanskerta berarti nurun. Dalam tingkatannya, kata ‘nurun’ bisa menjadi ‘nurun sungging’ apabila peniruan yang dilakukan sama betul dengan karya aslinya. Dan inilah yang membuat epigon berubah menjadi plagiarisme, meski tidak berarti bahwa seorang plagiat berasal dari seorang epigon. Namun, akan lebih baik lagi jika tidak menjadi keduanya.  
Ketika berbicara ‘meniru,’ tentunya, berarti ada yang ‘ditiru’. Tulisan ini sengaja membedakan epigon (peniru karya) dengan plagiat (pencuri karya) mengingat epigon hanya sebentuk ketidak-mapanan dalam mencipta karya. Sedang, plagiarisme jelas-jelas masalah serius karena merupakan sebuah tindak kejahatan intelektual.
Apabila dalam proses epigonisasi ada semacam tindakan pemersepsian, maka dalam plagiarisasi proses itu tidak ada. Kalau pun ada, sangat kecil sekali kemungkinannya. Inilah yang menjadikan plagiarisme menjadi tindakan yang tercela, terlebih di dunia pendidikan dimana intelektual mestinya bisa menjadi mahkota yang berwibawa dalam menjaga dan membuktikan keilmuan seseorang, bukan hanya sekadar copy paste (salin-temple).
Secara tidak disadari, para penulis atau pengarang yang sudah besar namanya –dalam sebuah proses kreatif yang digeluti—biasa memiliki panutan dalam dunia kepenulisannya. Ini dapat disaksikan dari bagaimana mereka mensibatkan panutannya sebagai sumber inspirasi, ilmu dan motivasi. Bagaimanapun juga, keterpukauan menjadi stimulus seseorang dalam melakukan apa yang ia senangi setelah “bertemu” dengan panutannya.
Ide-ide pun bersliweran hingga pada akhirnya keinginan untuk melakukan yang sama muncul lewat ekspresinya dalam mencipta. Sejauh itu, tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukannya. Yang salah adalah, ketika seseorang tidak lagi menjadi pengikut, melainkan menjadi orang kedua dari satu orang yang sama. Identitas salinan. Percis dengan copy-an dari buku asli yang warnanya tidak cerah dan jelas, tetapi buram. Sungguh tidak enak dibaca, terlebih disimpan sebagai koleksi.
Dalam proses epigonisasinya, ada tindakan daur-ulang di sana. Pengolahan dan pemersepsian. Sekeras mungkin menelurkan ide yang berasal dari induk ayam yang sama. Hal ini tentu berbeda dengan plagiarisasi dimana karya benar-benar dicomot dan dicaplok. Yang lebih miris adalah, ketika hasil karya sebangga-bangganya diklaim sebagai karya sendiri. Dalam dunia kepenulisan, apalagi sastra, hal demikian menjadi ketakutan tersendiri bagi setiap penulis –entah penyair, cerpenis atau eseis—hingga saat ini. Karena jika demikian kenyataannya, maka dapat dipastikan bahwa perkembangan sastra negeri ini menjadi stagnan dan akhirnya hanya diisi oleh saduran-saduran saja (Plagiat dan Apresiasi Sastra: Subakastawa, 2002).
Setiap orang memang belajar. Tapi apalah artinya belajar jika tidak bisa original? Asli? Tidakkah itu namanya membuang-buang waktu, tenaga dan pikiran? Mochtar Lubis yang sangat terkesima dengan gaya penulisan, belajar pada Ernest Hemmingway. Leo Tolstoy yang akhirnya memiliki sifat nasionalisme, belajar pada Rousseau. Sapardi pun belajar dari terjemahan-terjemahan puisi yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Mereka belajar dari orang besar dengan karya-karya besarnya. Namun demikian, mereka pun memiliki jati diri dan identitas sendiri lewat karya-karyanya lantas jadilah mereka besar.
Sungguh, tidak ada yang salah dengan menjadi epigon selama ia menyadari bahwa dirinya masih berada di ketiak orang lain, hingga pada akhirnya ia bangkit dengan identitasnya sendiri. Layaknya seekor kuda, terkadang ia harus mendapat cambuk dari sais agar dirinya bisa berlari kencang. Namun akan bahaya akibatnya jika kuda itu sampai kesurupan karena hanya bisa menurut saja pada sais hingga tak mampu lagi melihat jalan yang mesti ditempuhnya. Sesat arah. Seperti itu juga seorang penulis. Bisa jadi ia akan dianggap “kesurupan” apabila hanya cuma bisa menjadi epigon orang lain tanpa bisa menciptakan ide baru and segar untuk setiap karya-karya ciptaannya.
Ketakutannya –jika diibaratkan sebagai penyakit, ini akan menumbuhkan sikap dan sifat seorang plagiat dimana dirinya tak mampu lagi berpikir dan tak mau repot-repot untuk mencari-cari ide semata agar karyanya bisa booming dalam waktu singkat. Bagaimanapun, tidak ada kebanggaan dan pelajaran untuk sesuatu yang instan. Bukankah hidup itu sendiri adalah proses? Dan tidak mungkin, untuk menjadi diri sendiri, dilakukan dengan cara tidak terpuji seperti itu (?)
Sejatinya, dewasa ini, terlebih plagirisme, epigon pun telah menjadi sesuatu yang dipandang sebelah mata. Sesungguhnya, tak ada yang namanya perkembangan untuk sebuah jipakan. Dan oleh karena itu, tak ada kebanggaan.[]

