Sunday, December 28, 2014

5 ALASAN MENGAPA KITA TAK BISA MEMBUAT BAND ATAWA LAGU FAVORIT DALAM SEBUAH DAFTAR


Sebagai salah satu bentuk kebudayan, musik/lagu seakan telah mendarah daging dalam diri manusia. Ia tumbuh, hidup dan bahkan mati bersama kita.
Akan tetapi sejauhmana musik/lagu benar-benar berpengaruh terhadap diri seseorang? Hal ini tentu ditengarai dari bagaimana perkenalan dia dengan musik/lagu dan bagaimana dia bisa “menghidupi” yang disukainya itu. Suka (?)
Seperti halnya keinginan atau kebutuhan, kesukaan seseorang terhadap musik/lagu bisa jadi tak ada habisnya. Sejauh manusia hidup di muka bumi, sejauh itu pula musik/lagu takkan habis dicari, didengarkan, dicerna dan sebagainya, tentu dalam kacamata sebagai penikmat; karena selama itu pula musik akan terus berlahiran dari tangan penciptanya, didendangkan oleh para penyanyinya.
Permasalahannya sekarang adalah, mungkinkah kesukaan seseorang terhadap lagu/ musik akan sama dan setara dengan apa yang disukai orang lain—setidaknya  untuk genre tertentu saja? Orang mungkin akan lebih suka dengan Nirvana ketimbang Alice In Chains, lebih suka dengan L’Arc~en~Ciel ketimbang MUCC, bahkan bisa jadi ada yang lebih suka Bungsu Bandung ketimbang Darso bahkan Rhoma Irama ketimbang Inul sekalipun.
Fenomana ini ternyata memicu satu atau sekelompok orang dengan atau tanpa sekonyong-konyong menggulirkan peringkat terhadap lagu/musik termasuk pelantunnya. Dengan kata lain, mereka membuat daftar band atau lagu terbaik sebagaimana yang kebanyakan tampak di begitu banyak situs. “100 Greatest Jazz of All Time,”50 Lagu Terbaik Sepanang Masa,” “10 Band Jepang Terbaik,” malah sampai ada juga yang membuat daftar “Lagu yang Harus Didengarkan Sebelum Kamu Mati” segala. Begitulah judul-judul itu mengisi laman-laman situs dan halaman majalah. Ah, Anda bisa menemukan seabreg judu-judul senada lewat mesin pencari milik Mbah Gugel.
Akan  tetapi, kembali ke pertanyaan sebelumnya: Mungkinkah kita membuat daftar-daftar semacam itu? Kenyataannya, acapkali tak sedikit orang-orang kontra dengan daftar band atawa lagu terbaik yang diposting sebuah situs di lamannya. Bahkan tak sedikit mencak-mencak bahkan perang urat syarat hanya karena band/lagu favoritnya tak ada dalan daftar yang dibacanya. Inilah masalahnya!
Sungguh hal yang menyedihkan karena kenyataannya, kita, siapapun, tidak bisa sungguh membuat daftar band/lagu terbaik semacam itu. Apalagi mengultimatum bahwa daftarnya itu lebih baik, valid atau yang terbaik yang pernah ada. Ada beberapa ALASAN MENGAPA KITA TAK BISA MEMBUAT BAND ATAWA LAGU FAVORIT DALAM SEBUAH DAFTAR.
Pertama, Beda Generasi. Tak bisa dinafikkan bahwa kita, saat ini, hidup di antara generasi yang berbeda. Generasi lawas tahun 70-an, misalnya, punya lagunya sendiri. Pun dengan generasi 80 atau 90-an dan generasi selanjutnya. Generasi lawas tak mungkin memaksakan diri untuk menyukai lagu-lagu modern model ajeb-ajeb, pun sebaliknya. Zaman dan lingkungan mempengaruhi setiap orang, dan musik adalah satu satu dari yang mempengaruhi itu.
Kalaupun ada generasi lawas yang suka dengan lagu-lagu modern abad 21, mungkin kita bisa menyebut jika orang itu gaul atau open-minded dan open-hearted, apa pun kepentingannya. Artinya, dia ikut perkembangan. Tapi jika ada generasi milenium tiba-tiba menyukai lagu-lagu lama, apa tidak nanti justru malah dipanggil tua, kuno atau ketinggalan zaman? Kalaupun harus memaksakan diri membuat daftar, maka daftar itu bisa jadi berlaku di satu generasi tapi tidak berlaku di generasi yang lain. Tidakkah aneh seandainya ada orang yang membuat daftar band terbaik Indonesia dengan memasukkan Noah, Sheila On 7, Padi,  Boomerang bersama-sama Elpamas, God Bless, Koes Plus dan Panbers dalam daftar yang sama? Jika hanya daftar mungkin tidak masalah. Tapi jika harus memberi rangking siapa yang paling bagus, bukan tidak mungkin hal ini malah menimbulkan perdebatan. “Memang Panbers sama Pantovel apa hubungannya?” tanya anak muda yang suka memutar lagu-lagu D’Masiv.   
Kedua, Beda Taste Alias Rasa. Bayangkan seorang kelahiran 60/70-an yang terbiasa mendengar lagu dengan kualitas suara musik yang “orisinil”, terdengar oleh kita seakan kasar atau mentah atau beledak-beleduk, tiba-tiba harus mendengar lagu semisal Idioteque-nya Radiohead. Alih-alih mendengarkan, orang itu mungkin mematikan pemutar musiknya sambil berkata: “Musik kok kayak takbiran!” Lalu, apa bedanya dengan mereka yang kelahiran 90-an atau 2000-an dan harus mendengarkan lagu-lagu tahun 60 atau 70-an? Hidup itu maju, seperti juga teknologi. Dan teknologi sebuah musik/lagu juga sangat mempengaruhi telinga yang mendengarnya, tergantung generasinya.  
