Tuesday, June 19, 2012

Bahasa Manusia

Belum lama ini aku tinggal di tempat baru di sebuah kontrakan kecil di bilangan Cisalak, Subang. Dan, belum cukup lama juga aku mengenal orang-orang di sekitar, kecuali tetanggaku yang juga berada di satu kontrakan yang sama denganku. Sejauh ini keadaan lingkungan pun orang-orangnya baik-baik saja, (sebagaimana harapanku seperti biasa). 

Kehidupan di sana pun terasa menyenangkan. Setidaknya itu yang aku rasakan ketika untuk beberapa hari  sengaja aku menghabiskan waktu di kontrakan dengan mengobrol bersama tetangga di depan kamar maupun dengan yang lainnya. Akan tetapi, ada satu hal yang membuatku tergeli sendiri. Sesuatu yang memang menjadi minatku sejak pertama kali aku mengenalnya.

Sesuatu yang menarikku itu sebenarnya muncul satu haru setelah aku membereskan barang-barang pindahanku. Saat itu hari masih pagi dan sebuah suara terdengar sangat aneh dan asing. Dari  dalam kamar aku mendengar seorang Bapak berbicara dengan pengucapan   bahasa yang cukup aneh. Keanehan ini hampir sama dengan salah satu tokoh di romen Achdiat K. Mihardja Si Penulis roman Atheis. Tokoh yang saya lupa namanya ini adalah seorang ustaz yang kebelutan tidak bisa mengucapkan huruf 'p', melainkan 'f'. Jadi, setiaf kata-kata yang mengandung huruf 'p' diucafkannya dengan menggunakan huruf 'f'. Begitulah.

Tapi keanehan itu tidak sama dengan apa yang aku asingkan juga gelikan. Bapak ini tidaklah mengganti huruf 'p' dengan 'f' di setiap kata-kata yang diucapkannya. Bapak ini justru menambahkan huruf 's' di akhir setiap ujarannya. Pertama kali mendengarnyas, perutku dibikinnyas terpingkal-pingkals. Kok ada manusia semacam ini di dunias. Yang lebih menggelikans, Bapak ini ternaytas seorang yang sangat humoriss. Anehnyas, orang-orangs yang menjadi lawan bicaranyas tidak merasa terganggus dengan cara bicaranya itus. Alih-alih menyalahkannyas, orang-orangs justru seringkali tertawas akibat cara bicara dan guyonan-guyonannyas. Pun halnya dengankus yang meski demikians mendengarnya dari dalam kamars.

Tiba-tiba aku teringat dengan Bahasa. Teori Bahasa macam apa yang bisa menjelaskan fenomena semacam ini? Ketimbang repot-repot mencari penjelasan untuk anomali yang satu ini, aku hanya berpikiran bahwa ternyata bahasa lisan itu lebih cepat berkembang ketimbang bahasa tulisan yang acapkali harus berkutat dengan segala macam aturannya. Yang kadang membuat seseorang tidak bebas untuk benar-benar mengekspresikan diri.

Ingatan yang lain pun membawaku ke masa ketika aku masih sekolah di SMP dulu. Aku masih ingat bagaimana di tengah adapatasi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda denganku, aku harus seringkali menggunakan perangakat bahasa yang biasa dibilang code switch. Suatu kesempatan  aku harus menggunakan bahasa Sunda dan pada kesempatan yang sama aku harus menggunakan bahasa Indonesia. Apakah ada yang salah dengan itu? 

Selain itu, masih di dunia SMP, aku sempat pula membat bahasa (tulis) sendiri. Bahasa yang aku buat menggunakan empat kuadran dari pelajaran trigonometri. Empat kuadran yang terdiri dari sinus, cosinus, tangen dan gabungan dari semuanya. Dari keempat itu kusimpan beberapa huruf di setiap kuadrannya dan menghasilkan simbol baru dari huruf yang direpresentasikannya. Contohnya saja huruf A berada di kuadran 1 untuk nomor 1. Maka, huruf pun dituliskan dengan |1_. Huruf B ditulis |2_. Huruf C ditulis |3_ dan seterusnya. Hasilnya aku membuat bahasa tulis sendiri, atau lebih kepada simbol. Dan aku menggunakannya untuk menulis surat cinta kali pertama untuk pacaku.

Dan sekarang, 15 tahun kemudian, aku membuat bahasa sendiri. Bukan bahasa simbol dari kuadran dan bukan pula bahasa 'S' seperti yang aku ceritakan di atas. Tapi bahasa yang memang dirancang dengan khusus melalui konsep kebahasaan yang aku buat sendiri. Bahasa yang satu ini punya hurufnya sendiri, cara pengucapannya sendiri, kata-katanya sendiri, struktur kalimatnya sendiri, dan lain-lainnya sendiri. Bahasa itu kuberinama Elasar atau Elasrana. Bahasa yang hanya aku saja yang mengerti, yang lain tidak.Aku hanya tahu jika apa  yang aku lakukan ini cukup menyenangkan, dan lagi aku pikir hal ini sah-sah saja. 

Tidak ada yang salah dalam berbahasa sebagaimana tidak ada satu bahasa yang benar dan lainnya yang salah. Karena bahasa memang milik setiap orang. Dia yang akan membuat  dan menghidupi bahasanya sendiri. Bahasa yang tidak pernah kita tahu dari mana awalnya dan akan seperti apa akhirnya, seperti apa sejarahnya dan bagaimana nasibnya. Karena semua adalah bahasa dan bahasa adalah semuanya. (FA/Saswaloka)

Monday, June 18, 2012

Cerpenis, Tikus & Mesin Tik

“Semoga niatanku untuk membunuh perempuan itu bisa terlaksana. Semoga!” Begitulah kalimat terakhir yang diucapkan Wadi tak lama setelah dia terbangun dari tidurnya.

Kurang sabar apa lagi, pikirnya. Selama ini, di setiap rumah kontrakan yang ditinggalinya, tak pernah sedikitpun dia membuat masalah. Malah, di setiap rumah yang hendak dikontraknya itu, selalu dia mengenalkan diri terlebih dulu pada orang-orang sekitar. Membilang namanya, mengatakan asal muasalnya, menyebutkan pekerjaannya.  

Tapi di setiap rumah itu pula, aneh tak habis pikir, masalah selalu saja menyambanginya. Padahal, dia tak pernah jadi biangnya. Dengan kenyataan itu, Wadi pun menjadi seorang nomad. Pindah dari kontrakan ke kontrakan lain, dari satu kota ke kota lainnya. Dan entah sudah berapa rumah dia kontrak sepanjang hidupnya yang sebatang kara itu.

Kenyataan itu pernah juga membuat dia membuat puncak keputusan untuk hidupnya. Di tengah ruwetnya masalah finansial dan tempat tinggal, dia sempat memutuskan menjadi seorang gembel. Dengan berbekal prinsipnya sebagai seorang penduduk dunia, dan beberapa setel pakaian dalam tasnya juga sebuah mesin tik, dia merantau dari kota ke kota. Tidur dimana dia suka, makan dimana dia mau, mandi dimana dia suka.