Sunday, May 27, 2012

Tolstoy & King: After The Reading


It’s been 18 years since The Shawshank Redemption released in theater, and this night I roll in that great movie again. Incidentally, I read one of the greatest works of Tolstoy entitled “God Sees the Truth, but Waits” the night before. Was I dreaming or dream that makes all sense, even if it remains in a fiction? I had just wake up from my lousy sleep when my subconscious mind said something about the movie and the short story.

Both of them, the movie and the story, tell about someone that in one circumstance deals with prison. Stephen King, the author of The Shawshank Redemption, took the main character, Andy Dufresne, as one that must be prisoned for a murderer that he didn’t really do. For more than 20 years he must live in the prisonhood, until in one rainy day he escaped from it and came to be a free man.

Tolstoy’s story pretty much reveals the same with King’s. Aksenof, the main character in the “God Sees the Truth, but Waits” also sentenced by the judge for the same case. It is different from King’s, Tolstoy put his character in other situation. It was said that Askenof was in a journey to an annual fair in one of the town called Nizhmi. However, Askenof’s intention was being prohibited by his wife as a dream came to her. She told Aksenof or Ican Dimitricvich that something bad would happen for she saw his husband’s hair grew with in that dream.

If Duresne was being fucked by the lawyer; Askenof was being slandered by someone-we don’t-know. The remarkable thing is that Dufresne and also Aksenof was being taken into a faith to meet the truth. The truth that they found the real crook who made them crouched in the prison. King’s must made a messenger upon one of the character, say Tommy Williams, to tell the truth, while Tolstoy did met the crook with the main character, Askenof. This kind of situation in further makes difference for both of the story.

However, it’s not the point. The point is that the method of the two authors uses to reveal the truth upon their story. This is the problem! A problem that made me think: Is it nothing but coincidence or what? I even think of King as the author that inspired by Tolstoy’s; but would it be possible? There’s so much possibility can be made bout this. But the truth is, I don’t know for sure. What I really know is that either Leo Tolstoy’s “God Sees the Truth, but Waits” or Stephen King’s The Shawshank Redemption, both of them are masterpiece. And like any other masterpiece of works, it worth to read or even watch. (FA/Saswaloka)

Saturday, May 26, 2012

Kesenduan Sastra Hijau: Ekokritik Dalam Kritik

Oleh: Michael P. Cohen

Environmental History 9.1 (Jan. 2004): 9-36

Berdiri di persimpangan jalan, matahari terbit terbenam
Meratapi simpang jalan pagi ini, Tuhan, sayang aku
tenggelam

--Robert Johnson

Sejarawan lingkungan dan ekokritikus—para sarjana  yang menggabungkan teks sastra dan kritik sejarah tentang alam—berbagi pemikiran yang sama. Banyak penulis yang kemudian menyebut dirinya sebagai sejarawan lingkungan atau pakar ekokritik mulai membaca karya-karya pasca Perang Dunia II, yang kemudian berkesempatan membuka tradisi penyelidikan antara keduanya. Dipimpin oleh sejarahwan dan kritikus sastra, buku-buku ini secara serempak mengetengahkan sebuah sejarah dan pemikiran orang-orang barat Amerika.

Sejarawan lingkungan John Opie melacak ketertarikan akademiknya terhadap sejarawan intelek, Perry Miller. Begitupun dengan saya. Lewat karya Virgin Land-nya Henry Nash Smith (1950), muncul sebuah kesadaran atas perbedaan antara yang dibayangkan, simbol barat dan aktualitas, dan keterbatasan faktor-faktor lingkungan. Lewat The Machine in the Garden-nya Leo Marx (1964), muncul juga sebuah premis bahwa budaya melihat negerinya berdasarkan hasratnya, dan hal ini sampai pada cita-cita orang dusun dalam imajinasi orang Amerika. Lewat Exploration and Empire-nya William Goetzmann’s, muncul sebuah tesis bahwa budaya mendapatkan apa yang dicarinya. Sama halnya lewat Wilderness and the American Mind-nya Roderick Nash (1967), muncul sebuah gagasan bahwa hubungan struktural antara pikiran dan tanah air didapat secara langsung dari diskusi di konferensi hutan belantara Klub Sierra. Sejarawan dan kitirkus sastra sama-sama membahas buku-buku ini. Pada waktu yang sama ketika para penulis telah mengeksplorasi bagaimana kita membayangkan dimana kita tinggal dan apa yang sudah kita lakukan terhadap hidup dan kehidupan di alam semesta ini, dalam tradisi ini mereka dan para penulis lainnya juga peduli untuk mengevaluasi dan menjaga semesta ini.   

Wednesday, May 23, 2012

Bangsa Menentukan Bahasa (?)

Sebuah mobil Pertamina melintas di depan saya. Di belakang tank mobil tertulis “Bahan Bakar Non Subsidi”. Beberapa pertanyaan pun muncul di kepala: Mengapa  ada kata subsidi dan non subsidi? Mengapa dipilih kata subsidi? Apa yang hendak disampaikan dengan penggunaan kata “subsidi” itu?