Satu yang harus dicamkan bahwa manusia dibentuk oleh lingkungannya dan lingkungan akan memengaruhi bagaimana dia merasakan sesuatu. Seseorang yang terbiasa mendengar musik Indonesia atau Dangdut seumur hidupnya, mungkin akan menutup telinga ketika harus mendengarkan musik, semisal, Linkin Park, System of A Down atau Tokyo Jihen sambil berkata: Musik naon sih ieu teh? Teu puguh pisan! Ganti ganti ganti!” Nah, apa bedanya dengan anak-anak zaman sekarang yang, kalaupun harus dipaksa, mendengarkan lagu-lagu jadul semisal The Beatles, Yutaka Ozaki, atau Pance Pondaaq? Belum lagi masalah latar belakang dan pendidikan, dua hal ini saja sangat berpengaruh juga terhadap penerimaam musik yang disukai dan dinikmati seseorang.
Ketiga, Telinga Hanya Dua. Tuhan memberi dua telinga agar kita lebih banyak mendengar. Akan tetapi urusan musik, adakah seseorang sudah mendengar begitu banyak musik seumur hidupnya, setidaknya ketika dia hidup di generasinya sendiri? Kenyataannya, bahkan, seseorang yang, misal, hidup di generasi tahun 90-an mungkin hanya mendengar  beberapa lagu saja, itu pun yang populer.
Seseorang mungkin mendengar Bintang-nya Air, atau Pernah Mencoba-nya Dr. PM, atau Bukan Pujangga-nya Base Jam, atau Sweet Child O’ Mine-nya Guns & Roses, atau Enter Sandman-nya Metallica, dan banyak lagi. Tapi apakah dia benar-benar mendengarkan semua lagu-lagu di albumnya itu. Mungkin ada. Tapi, tetap saja telinga hanya dua, dan tidak semua musik bisa didengarkan semuanya, entah itu lagu Indonesia atau Barat; belum lagi menyebut lagu-lagu yang ada di negara lain.
Terlebih kita yang hanya manusia awam, yang kadar kapasitasnya sebagian besar hanya sebagai penikmat dan bukan pecinta, Ahmad Dani yang katanya musisi dan sempat menjadi juri di, sebutlah, Indonesian Idol saja sempat geleng-geleng ketika salah satu pesertanya mau menyanyikan lagu, yang ternyata dia tidak pernah dengar. Padahal, lagu itu lagu zaman sekarang. Bedanya ia dinyanyikan oleh orang Barat sana. Musisi gitu loh? Yang hidupnya tumbuh bersama musik/lagu setiap detiknya? Apa lagi kita?
Bagaimanapun, apa yang seseorang dengar belum tentu sama dengan yang orang lain dengar, begitu juga sebaliknya. Maka dari itu, alasan ini juga yang membuat mengapa seseorang tak bisa membuat daftar lagu terbaik, karena pertanyaan kembali: Seumur hidup berapa banyak lagu yang sudah kita dengar? Apakah kita sudah benar-benar mendengar semua lagu? Sekali lagi, apakah kita sudah benar-benar mendengar semua lagu?
Keempat, Hanya Ada Satu Televisi dan Banyak Radio. Kita harus menyadari bahwa kenyataan mengatakan bahwa di negeri tercinta ini kita hanya punya satu stasiun televisi. Stasiun TV yang tidak lagi memutarkan lagu-lagu, terkecuali alasan komersil. Dulu kita bisa tahu lagu-lagu baru di program Delta atau Clear Top Ten, 100% Ampuh (Ajang Musik Pribumi Sepuluh). Sekarang? Janganlah sebut program-program musik yang sekarang marak di stasiun-stasiun TV itu. Itu bukan program musik! Itu hanya penghias saja dengan para figuran sebagai cheerleader-nya. Jadi, tidak usahlah menyebut apakah mereka punya daftar musik berkualitas atau tidak. Karena musik yang kemarin direkam di studio, hari ini diputar di TV, besoknya sudah hilang entah ke mana. Sad but true, tapi begitulah kalau kreativitas dikomersilkan. Sebagian punya idealisme, tapi lebih banyak lagi yang “materialisme”.
Akan tetapi kita pun harus senang bahwa ternyata kita masih punya banyak stasiun radio yang memiliki programnya masing-masing. Program-program musik dengan berbagai genre-nya yang memanjakan para pendengarnya. Pagi bagian musik up-to-date, siang bagian musik dangdut, sore bagian musik lawas, malamnya musik mellow. Tak hanya itu, setiap radio pun punya program musik unggulan. Ada yang memutar Jazz saja, Blues saja, Reggae saja, Dangdut saja dan banyak saja-saja yang lainnya. Kenyataan ini membuktikan bahwa kita makin bingung untuk membuat daftar lagu terbaik, karena setiap stasiun punya versinya masing-masing. Memaksakan kehendak? Itu jelas bukan demokrasi. Tapi bagaimanapun, tetap, kita harus bersyukur bahwa kita punya radio. Setidaknya hanya media ini yang tetap setia memutar lagu-lagu. Lain tidak!
Kelima, Tanpa Alasan. Tak ada alasan mengapa tulisan ini hanya menyuguhkan lima (baca: empat) alasan  mengapa kita tidak bisa  membuat grup band atawa penyanyi atawa lagu favorit dalam sebuah daftar. Karena sesungguhnya, begitu banyak alasan lain mengapa kita bisa melakukan hal itu. Poin satu sampai empat bisa jadi alasannya. Selebihnya, bisa jadi pertimbangan genre musiknya, bisa jadi pengaruh musik/lagu itu terhadap masyarakat pendengarnya, bisa jadi aksesibilitas yang mengekspos musik/lagu itu sendiri, bisa jadi hal-hal politis lainnya semisal label mayor atau indie, dan lain sebagainya. Pokoknya bisa-bisa saja.
Satu yang pasti, tak ada rumus apakah sebuah lagu/musik itu bagus atau tidak. Semua tergantung opini orang per orang, yang tentu saja subjektif. Setidaknya musik/lagu akan terus ada, lahir, tumbuh dan berkembang tanpa batas ruang dan waktu, sejauh manusia tetap menciptanya, sejauh manusia mengapresiasinya. Setidaknya, itu sudah lebih dari cukup untuk berkata bahwa musik ada di antara kita dan di dalam tubuh kita, menghibur kita manusia yang pejalan sebelum “musik sejati” pada akhirnya menjemput. (Fim Anugrah/”Saswaloka”)

