Saturday, October 29, 2011

Alam dan Tiang Listrik

Menyusuri jalan Sukamandi dari arah Wanayasa ke Purwakarta, pemandangan ajaib tertangkap mata: satu hal yang tidak biasa. Sebuah tiang listrik berdiri tegak. Seandainya. Tapi tiang listrik itu hampir saja roboh, bukan karena ada orang yang hendak mencurinya --mengingat banyak perilaku sosial masyarakat yang dewasa ini tidak cukup bisa menjaga dan mengindahkan fasilitas umum, dan memang tidak mungkin ada orang yang mencuri tiang listrik. Tetapi, hal ini dikarena alam sudah berbicara.dengan bahasanya. Bahasa sakti. 

Peristiwa ini terjadi tepatnya pada tanggal 12 Oktober 2011, di mana sehari sebelumnya hujan lebat turun yang akhirnya menyisakan pemandangan yang sangat jarang. Seharusnya tiang listrik itu berdiri tegak seperti ini:


Sayang, kenyataannya tiang listrik itu justru seperti ingin tidur karena kelelahan:


Sungguh mengerikan. Tapi syukurnya tidak ada korban. Semoga petugas yang lain kali akan mendirikan tiang listrik bisa lebih hati-hati lagi. Entah dengan memeriksa tanahnya, atau mungkin dengan memerika tiang listriknya :) []


Uma #4

After you have exhausted what there is in business, politics, conviviality, and so on—have found that none of these finally satisfy, or permanently wear—what remains? Nature remains.
Walt Whitman (1819 - 1892)
U.S. poet.
Specimen Days and Collect, "New Themes Entered Upon"

Alam Jeung Pujangga

Ku Sir Philip Sydney (1554-1586)

Euweuh seni nu ditujukeun ka jalma nu teu ngabogaan pangaweruh alam sangkan jadi obyék pokona, nu mun teu jeung alam jalma moal daya, jeung nu ngan ka alam jalma gumantung jadi aktor jeung pamaen di mana alam jadi tempat hirup satuluyna. Ku kituna ahli falak nu ningal béntang jeung maké naon marenehna ningalna, nangtukeun tata-titi alam nu ngabogaan peran penting di tempat éta…  Fisikawan nimbang alam raga manusia, jeung alam wanda nu nyalametkeun sarta nu ngarugikeunna. Kitu ogé ahli metafisika, sanajan aya dina peran kadua jeung abstrak, jeung lantaran kitu dianggap supranatural, tapi angger méré kontribusi kana kalumungguhan alam.

Ngan pujangga, nu “ngéréméhkeun” nepi ka embung diatur ku aturan siga kitu, malah nyokot usaha ku cara nu lian karyana sorangan, maprah pangaruh ka alam nu lian dina ngajadikeun hiji pancén leuwih hadé salian waragad nu dibawa ku alam, atawa, nyieun rupa nu anyar nu euweuh nemrak di alam, siga pandita, atawa déwa-déwa, buta, uka-uka, widadari, jllna, sabari paantai-antai leunguen langsung jeung alam jeung teu nutup diri ku kanyataan nu sempit kalayan karuniana, malahan ngatur ilatan bebas ku kapinteran sorangan. Alam teu ningalikeun bumi ku ngan saukur susunan kaendahan nu beunghar nu tangtuna béda jeung pujangga. Teu ogé ngan ku saukur walungan nu éndah, tatangkalan nu boga réa-réh buah, kembang nu seungit teu kacida, ogé ku sagala nu matak ngajadikeun leuwih mikacinta bumi ihwal ti liana. Dunya mah hebatna kacida, tapi pujangga mah ngan méré batu mulia (emas). []   

Ditarjamahkeun tina tulisan nu boga judul “Nature and the Poet” ku Firman Nugraha; Subang, 29 Oktober 2011.


Cara Mengutip:
Syndey, Sir Philip (1595).  Alam Jeung Pujangga. Dalam Saswaloka.  Ter. Firman Nugraha.
        Diambil <sesuaikan tgl, bln, thn,> dari http://upacarausia.blogspot.com/2011/10/alam- 
        jeung-pujangga.html

Thursday, October 27, 2011

Suatu Malam di St. John (2)

Oleh: Nikolai Gogol

Petro mematung, tidak bergerak sedikitpun, ketika anak tak berdosa itu mengutarakan kata-kata Pidroka padanya. “Dan aku adalah pria yang tak beruntung yang berpikir untuk pergi ke Krimea dan Turki, mendapatkan emas dan kembali padamu, kekasihku! Tapi mungkin itu takkan jadi. Mata Iblis sudah melihat kita. Aku juga ingin menikah, sayangku. Aku juga. Tapi takkan ada rohaniawan di pernikahan. Gagak hitam akan berkaok dan bukan Paus yang mendekatiku; ladang akan menjadi tempat tinggalku; langit biru yang hitam akan menjadi atapku; burung elang akan mencungkil mata cokelatku; hujan akan mencuci tulang orang-orang Kosak, dan angin puyuh akan mengeringkannya. Tapi, siapalah aku? Dari siapa, pada siapa aku harus berkeluh kesah? Sudah jelas ini kehendak Tuhan. Jika aku harus hilang, maka hilanglah!” dan ia pun langsung pergi ke kedai minuman.