Tiba-tiba saya ingat Leo Tolstoy dan Johannes Brahms. Keduanya sama-sama orang yang bergelut di bidang seni. Leo Tolstoy adalah pengarang dari Rusia yang karya-karyanya diakui dunia. Bahkan Anna Karenina dan War and Peace-nya menjadi perbandingan untuk karya-karya sastra dunia yang muncul belakangan. Sedang yang satunya lagi adalah seorang komposer besar Jerman pada abad ke-19. Dia menjadi terkenal dikarenakan karyanya yang menggabungkan aliran klasik dan romantik.

Satu hal yang orang tidak tahu dari keduanya adalah, sifat mereka. Tolstoy sekalipun karyanya memang hebat dikarenakan kepiawaian menulisnya, tapi dia adalah seorang anarkis. Sementara Brahms sendiri adalah seorang pembenci binatang. Di saat sedang mencari inspirasi, dia sering memanah kucing-kucing milik tetangganya di atas loteng dengan busur dan panah yang memang sengaja dipersiapkannya. Kebiasaannya itu dilakukan sampai akhir hayatnya.

Monday, May 21, 2012

Orang Baik

“Saya ini bukan orang baik!” Setidaknya, itulah yang dikatakannya padaku. Dalam gelimang dosa yang dilakukannya semasa muda dulu, saat ini dia hanya bisa menjalani apa adanya. Tak mau banyak nuntut, tak ingin banyak mau.

Hanya, ada hal yang sampai detik ini disesalinya. “Kalau saja dulu saya menerima tawarannya, mungkin hidupku takkan seperti ini. Melarat, tiap hari mencari rezeki, mencari nikmat,” ucapnya dengan penyesalan yang tergambar di raut wajahnya.
           
Aku bertemu dengannya tak lama setelah satu bulan bekerja di tempat baru. Sebuah sekolah swasta milik sebuah yayasan yang harum namanya, tapi tidak orang-orangnya. Baju safari membungkus tubuhnya yang kecil. Kacamata nongkrong di atas hidungnya. Tak seutas rambut pun menempel di kepalanya. Sambil menghirup-hembuskan asap rokok, dia tertawa begitu renyah. Dia bercerita tentang pengalamannya mengajar di sekolah bertaraf internasional di ibu kota.

Tetangga Wartawan Kerajaan Sumedang

Ingin kuceritakan seperti apa tetanggaku ketika aku masih di kamar yang dulu. Kamar kecil kedua dari kanan dan tak cukup indah dipandang itu. Bukan tetangga yang berada di kananku –mereka adalah sebuah keluarga muda: bapak yang berasal dari Jawa dan Ibu yang berasal dari desa perbatasan, dengan balita perempuannya yang masih kecil.

Tentunya, mereka sekarang sudah tidak ada lagi di sini. Mereka pindah ke rumah keluarga asalnya, entah di mana. Sedang kamarnya, sudah didiami oleh keluarga yang lain. Seorang istri muda dan seorang suami gagah berbadan kekar. Tapi, bukan mereka yang bakal aku ceritakan. Aku ingin menceritakan tetangga yang dulu sempat tinggal di sebelah kiri kamarku. Sebuah keluarga yang sedikit lebih memiliki keunikan menurutku.

Sebetulnya, tak sampai satu minggu setelah kedatanganku ke kontrakan ini, sebuah keluarga mengisi kamar itu. Kamar yang si empunya tidak pernah menawarkannya padaku, entah apa alasanya. Aku tak mengetahui secara langsung bagaimana keluarga itu pindah, karena pada saat itu aku memang lebih banyak menghabiskan waktu di Djati di rumah temanku, dan di sekolah. Yang aku tahu, sebuah sepeda motor sudah berada di depan kamar itu dengan seorang bapak yang entah mengerjakan apa pada motornya itu.

Tikus

Uded tak habis pikir, bagaimana mungkin akhir-akhir ini dia bisa bertemu dengan banyak tikus. Tikus-tikus ini tidaklah berdasi melainkan hanyalah tikus dengan perawakan yang sederhana. Tikus berkemeja, tikus bersandal, tikus berkendara, bahkan ada juga tikus yang berkopiah.

Awalnya Uded tidaklah terganggu, karena dia berpikiran bahwa tikus juga makhluk, sama-sama ciptaan Tuhan. Dan, “bukankah sesama makhluk itu dilarang untuk saling mengganggu?” begitu dia berkata pada dirinya sendiri.

Tapi makin lama, bahkan sebelum melihat tikus-tikus ini bertingkah, dia sudah geram lebih dulu. Betapa tidak? Tikus-tikus itu datang tanpa permisi dan pulang tanpa pamit. Mereka berkumpul dengan orang-orang tanpa pandang bulu. Mereka ikut berdiskusi dan melontarkan pendapat seolah menyatakan keberadaannya dengan berkata: “Saya ini tikus, dan perhatikanlah saya berbicara!”