Friday, October 10, 2014

Berita dari Sagara

Pohon-pohon pisang berdiri miring dengan tubuh kering
dan daun-daun tercerai berai bagai rumbia sajadah
ditampar angin galak di cuaca yang sungsang
di samping sebuah tiang

Tiang listrik berdiri tegak dengan tubuh julang
di tengah peradaban yang jalang
menjuntai kabel-kabel membungkus
harapan dan masa depan bekal anak-anak zaman
menaungi perumahan

Pohon pisang tak pernah memberi kabar
tentang tanahnya yang kerontang
seperti kerontangnya semak dan perdu
kesadaran dan rasa malu
di sekeliling kakinya yang rapuh

Tiang listik tak pernah memberi tahu
bagaimana dirinya menjadi tuhan
bagi peradaban dan zaman
menyembunyikan sombong dan kekuasaan
lantas mengalirkannya ke segala penjuru dunia

Pohon listrik dan tiang pisang
tak pernah bertengkar
walau mereka tak pernah pun berkawan

Puri, 10.10.2014


Monday, October 6, 2014

Bukan (Kritik) Sastra


Tidak ada yang namanya sastra lingkungan, sastra virtual, atau bahkan sastra Islami seperti halnya yang sempat di gembor-gemborkan dulu. Segala penamaan apa pun atas sastra di negeri ini, tak lebih dari sekadar intermezo, sebuah euforia sesaat di tengah kejenuhan alam sastra yang terlebih untuk menemukan bentuknya, untuk mengembangkannya saja tampak sangat tak kuasa.
Meski begitu, tidak mungkin kita memutar arah jarum jam, sekalipun pelan dan tetap berjalan meski tak pasti seperti apa nasibnya. Misi besar membumikan sastra pun seakan tidak lagi menjadi tujuan. Percis sebuah permainan yang di tengah-tengah permainan dilupakan oleh para pemainnya. Setiap orang pun tampak iseng sendiri, berjalan masing-masing untuk memenangkan bahkan kalau perlu mengalahkan pemain yang lain, dan lupa dengan kebersamaannya.
Blunder, barangkali itulah istilah yang tepat untuk mendeskripsikan kondisi di atas. Kondisi inilah yang menyebabkan mengapa sastra kita hanya berkutat di wilayah itu-itu saja.Terlebih melahirkan sesuatu yang baru yang bisa menambah warna sastra, menerimanya pun tak sedikit mata kiri yang didapat. Bahkan, tak sedikit ketakpedulian terhadapnya terbit meski tidak diperlihatkan secara terang-terangan. Untukmu sastramu, untukku sastraku! Jadi, alih-alih melahirkan yang baru, mengapresiasi pun masih saja jadi kendala.
Sebut saja sastra Islami atau sastra religius atau apa pun namanya. Secara praktis sastra yang satu ini patut diacungkan jempol. Terlepas dari persoalan konsep dasarnya, sastra ini tak hanya berani memberi warna atas stagnansi dunia sastra, tapi juga memiliki sifat solutif terhadap kehidupan manusia di tengah kepelikan moralitas bangsa yang terjadi sekarang ini.
Akan tetapi, belumpun tujuan sastra ini dicapai, tiba-tiba kritikan terhadapnya sudah lebih cepat disimpulkan. Tak sedikit cercaan yang menyuratkan betapa sastra ini menjadi sangat banal karena sifat normatif yang dikandungnya. Karya-karyanya seakan menghukum para pembacanya dengan ayat-ayat Tuhan. Karya sastra yang hitam dan putih. Oleh karenanya, tak ada kebebasan bersemayam di dalamnya, seperti tak bebasnya para pembacanya untuk memilih dan menentukan hidupnya sendiri. Para pembaca seakan tidak bisa leluas menghirup nafas karena sebelum karya dibaca, mereka sudah tahu seperti apa ujungnya.
Nama-nama “nenek moyang”  pun menjadi alibi yang disebut-sebut, yang dengan intensitasnya mencoba mencari jejak yang setidaknya bisa mendukung keberadaan sastra Islami ini. Pengadilan pun berlangsung di setiap lembar media massa. Banyak yang pro, tapi tak sedikit yang kontra. Tapi yang muncul kemudian bukanlah solusi, melainkan debat kusir yang tak jelas juntrungannya. Sebagian merasa dirinya benar dan sebagian lagi menyalahkannya. Nonsense, begitulah kesimpulannya.
Kenyataan yang ada sekarang, justru banyak para penulis yang lahir dari kran berlabel sastra Islami ini memperlihatkan kualitas karya-karyanya. Mereka tumbuh subur dan berkembang. Malah sebuah prestasi ketika kran-kran itu tak hanya mengocor di negeri ini tapi di luar sana. Para pemainnya tak hanya pandai ngomong, tapi juga membuktikan jika karya-karyanya tak sepicis yang orang-orang pikirkan. Air pun mengalir tak peduli. Panta rei. Setelah kritikan-kritikan yang ditujukan terhadapnya hilang, sastra ini pun melenggang. Sayang, para pemainnya berjalan sendiri-sendiri dan dengan tidak bertanggung jawab, meninggalkan kebisingan dari apa yang dulu diperjuangkannya.