Wednesday, October 26, 2011

Bahasa Kuliner

Konvensi bahasa memang tidaklah dimiliki oleh kaum intelektual atau ahli bahasa saja. Ia dimiliki oleh para penggunanya, tanpa kecuali, meski tidak dimulai dari pemahaman awal atas bahasa itu sendiri. Konvensi bahasa acapkali tidak taat aturan sebagaimana EYD telah menyempurnakannya. Karena memang, geliat evolusi bahasa lebih cepat tinimbang pembakuan bahasa itu sendiri. Percis sekali dengan teori yang memang selalu datang belakangan. Dan fenomena ini, dapat dilihat salah satunya dari penggunaan bahasa di dalam ranah kuliner.

Tuesday, October 18, 2011

Suatu Malam Di St. John (1)

Oleh: Nikolai Gogol

[Diambil dari salah satu cerita dalam antologi "Tales at a Farmhouse near Dikanka."]
(Berhubungan dengan Koster Gereja Dikanka)
THOMA GRIGOROVITCH memiliki semacam perilaku yang cukup aneh: sampai pada hari kematiannya ia tidak pernah suka mengatakan hal yang sama dua kali. Ada suatu waktu ketika, jika Anda memintanya untuk bercerita sekali lagi, perhatikanlah, ia akan menambahkannya dengan sesuatu yang baru, atau bahkan mengubahnya sampai-sampai mustahil untuk bisa mengenali cerita itu.
Suatu hari, salah seorang dari mereka (sangat sulit bagi orang sederhana seperti kami memberi nama pada mereka, untuk mengatakan bahwa tulisan nama mereka itu bagus atau tidak; akan tetapi itu sama saja seperti halnya seorang lintah darat di pameran tahunan; mereka menggenggam dan mengemis dan mencuri baju pajangan, dan mengeluarkan sedikit terbitan yang berarti, yang tak lebih tebal ketimbang buku ABC, setiap bulan, atau bahkan setiap minggu,) –salah satu dari mereka memancing cerita yang sama dari Thoma Grogorovitch, dan ia benar-benar lupa tentang cerita itu.

Plagiat, Pergi Sana!

Sehubungan dengan ditemukannya beberapa tulisan yang secara langsung menyadur tulisan yang ada di blog ini, yang juga telah dimuat di media (koran), tanpa mencantumkan sumber dan nama penulisnya. Maka untuk selanjutnya, akan dicantumkan kutipan di setiap tulisan yang diterbitkan sebagai referensi agar bisa digunakan dalam daftar pustaka bagi siapa saja yang membutuhkannya. Untuk lebih jelas, silahkan mengunjungi laman "Sadur" yang ada di blog Saswaloka ini. Demikian dan harap maklum. Terima kasih atas perhatian dan pengertian Anda. Salam!

