Monday, August 29, 2011

Tambur

Oleh Leo Tolstoy

(1981; Sebuah dongeng dari wilayah Volga)

Emelyan adalah seorang buruh dan bekerja pada seorang majikan. Suatu hari saat dirinya menyeberang padang rumput dalam perjalanannya pulang, dia hampir menginjak seekor katak yang melompat tepat di depannya. Akan tetapi dia dapat menghindarinya. Tiba-tiba dia mendengar seseorang memanggil dirinya dari belakang.

Emelyan memandang ke sekeliling dan melihat seorang perempuan cantik, yang berkata padanya: “Mengapa kau tidak menikah Emelyan?”

“Bagaimana bisa aku menikah, wahai perempuan?” katanya. “Yang kupunya hanya pakaian yang aku gunakan ini, tak lebih, dan tak ada seorangpun yang menginginkanku menjadi suaminya.

“Maka jadikanlah aku istrimu,” pintanya.


Monday, August 22, 2011

Requiem

Puisi oleh Anna Akhmatova (Rusia)
Diterjemahkan oleh Firman Nugraha

Bukanlah di bawah langit yang asing
Bukan pula di di bawah sayap lain terlindungi–
Aku berbagi semua ini bersama orang-orangku sendiri
Di sana, dimana kemalangan telah meninggalkan kami  
(1961)

SEBAGAI PENGANTAR

Menjelang tahun-tahun teror Yezhov yang menakutkan, Aku
Habiskan tujuhbelas bulan menunggu dalam antrian tahanan di
Leningrad. Suatu hari, entah bagaimana, seseorang ‘menjemputku’
Saat itu seorang perempuan berdiri di belakangku,
bibirnya biru beku, yang tentu tak pernah dalam
hidupnya mendengar namaku. Guncangkan sikap
lamban kalian, katanya ke telingaku
(setiap orang berbisik di sana) –‘Adakah yang bisa menjelaskan
apa maksudnya? Dan aku menjawab –‘Aku bisa. Hanya ketika setelah itu
sesuatu seperti senyuman meluncur pada apa yang sebelumnya
merupakan sebuah wajah
[Hari pertama di bulan April tahun 1957, Leningrad]

Saturday, August 13, 2011

Percikan Itu: Samoga, 15 Mei 2011

Menyoal Pengajaran Sastra di Jurusan Bahasa Asing

“I see to a degree that I can't get at college" –BC Boys

Hingga saat ini pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal masih tetap menjadi dilema. Sastra yang dituding layaknya kerja paruh waktu (Oemarjati dalam Puar, 1989) belum mendapatkan ruang gerak yang leluasa. Indikasi tersebut kemudian semacam dikukuhkan dengan munculnya lontaran-lontaran kekecewaan dari berbagai pihak, sebut saja Rusyana (1992), Taufiq Ismail (1997), Sayuti (2000) Kuswinarto (2001), dan masih banyak lagi. Permasalahan ini disinyalir terkait dengan berbagai faktor seperti yang diungkapkan Rahmanto (2001), yaitu: kemampuan guru, kondisi siswa atau subjek didik, sarana dan prasarana serta komponen-komponen pendukung lainnya. Secara empiris, hal tersebut dikarenakan pembelajaran sastra masih berkisar pada proses menghafal ketimbang mengapresiasi padahal minat pembelajar terhadap sastra tinggi.

Uma #1

All things are artificial, for nature is the art of God.

Thomas Browne (1605 - 1682) 
English physician and writer.  
Religio Medici

Thursday, August 11, 2011

Sastra: Antara Akademik dan Publik

Oleh: Firman Nugraha

Salah seorang dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris UPI sempat berkata bahwa Perguruan Tinggi (PT) sungguhpun tidak memiliki kewajiban untuk melahirkan mahasiswanya menjadi sastrawan. Menjadi sastrawan seyogyainya merupakan pilihan mahasiswa sendiri dan PT tidak berhak serta tidak pula bertanggung jawab atas pilihan tersebut.

Sesaat saya termenung mendengar perkataan itu. Apa sebegitunya peranan PT sehingga tidak mampu melahirkan sastrawan-sastrawan jebolan akademisi? Yang teramat mengherankan justru pada pernyataan yang tampak sangat bersebrangan dengan kenyataannya; bukankah mahasiswa-mahasiswa dicetak agar ia dapat dengan siap menghadapi dunia –salah satunya dunia sastra—yang  digelutinya selepas kelulusannya? Dan, bukankah persiapan ini pula yang menentukan bagaimana kemampuan dan keahliannya itu digenjot di (lingkungan) perkuliahan? Untuk ini saja kedua pertanyaan itu telah cukup untuk mematahkan argumen di awal; lalu untuk apa ada PT jika begitu?

Teater Lingkungan Hidup

Oleh: Firman Nugraha

Permasalahan lingkungan hidup sepertinya tak pelak lagi menjadi isu yang merambah banyak bidang di setiap lini kehidupan. Ia tak hanya terpapar di kolom-kolom bertema lingkungan saja, melainkan terpapar pula di kolom lain seperti arsitek, teknologi, fesyen, dan lain sebagainya. Tak berlebihan kiranya perkataan Mary Evelyn Tucker dan John A. Grim dalam bukunya “Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and the Environmental” bahwa saat ini, kita tengah berada di zaman ekozoik!

Begitu pun di bidang seni, ia menjadi sebuah konsumsi yang memungkinkan untuk “dieksploitasi dan “dieksplorasi.” Seni dapat saling berkelindan, bersinggungan, dan berkolaborasi dengan lingkungan. Karena sebagaimana yang Iman Soleh ungkapkan, bahwa seni adalah ruang terbuka yang dapat didekati oleh wilayah apapun. Dan teater, sebagai salah satu bentuk dari kesenian, merupakan cara yang representatif untuk mengetengahkan permasalahan baik sosial, kultural, maupun environmental ke dalam kemasan yang estetis.