Kiranya hal ini pun sempat dirasakan oleh sastra yang menyebut dirinya cyber, atau virtual. Seterbatas apa pun media yang digunakan, sastra ini sempat pula memberi warna sastra kita. Perkembangan sastra ini lebih cepat dari pada sastra yang ada media lain. Setiap hari setiap waktu karya-karya, entah itu prosa, puisi, atau kritik, bermunculan di laman-lamannya. Para penulis pun jadi tak hanya sering menulis dan mengirimkannya pada situs-situs sastra, tapi secara sadar mereka belajar teknologi. Bergabung di sebuah milis, menjadi anggota di beberapa situs sastra, dan gabung di forum-forum diskusi yang bisa meningkatkan apresiasi terhadap sastra. Inilah kualitas hidup yang mestinya dimiliki oleh para penulis, para sastrawan.
Akan tetapi, lagi-lagi, tak juga sedikit orang yang tidak suka dengan prestasi yang dicapai oleh situs-situs sastra ini. Entah apa karena orang-orang itu merasa bahwa dirinya tak bisa bersastra dan memperlihatkan karya-karyanya, atau merasa bahwa situs-situs itu menjadi ancaman karena merasa dirinya tak dianggap? Kita tidak tahu. Namun pada akhirnya, pembajakan (hacking) pun terjadi. Situs-situs sastra yang kemarin ramai, dalam sekejap mata tiba-tiba sepi. Semua orang gigit jari, kecuali mereka yang telah dengan sukses menghentikan satu lagi warna sastra yang sebenarnya bisa turut mengembangkan sastra di negeri ini.
Tapi seperti halnya passion atau spirit, tak ada satu pun yang bisa mencegah sastra untuk terus berkembang. Tak apa dan tak pula siapa. Meski beberapa situs-situs sastra telah mangkat, jejaring sosial, blog, dan situs-situs gratis selanjutnya banyak bermunculan. Yang mengagetkan adalah, kuantitasnya yang melonjak dari pada sebelumnya. Dari mulai penggiat sastra hingga orang yang baru terjun di dunia sastra, tumpah ruah memposting karya-karyanya. Tak perlulah sungguh kita menilai sejauhmana kualitasnya, dengan kuantitasnya yang banyak saja kita sudah bersyukur. Ternyata, sampai sekarang masih banyak orang yang suka dengan sastra. Itu yang mestinya terlebih dulu diamini. Sastra virtual pun memiliki perannya sendiri selain sastra aktual yang masih terus dengan lurus berjalan dan tampak di media massa (surat kabar), bahkan lebih instens lagi. Terkait sastra bergenre kelamin, kita sudah tahu sendiri seperti apa kondisinya sekarang.
Meski begitu, tak berarti tak ada penyakit di tubuh sastra kita ini. Penyakit yang mengganggu pertumbuh-kembangan sastra sampai-sampai susah untuk beranjak dewasa, sebagaimana oknum para pemain di dalamnya. Tapi seperti halnya sastra di dunia barat atau di negeri seberang sana, sastra tumbuh dengan suburnya. Para pemainnya bebas berekspresi dan berpendapat, tentunya, dengan batas-batas etika. Mereka bebas menamai terserah apa nama sastranya. Bahkan genre sastra pun diklasifikasikan begitu rupa, semisal puisi atau cerpen tentang binatang, tentang persahabatan, tentang alam, dan lain sebagainya.
Mereka tak segan-segan membuat nama atau istilah baru untuk karya sastra yang memang belum ada duanya. Maka, tak aneh jika sastra di sana benar-benar memiliki kontribusi besar terhadap bahasanya. Jadi, bukan tidak mungkin mengapa bahasa kita tidak pernah berkembang karena sastra sebagai salah satu bentuk pengejawantahannya pun belum bisa legowo menerima segala bentuk perbedaan. Selain itu, para sastrawan di sana pun tetap belajar. Sastra tak hanya melulu soal kata, genre, diskusi, membaca, menulis, koran, dan lain sebagainya. Kata kunci yang hanya berputar-putar di situ-situ saja.
Tidakkah menarik seeandainya kita mendengar seminar atau workshop berjudul, misalnya, “Sastra di Tengah Arus Informasi dan Teknologi,” atau “Melejitkan Karya Sastra dengan Marketing yang Sempurna,” atau ”Pelatihan Penulisan Sastra Berbasis SEO, ” atau “Bikin Launcing Jadi Kenangan: Life Skill Event Orginazer Khusus Penulis,” “Menjadi Penulis yang Kaffah,” dan lain sebagainya. Tidakkah menarik seandainya sebuah peluncuran mobil keluaran anyar dibuka dengan pembacaan puisi, seperti di dataran Eropa sana?”