Monday, October 17, 2011

Tentang Epigon dan Plagiarisme

Oleh: Firman Nugraha
Di dunia kepenulisan, istilah epigon seringkali dikaitkan dengan plagiarisme. Apabila plagiarisme merupakan tindakan menyalin atau “mencuri” karya orang lain dan mengklaimnya sebagai karya sendiri; maka, epigon lebih kepada tindakan mengikuti atau meniru karya orang lain, khususnya dalam sudut pandang artisitik atas karya (sastra) tersebut.
Kata ‘epigon’ berasal dari bahasa Yunani (epigonos) yang berarti keturunan, sedang dalam bahasa Sanskerta berarti nurun. Dalam tingkatannya, kata ‘nurun’ bisa menjadi ‘nurun sungging’ apabila peniruan yang dilakukan sama betul dengan karya aslinya. Dan inilah yang membuat epigon berubah menjadi plagiarisme, meski tidak berarti bahwa seorang plagiat berasal dari seorang epigon. Namun, akan lebih baik lagi jika tidak menjadi keduanya.  
Ketika berbicara ‘meniru,’ tentunya, berarti ada yang ‘ditiru’. Tulisan ini sengaja membedakan epigon (peniru karya) dengan plagiat (pencuri karya) mengingat epigon hanya sebentuk ketidak-mapanan dalam mencipta karya. Sedang, plagiarisme jelas-jelas masalah serius karena merupakan sebuah tindak kejahatan intelektual.
Apabila dalam proses epigonisasi ada semacam tindakan pemersepsian, maka dalam plagiarisasi proses itu tidak ada. Kalau pun ada, sangat kecil sekali kemungkinannya. Inilah yang menjadikan plagiarisme menjadi tindakan yang tercela, terlebih di dunia pendidikan dimana intelektual mestinya bisa menjadi mahkota yang berwibawa dalam menjaga dan membuktikan keilmuan seseorang, bukan hanya sekadar copy paste (salin-temple).
Secara tidak disadari, para penulis atau pengarang yang sudah besar namanya –dalam sebuah proses kreatif yang digeluti—biasa memiliki panutan dalam dunia kepenulisannya. Ini dapat disaksikan dari bagaimana mereka mensibatkan panutannya sebagai sumber inspirasi, ilmu dan motivasi. Bagaimanapun juga, keterpukauan menjadi stimulus seseorang dalam melakukan apa yang ia senangi setelah “bertemu” dengan panutannya.
Ide-ide pun bersliweran hingga pada akhirnya keinginan untuk melakukan yang sama muncul lewat ekspresinya dalam mencipta. Sejauh itu, tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukannya. Yang salah adalah, ketika seseorang tidak lagi menjadi pengikut, melainkan menjadi orang kedua dari satu orang yang sama. Identitas salinan. Percis dengan copy-an dari buku asli yang warnanya tidak cerah dan jelas, tetapi buram. Sungguh tidak enak dibaca, terlebih disimpan sebagai koleksi.
Dalam proses epigonisasinya, ada tindakan daur-ulang di sana. Pengolahan dan pemersepsian. Sekeras mungkin menelurkan ide yang berasal dari induk ayam yang sama. Hal ini tentu berbeda dengan plagiarisasi dimana karya benar-benar dicomot dan dicaplok. Yang lebih miris adalah, ketika hasil karya sebangga-bangganya diklaim sebagai karya sendiri. Dalam dunia kepenulisan, apalagi sastra, hal demikian menjadi ketakutan tersendiri bagi setiap penulis –entah penyair, cerpenis atau eseis—hingga saat ini. Karena jika demikian kenyataannya, maka dapat dipastikan bahwa perkembangan sastra negeri ini menjadi stagnan dan akhirnya hanya diisi oleh saduran-saduran saja (Plagiat dan Apresiasi Sastra: Subakastawa, 2002).
Setiap orang memang belajar. Tapi apalah artinya belajar jika tidak bisa original? Asli? Tidakkah itu namanya membuang-buang waktu, tenaga dan pikiran? Mochtar Lubis yang sangat terkesima dengan gaya penulisan, belajar pada Ernest Hemmingway. Leo Tolstoy yang akhirnya memiliki sifat nasionalisme, belajar pada Rousseau. Sapardi pun belajar dari terjemahan-terjemahan puisi yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Mereka belajar dari orang besar dengan karya-karya besarnya. Namun demikian, mereka pun memiliki jati diri dan identitas sendiri lewat karya-karyanya lantas jadilah mereka besar.
Sungguh, tidak ada yang salah dengan menjadi epigon selama ia menyadari bahwa dirinya masih berada di ketiak orang lain, hingga pada akhirnya ia bangkit dengan identitasnya sendiri. Layaknya seekor kuda, terkadang ia harus mendapat cambuk dari sais agar dirinya bisa berlari kencang. Namun akan bahaya akibatnya jika kuda itu sampai kesurupan karena hanya bisa menurut saja pada sais hingga tak mampu lagi melihat jalan yang mesti ditempuhnya. Sesat arah. Seperti itu juga seorang penulis. Bisa jadi ia akan dianggap “kesurupan” apabila hanya cuma bisa menjadi epigon orang lain tanpa bisa menciptakan ide baru and segar untuk setiap karya-karya ciptaannya.
Ketakutannya –jika diibaratkan sebagai penyakit, ini akan menumbuhkan sikap dan sifat seorang plagiat dimana dirinya tak mampu lagi berpikir dan tak mau repot-repot untuk mencari-cari ide semata agar karyanya bisa booming dalam waktu singkat. Bagaimanapun, tidak ada kebanggaan dan pelajaran untuk sesuatu yang instan. Bukankah hidup itu sendiri adalah proses? Dan tidak mungkin, untuk menjadi diri sendiri, dilakukan dengan cara tidak terpuji seperti itu (?)
Sejatinya, dewasa ini, terlebih plagirisme, epigon pun telah menjadi sesuatu yang dipandang sebelah mata. Sesungguhnya, tak ada yang namanya perkembangan untuk sebuah jipakan. Dan oleh karena itu, tak ada kebanggaan.[]

Subang, 17 Oktober 2011
*) Tulisan ini dimodifikasi dari artikel berjudul “Menyoal Sastra Epigon” dari penulis yang sama (2006).

Cara Mengutip Tulisan Ini:
Nugraha,  Firman.  (2011).  Tentang Epigon dan Plagiarisme.  Dalam Saswaloka.  Diambil <sesuaikan
tanggal pengambilan tulisan (Bln, tgl. thn)>, dari http://upacarausia.blogspot.com/2011/10/tentang-epigon-dan-plagiarisme.html

Saturday, October 8, 2011

Uma #3

First man conquers nature, and then he learns that conquered nature has lost its purity and he's very upset by this loss. But it's not science that's to blame, it's technocrats and politicians. They've misused science.
Saul Bellow (1915 - 2005)
Canadian-born U.S. writer.
The Dean's December