Tuesday, November 27, 2012

Kontemplasi Satu


 Prolog

Satu periuk batu kujadikan waktu
Angin memapahku menangkap gemericik lagu
Matahari di tangan kanan adalah belati
Bulan di kanan tangga langit menuju wangi

Satu periuk daun gugur kujadikan pintu
Ranting-ranting kering pena bernyawa
Pergi ke laut melukis karang dan ikan
Ikan-ikan menjelma doa di lambung ibuku

Satu periuk kata diam sebelum masa
Diam di sela jari kaki yang senyum dan luka
Mencipta batu ikan daun dan karang jadi puisi
Tanganku deras air sungai tak berhenti mengalir

Subang, November 2011



Memento Mori

Lalu, sebuah belut besar menemuimu di malam yang berdenting
bulir-bulir kata tak lagi hening mengoyak tanah merah
menghamili benih ingatan yang tumbuh di sudut ranjang perjalanan
kau pun melihat bagaimana seiris garis membentuk lingkaran-
lingkaran menerbangkanmu ke langit ketujuh
keringat basah melepaskan segala beban yang
mencengkeram dan kau sebut itu wahyu, atau mungkin setan

Lalu, di malam yang lain, malam putih ketika jibril pernah
mengakhiri tugasnya, kau benar-benar melihat setan
dia tergantung di sebuah pohon pisang yang tak punya umur
namun subur tandan buahnya tumbuh di tubuhmu
setidaknya kau tahu ketika kau beranjak dewasa
hanya pohon yang punya akar dan manusia tidak
karenanya mengapa kau tak punya sejarah

Lalu, musim pun basah melebihi segala basah seribu sungai
dan lautan dan kau berdiri di sebuah trotoar mengutuk hujan
melukai tangan sendiri ketika kau tahu betapa bodoh
melepaskan kekasih dengan jari berdarah
sejak saat itu kau tak lagi bisa membedakan mana hujan,
air mata dan genangan di lubang aspal hingga akhirnya kau sadar
tulang rusuk dan hujan hanyalah basah belaka

Lalu, sejak saat itu kau pun mulai menyembah belut besar
di kepalamu, mematahkan garis demi garis lingkaran
yang sempat datang padamu suatu waktu lantas menggubahnya
menjadi syair, lagu, atau bahkan rengekan yang sesungguhnya
tak pernah kau kenal dan tak pernah pula mengenalmu
kau pun hanya semacam kau sebagaimana sebuah garis
hanyalah pikiran yang mengendur dan meregang
di antara urat syaraf yang bakal menyelesaikan tugasnya

Lalu, di sebuah malam yang tak pernah kau duga
kau dapati sebuah belut besar di atas piring lingkaran
menatapmu dalam-dalam tanpa nyawa, tanpa bahasa
sedang di luar sana tetesan hujan bagai duri berjatuhan
membasahi tanah dan ingatan, menusuk bumi dan kenangan
sesaat setelah seorang perempuan menumpahkan hidupmu
di atas pinggan hidupnya yang putih seputih senja saat kau
menemukannya di bawah naungan rumah putih satu bintang
dalam pelukan bulan

Lalu, bersamanya, kau pun menanam pohon pinus dan
bukan pisang. memulainya dengan doa agar tak dihinggapi setan
seraya berjanji jika pada saatnya nanti
kau tak akan memetik buahnya lagi

Purwakarta, Juni 2012 



Rosida Maulani
                                                                                                                 
Aku menemukanmu di saat kuredakan gelombang di
tubuhku sedang tiga kelahiran matahari menyisakan gelap
yang tak bisa aku usap dengan ucap serta segala kata
yang tak juga menumbuhkan buah dan kerinduan

Kembali aku belajar pada garis dan tungkai kaki—
sahabat dari segala jejak pada darah tanah
pada awan yang menghamili sejuta dendam
nafsu dan kesumat untuk langitku yang tak biru

Anginkah yang mengecup ubun-ubunku
atau malam yang sengaja singgah di belakang telingaku?
kulihat engkau memeluk bulan meski tak purnama
seperti di saat kau berkata bahwa cahayanya telah
menjadi tetesan darah yang membadai seluruh hidup

Aku pun diam di sudut halaman seraya
menyaksikan sepasang sepatu tanpa kaki dan
sebelah matahari yang kau sebut sebagai senja—
kelakar tua yang diucap-ulang ibarat telenovela