Karya sastra di luar sana bisa berkembang seperti halnya para pemainnya karena mereka bisa menyembuhkan penyakitnya bersama-sama. Maksudnya, perbedaan pendapat itu biasa, malah harus ada. Jika tidak, tidak ada dinamika, tidak ada apresiasi yang sebenarnya, meski tidak berarti juga bisa dengan seenaknya berbicara, apalagi hanya bisa merendahkan karya terlebih penulisnya. Sebuah karya baru muncul, bukannya ditanggapi dengan bijak, ini malah disitir begitu rupa. Habis suara kita berkoar-koar soal demokrasi. Kenyataannya, apakah benar demokrasi sudah berjalan di wilaya sastra kita? Disebut normatiflah, disebut tidak efektiflah, disebut pornolah, dan lah-lah lainnya.
Salah satu akibatnya, kritik sastra pun jadi korban. Para penulis jadi takut menulis kritik karena pasti bakal ada yang “membantainya.” Sekalinya ada yang “membantai,” yang muncul malah jadi debat kusir, atau perang urat syaraf. Benarkah orang bisa benar-benar menerima kritik, terlebih jika kritiknya pedas ? Sekali-sekali tidak! Setidaknya kenyataan memperlihatkan, jikapun ada kritik sastra yang dimuat di media, kritik itu tak lantas benar-benar diperhatikan. Ada sastrawan yang membahas soal sastra dan lingkungan, soal sastra dan kelamin, bahkan ada juga soal ide memperiodesasikan sastra yang ada abad 20 ini. Tak ada tanggapan, karena, ya itu tadi: aku ya aku, kau ya kau, dan ini tidaklah sehat. Yang tampak bukanlah dinamika sastra apalgi perkembangan sastra, melainkan ketidakpedulian. Intinya, setiap orang berjalan sendiri-sendiri, dengan karya sastranya sendiri. Padahal, bukankah kata yang menyatukan “bahasa” kita, sastra kita?
Tapi selain itu, entah karena merasa memiliki kesamaan yang benar-benar sama, pada akhirnya beberapa di antara mereka bergabung dengan warna sastra yang dimilikinya sendiri. Lama kelamaan, ketika mereka sudah subur bersama kaumnya yang sevisi dan semisi itu, salah kaprah pun muncul. Yang lebih aneh, orang-orang di luarnya yang justru malah ikut-ikutan membenarkan apa yang mereka lakukan. Apa mungkin kita tidak pernah kita belajar dari sejarah, dari apa yang nenek moyang kita lakukan ihwal ini? Bagaimanapun, ketika sastra diinstitusikan, maka yang muncul bukanlah keberterimaan dalam keberagaman sesungguhnya, akan tetapi kepentingan. Dan ketika kepentingan sudah sangat akut untuk ditunaikan, maka yang tersisa adalah suara minoritas. Pengakuan pada sebagian dan penyisihan pada sebagian yang lainnya. Dan lagipula, siapa juga mengultuskan bahwa institusi sastra yang satu lebih bagus dan berkualitas ketimbang institusi sastra yang lainnya?
Pertanyaan pun muncul: Benarkah apresiasi yang terhampar di tubuh sastra kita? Benarkah penghargaan atas perbedaan pendapat berlangsung di sini? Dengan kata lain, benarkah demokrasi sudah ditegakan di dunia sastra di negeri ini? Bukannya jawaban yang didapat melainkan kebingungan dan kegalauan. Tujuan yang berdiri di ujung sana menunggu kita semua.  
Meratapi keadaan seperti ini, kita pun memandang lagi wajah para sastrawan kita yang sudah tidur dalam kubur. Kita bernostalgia dengan mereka sampai akhirnya inspirasi pun datang. Sekali lagi, kita menyebut nama mereka di setiap tulisan kita, seakan tak ada habisnya. Kita iyakan pendapatnya, kita ikuti tingkah lakunya. Dengan kata lain, pikiran kita ternyata bukan pikiran kita sebenarnya, tapi pikiran para nenek moyang kita itu. Mau sampai kapan kita menyebut-nyebut terus mereka, mengutip, mengiyakan, dan menghambakannya? Kapankah kita bisa menyebut nama kita sendiri di dunia sastra ini, sekarang?
Selama pikiran ini tidak bebas alias terpenjara dalam alam pikiran lama, maka selama itu pula sastra kita hanya sebatas celetukan-celetukan iseng di tengah hingar bingar semaraknya dunia. Sastra musiman. Sampai kapanpun, sastra kita akan tetap seperti ini jika pikiran yang ada tak jauh bedanya dengan yang sebelumnya. Adalah adat dan tradisi yang menghambat segalanya, juga taklid buta atas penilaian yang dilakukan dari satu sudut pandang saja. Mungkinka alam sastra kita bisa berkembang jika pikirannya saja masih sakit? Tidaklah mungkin jika kita harus kembali ke titik awal, menerjemahkan apa sastra kita sesungguhnya, terlebih jika kita harus menerjemahkan kata “sastra” itu sendiri. Itu namanya buang-buang waktu dan percuma.
Jika sudah seperti itu, hanya ada satu kata: Terserah! (Fim Anugrah/”Saswaloka”)