Subang, 17 Oktober 2011
*) Tulisan ini dimodifikasi dari artikel berjudul “Menyoal Sastra Epigon” dari penulis yang sama (2006).

Cara Mengutip Tulisan Ini:
Nugraha,  Firman.  (2011).  Tentang Epigon dan Plagiarisme.  Dalam Saswaloka.  Diambil <sesuaikan
tanggal pengambilan tulisan (Bln, tgl. thn)>, dari http://upacarausia.blogspot.com/2011/10/tentang-epigon-dan-plagiarisme.html

Saturday, October 8, 2011

Uma #3

First man conquers nature, and then he learns that conquered nature has lost its purity and he's very upset by this loss. But it's not science that's to blame, it's technocrats and politicians. They've misused science.
Saul Bellow (1915 - 2005)
Canadian-born U.S. writer.
The Dean's December

Thursday, September 22, 2011

The Downfall of Our Surau

By A.A. Navis
HAD you come to my hometown several years ago by bus, you would have stopped near a market. Just about a kilometer from the market, you would arrive on the street of my village. At a small intersection to the right, the fifth intersection, turned to that narrow street. And on the end of the street you would find an old surau1. In front of it, there was a pond in which the water flew through four shower baths. 

And at the left porch of the surau you would find an old man who used to sit there with his all decrepit behaviors and religious observance. It had been years he served as garin2, the keeper of the surau. People used to call him Kakek3. 
            As a keeper, Kakek bargained nothing. He lived from alms collected once a week every Friday. Once a month he earned a quarter of gold fish harvest of the pond. And once a year, people brought fitrah eid4 to him. Yet as garin he didn’t really well known. He was actually known as knife-sharpener. As he did excellent at his work, most people used to ask him for a help, while he never got payoff at all. Women who asked him for a help sharpening knives or scissors gave sambal as its payoff, while men gave him cigarette and, occasionally, money. However, the most he got from them as payoff was gratitude and a bit smile.       


Thursday, September 15, 2011

Uma #2

Come forth into the light of things,
Let Nature be your Teacher.
William Wordsworth (1770 - 1850)
British poet.
Subtitled "An Evening Piece on the Same Subject," referring to "Expostulation and Reply," to which it is a companion piece.
Lyrical Ballads, "The Tables Turned"

Friday, September 9, 2011

Puisi

Di Depan: Tungku

Siapa lagi yang mesti kutemui selain engkau
Ketika hari membawa gelembung-gelembung pagi?
Aku pun diam di depanmu tungku penuh abu
Menciptakan anak panah memecahkan gelembung itu
Sedang, betapa tabah kau menjaga merah kayu
untuk tetap nyala bagai matahari, dan di belakangmu
anyaman-anyaman bambu pasrah endapkan dosa
Purbapun menjadi waktu yang tak kenal usia
Dalam gairah batu angkuh tubuhmu
kesetiaan tak lagi punya malu