Tiba-tiba aku merasa betap doa telah menjadi ancaman:
garis tangan tak terbaca di antara urat yang menegang
dan pikiran yang dipaksa mengeras menerjemahkan ayat-ayat
tercipta dari keangkuhan juga kebodohanku

Rumah putih pun menaungi segala yang baik
walau tak pernah aku mengerti apa maksudnya
hanya saja aku tahu bagaimana cara memahami
detak jantung yang bersahabat dengan bumi
dan semua yang lahir juga tumbuh di atasnya

Tak kuguratkan doa-doa di atas telapak tangan—
benih-benih selalu menagih keyakinan dan denyut jantung
sebagaimana pikiran yang tak lagi menembus lorong-
lorong gelap menuju puncak cahaya karena itu pun
tak lantas bisa menjanjikan sebuah kepalan atau tinju

Maka dengan riak air pantai aku berjalan menuju ibu
menuju samudera dimana kata-kata kutabur bersama
kembang yang mencantumkan namamu di setiap helainya
kurelakan tubuku menjadi gelombang atau buih
menjadi bagian dari laut dan langitmu yang belum kutahu
entah hanya untuk menerima badai atau mungkin
mengikhlaskan biru sebagai warna dimana kita tercipta

Purwakarta, Juli 2012



Pendakian

Setelah Canggah*, kudaki gunung-gunung di tubuhmu
yang pasrah dan menyerah. awan jadi madu. langit
biru hanya sehasta di mata kakiku. dalam tengadah
penuh rasa bunga tiba-tiba aku terpelest, tertusuk
ranting dan ilalang di antara palung tubuhmu yang bidang
bimbang. haruskah pendakian ini kuteruskan;
air hujan belumpun menyiram benih dan membasuh
wajah kita yang perawan sedang surga bukanlah
milik kita? betapa aku tahu kau tak inginkan
badai menjadi tubuh di awal perjalanan di
puncak gunung tempat dimana kita tegak berdiri
menunggu senja tiba. maka kulemaskan tubuhku
yang meregang, telunjukku yang tegang, menuntut
langit yang sememangnya belum milik kita

Subang, Juni 2012


*) Salah satu nama gunung di kota Subang.


Setelah Nenek

Setelah nenek, apa lagi yang harus dikunjungi?
aku pun bertanya pada batu, kandang ayam dan
jemuran. matahari di sudut mata kiriku
memanggang ingatan di antara bau cuaca
yang tak juga kukenal. seperti kolam ikan,
dan kakek berenang di dalamnya
sedang aku harus berenang di antara waktu
yang tak pernah menjejakkan kakinya di tanganku
seandainya. tapi aku tahu bagaimana pintu
diketuk bidadari bersayap mawar
bersepuhkan intan di keningnya suatu waktu
menjelang malam, kusaksikan bagaimana
magis cahaya bulan menyelimuti tubuhnya
menebarkan aroma surga ketika tiba-tiba
hati kecilku berkata: “akukah pemilik semesta raya?”
mungkin hanya nisan yang bisa kupeluk sekarang
di saat nenek tengah begitu senyum berbaring
di sudutnya, setelah kata-katanya menjadi
kenangan, menjadi pintu yang kubuka daunnya

Subang, Juni 2012



Seperti Nabi

Seperti menelanjangi hari di malam yang putih
Barangkali seperti itu pula aku mengupas kulit jati diri
Ketika setiap tatap jatuh di muka dinding atau
sudut ranjang dimana kita menemukan mimpi
yang begitu asing meninggalkan basah airmata
Mata air awal kita tercipta. Entah, harus kuberi
nama apa lagu perjalanan ini? Buket bunga dan
seserahan dalam sebuah upacara hanya menghantar-
kan kita pada kegelisahan yang lain di antara
detik-detik jarum yang berjalan lambat di muka
dinding itu  di saat kita terbangun dan terjaga.
Menangkap rencana demi rencana seperti
menangkap gemericik air di kamar mandi atau
desiran sapu pada lantai juga rintih pintu yang
kadang tertutup kadang terbuka. Barangkali
seperti itu pula aku menjadi nabi. Kembali belajar
membaca alif ba ta tsa di kamar mandi seperti
halnya menulis wahyu yang tercantum
di dinding pasir hatiku, seperti puisi

Subang, Juli 2012