Saturday, October 4, 2014

Kredit: Jejak Penyair Yang (Mestinya Tidak) Hilang

BEBERAPA TAHUN YANG LALU, DI RUBRIK KHAZANAH (PUISI) KORAN PIKIRAN RAKYAT, ANDA AKAN MENDAPATI BIOGRAFI SINGKAT DARI SETIAP PENYAIR BERSAMA PUISI YANG DITERBITKANNYA. SAYANG, HAL ITU TIDAK ADA LAGI SEKARANG. ENTAH APA ALASAN REDAKTUR MENGHILANGKAN KREDIT ITU. TIDAK ADA YANG TAHU. TAPI SETIDAKNYA TULISAN INI BERUSAHA MENCOBA UNTUK MENJAWABNYA.

Di dalam penciptaan sebuah karya, proses merupakan sebuah keniscayaan. Kita lambat laun belajar bahwa bakat itu nonsense. Yang ada selebihya, justru kedisiplinan, kerja keras dan kesabaran. Dengan kata lain, tidak ada karya mana pun yang dihasilkan dengan cara instan.
Di dunia populer, pengenalan akan proses sebuah penciptaan sebenarnya sudah berlangsung lama. Ia terpampang di halaman produksi sebuah buku, di credit title sebuah film, atau bahkan di belakang jilid sebuah album musik sekalipun.
Tapi, apakah ada yang mau memperhatikannya (membacanya)? Alih-alih mengetahui bagaimana proses itu diciptakan lewat tangan-tangan penciptanya, kita justru lebih terlena dengan karyanya, setidaknya judul buku dan penulisnya, judul film dan aktor utamanya, atau judul lagu dan penyanyinya. Kita luput—untuk tidak menyebutnya tidak peduli—memerhatikan bagaimana karya itu dikerjakan lewat sebuah proses yang panjang, yang melibatkan banyak orang dengan banyak profesi di dalamnya. 

