Monday, August 18, 2014

P Project: Kembalinya Si Anak Kost

Bagi generasi 90-an, kehadiran Padhyangan Project (P-Project) yang mengisi program di salah satu televisi swasta barangkali menjadi semacam pengobat rindu. Dengan vitalitas yang prima, personel yang digawangi oleh Denny Chandra, Daan Aria, Joe (Juhana Sutisna), Iszur Muchtar, Iang Darmawan, Wawan Hanura dan Deden Herman ini ternyata masih saja produktif.

Bukan isapan jempol bagi sebuah “boyband” yang dibentuk sejak 4 Desember 1982 ini bisa eksis sampai sekarang. Tentunya, tetap dengan tidak menghilangkan ciri khas mereka sebagai seniman drama komedi berformat kabaret yang menjadi wahana penyalur bakat serta ide-ide gilanya. Dan hebatnya, tidak ada satu pun yang bisa menyamainya.

Mungkin masih terngiang di ingatan bagaimana mereka menyedot perhatian kita dengan debut pertamanya berjudul Nasib Anak Kost (Oo… Lea… Leo, 1993) di televisi. Lagu yang diadaptasi dan yang judulnya dipelesetkan dari lagu That’s The Way Love Goes-nya Janet Jackson ini telah berhasil menempatkan kelompok seniman ini di panggung hiburan. Walau kenyataanya, mereka telah lebih dulu berkutat di dunia ini ketika masih menjadi penyiar Radio Oz di Bandung dalam acara Gelak Gelitik OzG.

Setelah itu eksistensi mereka pun bertambah seiring kesuksesannya. Lagu-lagu seperti Kop & Heden (Jilid 2, 1994)—diadaptasi dari lagu Close to Heaven-nya Color Me Bad, Antrilah di Loket (Jilid 3, 1996)—diadaptasi dari lagu I Can Love You Like That-nya Color Me Bad, Mudik (Jilid Lebaran, 1997), dan Lagunya Lagu Bola (Jilid 4, 1998)—diadaptasi dari lagu La Copa De La Vida-nya Ricky Martin, pun mengisi khazanah dunia musik Indonesia. Mungkin tidak pernah kita mendapatkan sebuah kelompok yang tidak hanya membuat kita tertawa, tapi juga membuat kita bernyanyi dengan lantunan-lantunan lagunya. Sungguh komplit bak 4 sehat 5 sempurna: ada karbohidrat (musik),  protein (lirik), dan yang pasti vitaminnya (parodi).

Kemunculan P-Project di stasiun televisi sendiri bukan tanpa alasan. (Walau secara progresif, masing-masing personel P Project mengembangkan sayapnya di dunia hiburan yang lain, seperti halnya Iang Darmawan yang acapkali terlihat berperan akting di sinetron televisi, juga Joe P Project yang bahkan sering terlihat di film layar lebar, dan Denny Chandra yang sekarang-sekarang ini tengah anteng-antengnya menjadi host di program Indonesia Lawak Club di Trans7.) Setelah banyak disinyalir dari para senior komedian, dunia komedi di panggung hiburan justru seperti arah jarum jam yang berputar ke belakang.

Para, yang katanya, komedian dalam setiap acaranya malah saling mengejek bahkan menghina. Belum lagi teknik lawak seperti menggunakan tepung yang sengaja ditumpahkan atau dipupurkan ke wajah  lawan mainnya pun semakin memperlihatkan tidak kreativnya komedian generasi sekarang. Akal mereka seperti tumpul untuk mencari inovasi cara dan teknik melawak yang berbobot dan berkualitas. Pada akhirnya, yang ada hanyalah sebatas lawakan-lawakan garing, yang ujung-ujungnya sudah ketahuan oleh para penontonnya. Padahal, P Project sendiri tidak pernah memperlihatkan hal (parodi) yang sama di setiap penampilannya. Lihat saja perkembangan lagu-lagu di setiap albumnya, juga penampilannya di panggung ketika mereka punya program sendiri di stasiun SCTV.

Barangkali seperti DKI (Dono, Kasino, Indro), Bagito (Didin, Miing, Unang) dan Patrio (Parto, Akri, Eko)—untuk menyebut beberapa saja grup lawak besar, P Project adalah salah satu grup lawak yang juga paling ditunggu-tunggu penampilannya di televisi. Semoga kemunculannya kali ini, selain bisa mengobati kerinduan para fans juga bisa menyembuhkan “kemandulan” dunia lawak negeri ini, tentunya dengan napas dan nuansanya yang baru. Dan semoga "Si Anak-Anak Kost" ini masih tetap “gila” seperti sedia kala. [FA/“Saswaloka”]

Pic: id.wikipedia/wiki/Padhyangan 

Saturday, August 16, 2014

Bahasa Sebagai Indikator Peradaban Bangsa

Sebuah kalimat berbunyi: Jika seseorang ingin mengubah hidupnya, maka ia harus terlebih dulu mengubah bahasanya. Peribahasa Sunda berkata “Hade goreng ku basa.” Seyogianya, bahasa adalah representasi jati diri sesorang. Pada bahasalah seseorang memperlihatkan identitasnya. Ia menjadi tolak ukur keber-adaban manusia.
Kesadaran akan bahasa merupakan indkotrinasi. Ia dicapai bukan melulu lewat jalur akademik yang mengumbar begitu banyak teori. Bahkan ada kalanya teori-teori itu pun tidak bisa membendung bahasa sebagai makhluk yang terus berevoulsi—sesuatu yang berbanding lurus dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia itu sendiri.
Kesadaran pun bukan sesuatu yang final. Sejauh manusia dan bahasanya berkembang, sejauh itu pula kesadaran dibutuhkan. Permasalahannya sekarang adalah, apakah kesadaran itu berwarna positif atau negatif. Tentu, di tengah rongrongan multimedia yang gencar, selalu ada kesempatan bagi bahasa untuk menampakkan kelemahan-kelemahannya. Sayangnya, tidak ada filter atau penyaring mana dari wujud pikiran itu (bahasa) yang benar dan baik dengan yang sebaliknya. Di sinilah logika punya peran.