The Curtain Is Falling Down

I've deleted two posts at a  time. Posts that are not necessarily significant as my hypothesis results the fact. The fact that occurred several hours ago when I was in the class teaching my students. At the beginning, I knew that this community was flawed. The intention for making this community was actually great. Unfortunately, the man behind it made no clear concept bout it. I've delivered some suggestion due this, but rigidity became the acceptance I've got. Moreover, each person seemed walk in their own path. No schedule, no routines, nothing but hunted for one pleasure by himself only and not for the community. What kind of community is that? It's not a community, it's only a forum. Gather in a time and then dismiss after the gathering is done. 

It's not one or two times I've dealt within this kind of situation. The number were countless. Until, when I was teaching in the class, a text delivered by one of them said that there were going to track the road. Didn't they think the others who in that time was in a such busy regarding their job, the other friend and my job? Easily,  they said that I've to catch them up while I don't even know the route, surely, cause I am new here in this neighborhood. They just want to track without thinking much bout community, or how to built it, to expand it. They're just fond in asking and seek their own pleasure, each person, but don't really fond of building the true community. What can I be proud of it? Nothing. 

At last, as the conclusion, I made my own "track" as I commit to my hobby: reading, writing, blogging, and everything I like. All by myself, and don't think that I have to give my focus, energy, and time upon this community. This flaw community which by itself that the curtain is sinking down. The truth occurs and I have to face the reality under protest. 

Hah! Just, another (pathetic) phase of life.      

Thursday, May 10, 2012

Cerita Tentang Bagaimana Doni dan Ali Bertengkar

archives
Jika bukan karena hormat dan menghargai suami, barangkali saat ini Yanti sudah mendatangi Ali dan mengobrak-abrik rumahnya. Betapa tidak? Tindakan Ali sudah tak bisa lagi ditolerir oleh Yanti, bahkan oleh siapa pun. Istri mana yang diam saja melihat suaminya disepelekan orang lain, yang segala kepemilikan dan keahliannya diaku-aku orang lain? Sesabar-sabarnya orang, tetap saja ada batasnya, pikir Yanti. Begitulah ia jika sudah tak bisa menahan amarah.

Kendati demikian, tak sampai pula niatnya itu kesampean. Karena setiap kali Yanti mulai terlihat marah, Doni, suaminya, selalu menghadapinya: meredakan Yanti dengan rasa sabar Doni yang perempuan mana pun bisa jadi luluh dibuatnya. Ada kalanya Yanti sendiri marah terhadap sikap Doni yang selalu menganggap bahwa permasalahan apapun yang berhubungan dengan tingkah laku Ali, dianggapnya hal yang biasa.

Friday, May 4, 2012

Asal Muasal Daun Pohon Gugur

Pada zaman dahulu kala, ketika manusia belum ada, bumi hanya ditinggali oleh pohonan dan binatang. Kedua makhluk ini saling berbagi antara satu sama lain dalam keharmonisan. Seandainya. Suatu waktu, di kala musim dingin tiba, burung-burung harus terbang ke Selatan, ke tempat dimana cuaca lebih hangat dari tempat yang ditinggalkannya. Tapi mereka akan kembali di musim yang lain jika cuacanya sudah hangat.
            Suatu hari, dalam sebuah perjalanan untuk menghindari musim dingin, seekor burung Pipit terluka. Dia tak kuasa untuk terbang bersama keluarganya ke tempat yang lebih hangat. Dengan begitu, dia pun memilih untuk tinggal saja, meninggalkan keluarganya terbang ke tempat yang ditujunya.

Wednesday, May 2, 2012

Menikah Itu Bukan Main-Main

Cukup lama saya menyimpan pikiran ini. Bukan pikiran tentang keinginan untuk menikah; apa yang harus dilakukan di saat melamar; atau apa pun yang berhubungan dengan segala macam resepsi dan lain sebagainya.

Tetapi soal bagaimana pernikahan menjadi sebuah tanggungan yang harus dijawab segala beban dan masalahnya. Bukan hanya sebatas gerbang menuju hidup baru bersama Si Doi, menyatukan dua hati, membulatkan iman dimana saling mengisi dan saling pengertian dibutuhkan. Karena saya yakin, setelah apa yang saya lihat, itu hanya pemanis saja, semacam appetizer alias makanan pembuka sebelum kita menyantap main course-nya.

Memang, gairah seringkali mengalahkan logika sebagaimana yang dirasakan mereka yang merasa dirinya sudah dewasa. Sudah waktunya untuk hidup berdampingan dengan “tulang rusuknya”. Gairah yang sebatas kemauan yang besar dan menggebu, yang menciptakan tren nikah muda di kalangan masyarakat sekarang, tapi tidak punya pengetahuan bagaimana membina dan menjalankan keluarga.