2011

Thursday, September 8, 2011

Nature in D. Zawawi Imron's Poems: An Ecocritical Study

ABSTRACT

This paper, Nature in D. Zawawi Imron’s Poems: An Ecocritical Study, deals with textual analysis on three selected poems in ecocritical framework with the employment of ecocriticism, a theory that relates literature and physical environment. The study is intended to find the representation of nature and its meaning constructed within the text. Based on the findings, it is reveled that the three selected poems represent nature as background images. It means that nature functions as physical setting. Furthermore, these images also create symbolical meaning to the poet in his position as man and as part of the environment. Nature becomes a self-reflection to the poet to worship The Almighty God.

Keywords: nature, poems, ecocriticism, background images, symbolical meaning. 

Monday, August 29, 2011

Tambur

Oleh Leo Tolstoy

(1981; Sebuah dongeng dari wilayah Volga)

Emelyan adalah seorang buruh dan bekerja pada seorang majikan. Suatu hari saat dirinya menyeberang padang rumput dalam perjalanannya pulang, dia hampir menginjak seekor katak yang melompat tepat di depannya. Akan tetapi dia dapat menghindarinya. Tiba-tiba dia mendengar seseorang memanggil dirinya dari belakang.

Emelyan memandang ke sekeliling dan melihat seorang perempuan cantik, yang berkata padanya: “Mengapa kau tidak menikah Emelyan?”

“Bagaimana bisa aku menikah, wahai perempuan?” katanya. “Yang kupunya hanya pakaian yang aku gunakan ini, tak lebih, dan tak ada seorangpun yang menginginkanku menjadi suaminya.

“Maka jadikanlah aku istrimu,” pintanya.


Monday, August 22, 2011

Requiem

Puisi oleh Anna Akhmatova (Rusia)
Diterjemahkan oleh Firman Nugraha

Bukanlah di bawah langit yang asing
Bukan pula di di bawah sayap lain terlindungi–
Aku berbagi semua ini bersama orang-orangku sendiri
Di sana, dimana kemalangan telah meninggalkan kami  
(1961)

SEBAGAI PENGANTAR

Menjelang tahun-tahun teror Yezhov yang menakutkan, Aku
Habiskan tujuhbelas bulan menunggu dalam antrian tahanan di
Leningrad. Suatu hari, entah bagaimana, seseorang ‘menjemputku’
Saat itu seorang perempuan berdiri di belakangku,
bibirnya biru beku, yang tentu tak pernah dalam
hidupnya mendengar namaku. Guncangkan sikap
lamban kalian, katanya ke telingaku
(setiap orang berbisik di sana) –‘Adakah yang bisa menjelaskan
apa maksudnya? Dan aku menjawab –‘Aku bisa. Hanya ketika setelah itu
sesuatu seperti senyuman meluncur pada apa yang sebelumnya
merupakan sebuah wajah
[Hari pertama di bulan April tahun 1957, Leningrad]

Saturday, August 13, 2011

Percikan Itu: Samoga, 15 Mei 2011

Menyoal Pengajaran Sastra di Jurusan Bahasa Asing

“I see to a degree that I can't get at college" –BC Boys

Hingga saat ini pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal masih tetap menjadi dilema. Sastra yang dituding layaknya kerja paruh waktu (Oemarjati dalam Puar, 1989) belum mendapatkan ruang gerak yang leluasa. Indikasi tersebut kemudian semacam dikukuhkan dengan munculnya lontaran-lontaran kekecewaan dari berbagai pihak, sebut saja Rusyana (1992), Taufiq Ismail (1997), Sayuti (2000) Kuswinarto (2001), dan masih banyak lagi. Permasalahan ini disinyalir terkait dengan berbagai faktor seperti yang diungkapkan Rahmanto (2001), yaitu: kemampuan guru, kondisi siswa atau subjek didik, sarana dan prasarana serta komponen-komponen pendukung lainnya. Secara empiris, hal tersebut dikarenakan pembelajaran sastra masih berkisar pada proses menghafal ketimbang mengapresiasi padahal minat pembelajar terhadap sastra tinggi.

Uma #1

All things are artificial, for nature is the art of God.

Thomas Browne (1605 - 1682) 
English physician and writer.  
Religio Medici