Wednesday, September 19, 2012

The Sickmind


Entah akan kau bawa lagi ke mana aku. Jujur, aku sudah lelah. Baru saja kau bawa aku lari ke tempat kerjamu, membayangkan orang-orang dengan pikirannya yang sakit sebagaimana kau membayangkan jawaban apa yang akan kau berikan untuk pertanyaan yang akan mereka tanyakan, kau sudah membawaku lagi terbang ke rumah di lembah itu. Rumah yang kau anggap akan menjadi jawaban terbaik untuk menyelesaikan permasalahanmu mengenai jarak, akses, atau apalah namanya.
Barangkali karena aku tidur terlalu lama hingga tiba-tiba saja kau bangunkan aku dan—bukan sebuah prestasi yang bisa dibanggakan—hanya dalam hitungan detik kau sudah menyuruhku berlari. Kau hantam aku bertubi-tubi dengan segala macam hipotesis, angan-angan ini-itu, dan segala bayangan yang kau sendiri belum tahu bakal seperti apa jadinya. Seandainya saat itu kau tak membawaku menemui Si Tua yang bercerita tentang sumur berhantu dan tentang bagaimana dia hidup di zaman penjajahan seraya kau membenahi barang-barangmu, mungkin aku takkan selamat. Mungkin aku sudah sekarat. 

Di Bawah Pusara


Tak lama setelah Jailani mendengar kebenaran berita itu, dia pun menangis sejadi-jadinya. Dia tak menyangka bagaimana bisa anak-anaknya, keturunannya, justru menjadi manusia yang tamak, rakus dan malah mengagung-agungkan keduniawian. Padahal, tidak sedikit bekal agama dititipkannya dan pengertian akan hidup diberikan padanya.
Masih terngiang di kepalanya bagaimana dia membesarkan anak-anaknya dalam bimbingan agama di pondok pesantren yang memang sengaja didirikannya. Dengan ponspes dibawah naungan yayasan itu pula dia bisa menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi, baik yang ada di dalam maupun luar negeri. Dan bagai sebuah ketentuan yang tidak tertulis di buku manapun, tentunyalah ponpes itu bakal pula dipimpin oleh anak-anaknya sepeninggal dirinya.