Wednesday, August 8, 2012

Antara Kentut dan Cinta

Akhir-akhir ini rumah dipenuhi dengan kentut. Pagi kentut, siang kentut, malam kentut. Bahkan, ketika sedang tidur pun masih bisa kentut. Sungguh bukan kesalahan yang memang disengaja, tapi kentut nyatanya bisa mewarnai cinta.

Entah di mana dan sejak kapan kegiatan kentut-mengentut ini berawal, saya tidak tahu pasti.  Hanya saja, kentut menjadi sesuatu yang monumental sekaligus menjadi bumbu tersendiri terlebih ketika saya kentut di depan istri saya, atau sebaliknya. Sungguh, kentut tidak lantas membuat kami saling tuduh apa lagi sampai bikin marah. Justru sebaliknya, kentut membuat kami tambah dekat: tertawa mendengar suara kentut masing-masing--kebanyakan dari suaranya yang khas, terlebih jika istri saya yang kentut--sungguh momen yang sangat langka saya bahkan kebanyakan pria dengar.

Dulu, ada saat dimana saya menahan kentut terlebih di depan istri. Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa juga harus jaim (jaga image) segala? Bukankah istri itu bukan siapa-siapa lagi bagi saya? Dia adalah orang yang paling dekat dengan saya yang mestinya tahu seluk beluk tentang saya, dan begitu juga sebaliknya. Dan salah satu dari seluk beluk itu adalah kebiasaan kentut saya. 

Awalnya, saya sedikit agak malu bahkan harus meminta izin dulu sama istri kalau saya hendak kentut. Bahkan lebih dari itu, saya sempat juga mengobrolkan masalah kentut, seperti sebuah pertanyaan tentang: Kapan sih seorang perempuan kentut? Kok kayaknya dunia sepi banget tanpa kentut perempuan? Padahal saya yakin, tidak ada satu makhluk pun yang tidak kentut. Ini namanya manusiawi sekaligus hewani (saya sempat mendengar kucing saya sendiri kentut). 

Saya pun sempat berkata kalau kentut itu adalah tanda orang sehat. Untuk masalah ini, saya sempat menyaksikan pengalaman kakak. Dulu Kakak sempat dioperasi karena usus buntu. Tak lama setelah operasi, setiap ada pemeriksaan, dokter selalu bertanya: Apa sudah keluar anginnya? Mengapa juga orang yang sudah dioperasi harus ditanya sudah kentut atau belum. Kata Kakak, kentut itu tanda apakah sirkulasi udara di dalam perut lancar atau tidak. Jika tidak kentut berarti ada masalah dengan perut, dan itu bisa jadi bahaya.

Seiring waktu, saya pun tidak perlu lagi harus meminta izin jika ingin kentut di depan istri, begitu juga istri terhadap saya. Walau begitu, ada saat-saat dimana saya harus memberi tahu jika saya hendak kentut, biasanya ketika sedang makan. Pada saat itu saya akan berkata "punten," tanda kalau saya akan kentut sehingga istri saya tahu dan maklum. Selain itu, ada kalanya juga saya harus memberi kewaspadaan kepada istri atau sebaliknya, khawatir jika gas kentut yang dikeluarkan berbau busuk, dan itu bisa bahaya untuk kesehatan kami berdua.

Syukurnya, sejauh ini kentut kami masih bisa dimaklumi. Alih-alih berbau busuk, kentut kami justru lebih ramai karena suara yang dihasilkannya sungguh sangat bervariasi. Dan setiap kali mendengarnya, tak jarang kami tertawa terpingkal-pingkal, bahkan sempat-sempatnya membahas seperti apa suaranya. Suara kencang, bulat, besar meledak, kecil mendecit, melepes (Sunda), dan lain sebagainya.

Betapa berwarnanya hidup kami, tidak hanya karena kami saling mengasihi dan saling cinta, tapi juga karena ada kentut dimana kami bisa tertawa bersama-sama. Dan pagi ini, betapa nikmatnya saya mendengar istri saya kentut dengan lucu dan manjanya. (FA) :)

Pic: http://lyricallywaxing.blogspot.com/2010/10/farting-behind-closed-butt-cheeks.html

Tuesday, August 7, 2012

Tentang Teater

Oleh: Iman Soleh*)

SEJARAH TEATER

Asal usul teater tidak pernah terbuktikan dengan kuat dari mana asalnya. Hampir semua teori berlandaskan dugaan atau lebih tepat berdasarkan perkiraan saja, sebab sebetulnya mimesis (tiruan-meniru) “merupakan bawaan sejak lahir saja” –demikian uraian sosialis dan psykologis menjelaskan.

Beberapa bentuk kemasyarakatan memiliki unsur-unsur teatrikal, seperti olah raga, permainan parade, tarian agama, kampanye politik, namun bukan teater! Tetapi memiliki sifat teater, mungkin saja sangat teaterikal.

Tanpa bermaksud berbicara timur dan barat, tentu ada beberapa riset yang menyatakan bahwa tetaer berasal dari dithyramb, sebuah nyanyian himne untuk menghormati Dionysus (upacara penghormatan pada tuhan, kelahiran sampai soal kesuburan). Namun, apakah semua masyarakat di seluruh dunia ini berangkat dari hal yang sama?  Ritual—yang  merupakan satu rujukan? Sayangnya, tidak semua masyarakat berkembang dengna cara yang sama.