Sunday, September 14, 2014

Waktu Terbaik Untuk Menulis

Judul di atas mungkin memunculkan beberapa pertanyaan. Apa ada waktu terbaik untuk menulis? Jika ada, kapan? Tapi bukan tidak mungkin judul itu pun hanyalah mitos belaka. Kenyataannya, orang bisa menulis kapan saja, di mana saja, dan dalam kondisi apa pun.
Seorang pelajar bisa menulis materi pelajaran di ruang kelas. Sekretaris bisa menulis selama dirinya bekerja di kantor. Bahkan seorang kasir sebuah mini market pun bisa menulis selama dia bekerja, entah siang, entah malam. Setiap orang bisa menulis tulisan yang dibuatnya, kapan pun dia harus dan ingin menulis. 
            Mungkin akan lebih baik jika kita spesifikasikan bentuk tulisannya. Bukan tulisan sekadar tulisan atau corat-coret belaka seperti halnya daftar belanjaan. Akan tetapi, tulisan bergenre sastra, baik itu puisi atau pun prosa.
            Bukan perkara yang mudah memang membuat tulisan genre ini. Sekalipun pernah juga menjadi perdebatan tatkala seorang Arswendo Atmowiloto berkata bahwa “Mengarang Itu Gampang”. Jika benar perkataan beliau ini, lalu kenapa juga orang Indonesia masih saja susah untuk menulis/mengarang. Tapi setidaknya kita belajar bahwa ternyata yang namanya gampang itu relatif, yang jelas tidak susah kecuali malas.
            Berkaca dari pengalaman, Penyair Sapardi Djoko Damono punya waktu khusus untuk menulis. Dalam testominya dia berkata bahwa dia acapkali menulis menjelang fajar, mungkin sebelum waktu subuh, di ruang pribadinya yang kecil berkawankan buku-buku di raknya. Pada saat inilah beliau biasa mencipta puisi dengan tingkat kekhusyuan yang cukup tinggi. Baginya bisa jadi kesunyian menjadi sangat penting di tengah hingar bingar kota yang hidup. 
Belum lagi menyebut para prosais yang kebanyakan memang lebih suka menulis di malam hari. Tidak hanya karena malam itu magis, tapi juga pada saat seperti inilah keadaan sunyi dan tenang justru menjadi kawan yang menguntungkan para penulis/pengarang. Ketika siang hari waktu dipenuhi dengan berbagai macam kesibukan, pada malam harinya para penulis akan masuk ke dalam ruang pribadinya, menyalakan komputernya sebagaimana dia menyalakan pikirannya untuk mulai menulis.
Ada semacam paradigma yang muncul di tahun 90-an dimana penulis, atau tepatnya penyair adalah sosok yang jauh dari yang namanya bersosialisasi. Mereka lebih memilih untuk diam di “guanya” bersama tulisannya. Hal ini bisa benar, bisa juga tidak. Tidak benar karena bagaimanapun penulis juga manusia. Mereka butuh bersosiali sebagai medianya untuk membaca sebelum pada akhinrya pembacaan itu berbentuk rangkaian kata-kata. Benar karena pada kenyataannya, penulis memang butuh konsentrasi tingkat dewa. Kesibukan di siang hari jelas tidak bisa membuat para penulis leluasa untuk berpikir untuk menulis. Maka dari itu mengapa mereka butuh malam, butuh ruang pribadi dan ketenangan.
Selain itu pula, membuat tulisan bergenre sastra memang menuntut banyak faktor. Tentunya selain privacy dan ruang. Para penulis yang memang butuh konsentrasi agar bisa fokus untuk tulisannya, juga tubuh yang prima. Itu artinya kondisi pikiran dan tubuh pun sedikit banyak memengaruhi tulisan yang dibuatnya. Sebuah penelitian membuktikan bahwa pikiran akan lebih jernih dan tenang dan bisa bekerja lebih baik apabila otak masih fresh. Artinya, otak belum benar-benar dipergunakan untuk memikirkan soal pekerjaan, tugas, utang dan tetek bengek lainnya. Dan keadaan itu bisa didapatkan manakala otak baru saja diaktifkan. Dengan kata lain, tak lama setelah bangun tidur.
Pada saat-saat seperti inilah pikiran memiliki potensi untuk bekerja dengan sangat baik. Otak bisa lebih fokus dan pikiran bisa lebih konsen secara maksimal. Berbeda halnya ketika otak sudah terlalau banyak digunakan untuk memikirkan banyak hal. Alih-alih bisa fokus dan konsentrasi, tulisan yang diciptakan pun malah jauh dari sempurna. Urat-urat syaraf di otak sudah tegang karena sudah banyak digunakan. Energi yang dimiliki otak pun sudah kekurangan nutrisinya. Tak jauh beda dengan tubuh yang sudah lelah bekerja tapi malah dipaksa untuk bekerja lagi. Sedang kita tahu kalau bekerja dengan otak justru lebih melelahkan ketimbang fisik. Setidaknya ada satu hal sama yakni, jika sudah lelah maka keduanya butuh istirahat.
Kembali ke judul tulisan di atas. Jadi, tidak masalah kapan waktu yang paling baik untuk menulis. Setiap orang punya kebiasaa, cara dan metodenya sendiri dalam hal menulis. Satu yang pasti, tulisan yang baik tentulah harus didukung pula oleh kondisi pikiran dan tubuh yang prima. Karena tanpanya tulisan yang dihasilkan tanpa syarat-syarat tadi bukan tidak mungkin justru malah tak jelas arahnya. Kata-katanya, strukturnya, amanat yang hendak disampaikannya, dan nya-nya yang lainnya. Demikian. [FA]