Lanskap Sastra Kita

Oleh: Firman Nugraha

Barangkali, untuk saat ini, bisa dibilang Silaturahmi Nasional Forum Lingkar Pena (Silnas FLP) 2008 di Jakarta (11-13/07); Temu Sastra III Mitra Praja Utama 2008 di Bandung (4-6/11); dan Kemah Sastra dan Lingkungan 2009 di Medan (5-7/06) saja, kegiatan yang menjadikan lingkungan sebagai tema utamanya. Selain itu, belum ada –untuk tidak mengatakan tak ada sama sekali—kegiatan serupa lainnya. Keterselenggaraan kegiatan tersebut ditengarai oleh wacana ihwal krisis lingkungan yang bukan lagi menjadi isu (nasional), tetapi juga fakta (global). Sebagaimana yang kita tahu, bahwa hal ini muncul sebagai akibat dari fenomena global warming yang tengah dihadapi segenap umat manusia di dunia.

Pertanyaannya adalah –yang sebenarnya bukan merupakan inti dari tulisan ini, namun tetap cukup layak untuk diajukan: Apakah hanya (kegiatan) itu saja? Yang dalam jalinan sastra, lingkungan menjadi entitas yang substansial untuk “dirayakan”? Manakah kegiatan-kegiatan serupa yang sebelumnya sempat dijanjikan oleh penyelenggara dari salah satu kegiatan tersebut di atas? Apakah kegiatan itu hanya sekadar formalitas? Sekadar mengisi kekosongan dunia sastra kita (Indonesia)? Jika untuk jawaban dari pertanyaan pertama adalah “tidak“, maka penulis berasumsi bahwa akan ada kegiatan serupa di masa mendatang. Tetapi jika jawabannya adalah “ya”; barangkali sastra kita tak lebih dari sekadar sastra musiman yang tergelak hanya untuk euphoria sesaat.

Puisi: Semesta dan Estetika

Oleh: Pipin Saswa 
Semesta–pada sebuah tatanan yang terus bergerak dinamis–telah banyak berubah dan mengubah setiap segi atau aspek serta elemen ke dalam sebuah kompleksitas yang beragam. Ia secara mutlak menyimpan makna yang masih tersembunyi, dan pemaknaan itu sendiri seperti tak habis-habisnya digali di setiap waktunya.

Masih banyak yang kita tidak ketahui dari semesta. Ia sememangnya menyimpan berbagai misteri yang tersembunyi. Dan kita, selantasnya selalu mencari dan mencari bahkan menemukan hal-hal yang baru dari semesta. Ibarat seorang guru, semesta mengajari kita berbagai hikuk dan pikuk permasalahan, menelusup sampai ke dalam –ke akar-akar sebuah puncak dari setiap sudut pemikiran. Sehingga, memang benar jika semesta adalah wilayah eksplorasi dan “eksploitasi” tanpa batas dalam geraknya seiring ruang dan waktu.

Bahasa SMS

Oleh: Firman Nugraha

Tak bisa dimungkiri bahwa perkembangan teknologi telah pula turut serta memengaruhi perilaku manusia dalam berbahasa. Media informasi, khususnya yang berupa elektronik, menuntut manusia berpikir efektif dan efisien dalam menggunakan bahasa sehingga informasi yang disampaikan bisa cepat, singkat, dan padat. Hal ini tampak dari penggunaan bahasa pesan singkat atau yang biasa disebut SMS (short message service).


Fenomena penggunaan bahasa dewasa ini sedikit banyak ”menyimpang” dari kaidah-kaidah tata bahasa yang semestinya. Apa sebenarnya yang menjadi faktor munculnya fenomena ini? Apakah hukum alam mempunyai peranan penting dalam kemunculannya? Sejauh mana bahasa SMS bisa diterima sebagai suatu konvensi, bahkan jika perlu sebagai bahasa informatika?


Sastra Hijau

Oleh: Firman Nugraha

SEJAK awal, alam telah menjadi bagian dari sastra. Ini terbukti dengan tidak sedikitnya sastrawan, khususnya dari kalangan penyair, yang menggunakan diksi hutan, laut, pohon, dan lain-lain dalam karya mereka. Namun seiring perkembangan, sastra telah banyak mengalami perubahan, begitu juga alam. Kedua elemen yang tak terpisahkan ini seakan selalu berjalan beriringan. Sastra tempo dulu adalah wajah alam masa lalu dan sastra sekarang adalah wajah alam masa kini. Sastra membutuhkan alam sebagai inspirasinya, sedang alam membutuhkan sastra sebagai alat konservasinya.

 
Adalah Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm (1996) yang mengetengahkan gagasan tentang ecocriticism atau ekokritik, lewat eseinya yang berjudul "The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology". Melalui eseinya itu mereka bermaksud untuk mengaplikasikan konsep ekologi ke dalam sastra, di mana pendekatan dilakukan dengan menjadikan bumi (alam) sebagai pusat studinya. Ekokritik sendiri secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan hidup (Glotfelty, 1996).

Mulai Dari Sekarang

Mengingat banyaknya tulisan, baik esei, artikel, puisi, dan lain sebagainya, pun pemikiran di dalamnya yang diharapkan dapat berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, maka mulai dari sekarang, blog ini akan menampilkan kembali tulisan-tulisan tersebut, baik yang sudah dimuat di media, maupun yang belum. Semoga niatan ini dapat turut menyemarakan ilmu pengetahuan di negeri ini khususnya, dan di dunia ini umumnya. Amin

Subang, 11 Agus 2011