Thursday, August 14, 2014

Guru (Honorer) Oh Guru (Honorer)*

Tahun Pelajaran baru artinya sekolah baru. Barangkali itulah yang terbesit di kepala para guru khususnya guru honorer, setidaknya yang berada di wilayah Subang Selatan ini. Setiap tahun pelajaran tiba, tidak sedikit guru yang pindah dari satu atau lebih sekolah ke sekolah lainnya. 

Perilaku nomaden sekaligus "selingkuh" ini jelas bukan tanpa alasan. Beberapa orang beralasan bahwa dasar kepindahan mereka adalah soal kenyamanan. Tapi yang paling santer terdengar dan menjadi sangat signifikan adalah soal kebutuhan, ya, apa lagi kalau bukan masalah kesejahteraan? 

Mereka berpendapat jika sekolah yang ditinggalkannya ternyata tidak cukup bijak untuk memperjuangkan dirinya setelah dirinya memperjuangkan sekolah. Dalam artian, guru-guru yang berbakti dan mengabdi kepada sekolah selama bertahun-tahun, ternyata tidak cukup diperhitungkan ketika dirinya punya kesempatan untuk bisa--sebut saja--mendapat sertifikasi: sebuah pembaiatan dimana seorang guru telah benar-benar dinyatakan sebagai guru profesional hingga dirinya tidak lagi seperti ikan yang bernapas dalam lumpur. Walau, kenyataan di lapangan, begitu banyak guru yang disertifikasi tapi masih tidak layak disebut profesional. 

Pil pahit yang setiap tahun harus ditelan oleh guru-guru honorer di banyak sekolah ini terkait oleh pembawaam kepemimpinan. Karakter pemimpin sekolah yang--dalam kasus di wilayah Subang Selatan ini-- kebanyakan berada di bawah naungan yayasan, sangat kental dengan sikap subjektif, oteriter dan nepotisme. Barangkali karena dia adalah pemilik yayasan, maka dia bisa seenak dan semaunya bersikap dan bertindak untuk yayasan sekaligus sekolah yang dimilikinya. Hal ini jelas sudah menjadi pengetahuan umum di wilayah ini. Sabiwir hiji, begitu kata peribahasa Sunda. Meski begitu, tidak semua memang para pemimpin yayasan punya sikap dan sifat demikian. Yang lurus-lurus saja pun ada, walau tidak banyak.
 
Alih-alih untuk menciptakan suasan KBM yang kondisuf diiringi dengan sistem yang mumpuni, atau yang lebih jauh lagi, yang barangkali menjadi dasar kenapa harus ada sekolah dan pendidikan di negara ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, yang justru kecipratan jeleknya adalah manajemen sekolah. Dan siapa lagi kalau bukan guru (honorer) yang harus merasakan akibatnya? Sungguh sebuah ironis: ketika para guru kerja siang malam mengurus sekolah, mengajar dan mengerjakan seabreg tugas kependidikan, dengan kara lain mencoba memintarkan bangsa ini, kenyataan yang ada justru merekalah yang seringkali dibodohi dan dibohongi oleh para pemilik kebijakan--untuk tidak menyebut pemerintah. Bukankah itu yang disebut namanya "Air susu dibalas dengan air tuba?" Air susu diberikan oleh guru, tapi justru racun yang didapatkannya. 
Entah samapai kapan guru-guru honorer yang kecewa dan dikecewakan, yang tetap memegang prinsip dan motivasi sebagai seorang pendidik dan pengajar dalam hatinya, harus jor-joran bergelut dengan keadaan seperti ini dari waktu ke waktu. Hanya berusaha mencoba untuk mendapatkan penghargaan dan sedikit saja pengakuan dirinya sebagai guru, lagi-lagi mereka harus mencari tempat mengajar lagi, memulai dari nol lagi, serta berharap dan berharap lagi, entah untuk ke berapa ribu kali. [FA]

*) sebuah celoteh sebagai teman minum kopi.

Tuesday, August 12, 2014

[Puisi] Pohon Waktu


Pohon Waktu

Waktu telah menyampaikanku
pada daun-daun. Akar-akar
tak lantas pongah menunjang batang
dan tumbuhkan tunas-tunas
tetap diam sebagai sepi
Di bawah tanah tempat semua kembali
Tapi tidakkah terlalu dini untuk
mengkhidmati napas ketika hari
mengantarkan kicau burung
lantunkan puja puji
Maka berjalanlah aku ke arah barat
Ke kaki gunung di mana sebuah legenda
tak lagi terdengar kecuali julang tubuhnya
yang menjelma jadi perahu terbalik
Di sini kembali aku mengenal tanah
dan menyembah matahari
hingga akhirnya air langit pun jatuh
di telapak tanganku dan menumbuhkan
tunas-tunas muda di jari-jemariku

Subang, 04 Agustus 2014


Tentang Tanah

Bahkan tanah pun meminta restu langit
menghidupkan bumi
mengikhlaskan merahnya sebagai darah
yang kuteteskan di ujung kemarau nanti

Subang, 04 Agustus 2014