Friday, September 5, 2014

TEMPAT SAMPAH KITA

Urusan tempat sampah bisa jadi urusan yang tidak pernah selesai. Mulai dari TPA (Tempat Pembuangan Akhir), tempat-tempat sampah yang mestinya tersedia di setiap sudut ruang publik, perilaku orang yang membuang sampah, dan manajemen pengelolaan sampah; kesemuanya itu masih menjadi PR bagi kita Si Pembuang/Pembersih Sampah.

Tapi biarlah, hal-hal besar dan masiv itu kita ke sampingkan lebih dulu. Pada kesempatan ini saya justu ingin berbicara tentang tempat sampah. Yang kenyataannya, masih dianggap sepele oleh kebanyakan kita.

Berkaca pada orang-orang kreatif di luar negeri sana, urusan membuang sampah seakan telah menjadi sebuah fokus—bahkan bukan tidak mungkin menjadi bidang studi tersendiri. Maksud saya, tempat sampah tidak hanya sebatas tempat untuk membuang sampah. Lebih dari itu, tempat sampah didesain oleh mereka dengan mempertimbangkan fungsi dan perannya sebagai tempat sampah.

Tidak seperti di kita dimana tempat sampah hanya sebatas tong kosong atau drum plastik yang disimpan begitu rupa. Meski cukup bisa dihargai dimana setiap tong diberi label tersendiri, seperti organik atau non-organik. Sayangnya, hal itu menurut saya belum bisa dibilang cukup.

Desain tempat sampah mestinya menjadi hal yang harus dipikirkan juga. Jika Anda datang ke mini market atau bank atau instansi-instansi yang bonafide, barangkali Anda pernah melihat tempat sampah yang didesain sedemikian rupa. Sebuah kaleng—baik berbentuk tabung atau persegi--besar yang terdiri dari dua fungsi yang berbeda. Pertama, lubang besar, biasanya di tengah-tengah, untuk membuang sampah, dimana di atasnya terdapat semacam asbak untuk mematikan puntung rokok.  

Saya pikir bukan tanpa alasan mengapa mereka membuat desain tempat sampah semacam demikian itu. Pasalnya—setidaknya berdasarkan pengalaman yang saya alami, seandainya orang membuang puntung rokok langsung ke tempat sampah, sedang sampah itu sendiri adalah sampah yang mudah terbakar, apa yang sekiranya bakal terjadi? Ya, jelas kebakaran! Dan kebakaran akibat puntung rokok yang dibuang ke tempat sampah dengan sampah yang mudah terbakar itu, telah membuat sekolah saya hangus terbakar dilalap api.

Sungguh sangat sentimentil, atau mungkin tragis. Hanya karena puntung rokok, atau tempat sampah yang seadanya itu, satu bangunan sekolah bisa ludes, hingga akhirnya siswa-siswa dan guru-guru pun hanya bisa gigit jari. Mereka kehilangan berkas-berkas, buku-buku, perpustakaan, uang tabungan, dan yang lebih penting, hak mereka untuk belajar dan mengajar, untuk menuntut ilmu. Hanya gara-gara tempat sampah!  

Saya pikir kejadian semacam ini tidak hanya dialami oleh saya saja, orang lain di manapun bisa juga mengalami dan merasakannya. Seandainya kita bisa belajar dari pengalaman ini, barangkali orang bisa lebih waspada sekaligus mengantisipasi peristiwa serupa. Dengan kata lain, kita mestinya juga memikirkan dan harusnya membuat tempat sampah yang didesain sesuai fungsi. Jika perlu, fungsinya itu desesuaikan dengan kebutuhan penggunanya. Hanya sebagai antisipasi, karena bagaimana pun, bukankah menjaga itu lebih baik dari pada mengobati?

Ajaib juga, mereka, orang-orang di luar negeri sana yang justru mengetatkan peraturan soal rokok merkok ini, justru menjadi orang yang sangat menghargai perokok dengan menyediakan tempat sampah yang sangat eksklusif itu. Tapi kita…?   

Walau demikian, tetap saja, manusia itu sendirilah yang sebenarnya menjadi titik utama perihal sampah menyampah ini. Perilaku disiplin, taat aturan, dan gaya hidup bersih mestinya menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap orang. Tidak perlulah kita bergantung pada pemerintah untuk masalah ini. Tahu sendiri, pemerintah kita lebih sibuk mengurus negara, politik, ekonomi, subdisi BBM dan lainnya. Justu dari kita sendirilah mestinya hal ini dimulai. Karena kalau bukan kita, siapa lagi? [FA/“Saswaloka”]