Sunday, September 14, 2014

Waktu Terbaik Untuk Menulis

Judul di atas mungkin memunculkan beberapa pertanyaan. Apa ada waktu terbaik untuk menulis? Jika ada, kapan? Tapi bukan tidak mungkin judul itu pun hanyalah mitos belaka. Kenyataannya, orang bisa menulis kapan saja, di mana saja, dan dalam kondisi apa pun.
Seorang pelajar bisa menulis materi pelajaran di ruang kelas. Sekretaris bisa menulis selama dirinya bekerja di kantor. Bahkan seorang kasir sebuah mini market pun bisa menulis selama dia bekerja, entah siang, entah malam. Setiap orang bisa menulis tulisan yang dibuatnya, kapan pun dia harus dan ingin menulis. 
            Mungkin akan lebih baik jika kita spesifikasikan bentuk tulisannya. Bukan tulisan sekadar tulisan atau corat-coret belaka seperti halnya daftar belanjaan. Akan tetapi, tulisan bergenre sastra, baik itu puisi atau pun prosa.
            Bukan perkara yang mudah memang membuat tulisan genre ini. Sekalipun pernah juga menjadi perdebatan tatkala seorang Arswendo Atmowiloto berkata bahwa “Mengarang Itu Gampang”. Jika benar perkataan beliau ini, lalu kenapa juga orang Indonesia masih saja susah untuk menulis/mengarang. Tapi setidaknya kita belajar bahwa ternyata yang namanya gampang itu relatif, yang jelas tidak susah kecuali malas.
            Berkaca dari pengalaman, Penyair Sapardi Djoko Damono punya waktu khusus untuk menulis. Dalam testominya dia berkata bahwa dia acapkali menulis menjelang fajar, mungkin sebelum waktu subuh, di ruang pribadinya yang kecil berkawankan buku-buku di raknya. Pada saat inilah beliau biasa mencipta puisi dengan tingkat kekhusyuan yang cukup tinggi. Baginya bisa jadi kesunyian menjadi sangat penting di tengah hingar bingar kota yang hidup. 
Belum lagi menyebut para prosais yang kebanyakan memang lebih suka menulis di malam hari. Tidak hanya karena malam itu magis, tapi juga pada saat seperti inilah keadaan sunyi dan tenang justru menjadi kawan yang menguntungkan para penulis/pengarang. Ketika siang hari waktu dipenuhi dengan berbagai macam kesibukan, pada malam harinya para penulis akan masuk ke dalam ruang pribadinya, menyalakan komputernya sebagaimana dia menyalakan pikirannya untuk mulai menulis.
Ada semacam paradigma yang muncul di tahun 90-an dimana penulis, atau tepatnya penyair adalah sosok yang jauh dari yang namanya bersosialisasi. Mereka lebih memilih untuk diam di “guanya” bersama tulisannya. Hal ini bisa benar, bisa juga tidak. Tidak benar karena bagaimanapun penulis juga manusia. Mereka butuh bersosiali sebagai medianya untuk membaca sebelum pada akhinrya pembacaan itu berbentuk rangkaian kata-kata. Benar karena pada kenyataannya, penulis memang butuh konsentrasi tingkat dewa. Kesibukan di siang hari jelas tidak bisa membuat para penulis leluasa untuk berpikir untuk menulis. Maka dari itu mengapa mereka butuh malam, butuh ruang pribadi dan ketenangan.
Selain itu pula, membuat tulisan bergenre sastra memang menuntut banyak faktor. Tentunya selain privacy dan ruang. Para penulis yang memang butuh konsentrasi agar bisa fokus untuk tulisannya, juga tubuh yang prima. Itu artinya kondisi pikiran dan tubuh pun sedikit banyak memengaruhi tulisan yang dibuatnya. Sebuah penelitian membuktikan bahwa pikiran akan lebih jernih dan tenang dan bisa bekerja lebih baik apabila otak masih fresh. Artinya, otak belum benar-benar dipergunakan untuk memikirkan soal pekerjaan, tugas, utang dan tetek bengek lainnya. Dan keadaan itu bisa didapatkan manakala otak baru saja diaktifkan. Dengan kata lain, tak lama setelah bangun tidur.
Pada saat-saat seperti inilah pikiran memiliki potensi untuk bekerja dengan sangat baik. Otak bisa lebih fokus dan pikiran bisa lebih konsen secara maksimal. Berbeda halnya ketika otak sudah terlalau banyak digunakan untuk memikirkan banyak hal. Alih-alih bisa fokus dan konsentrasi, tulisan yang diciptakan pun malah jauh dari sempurna. Urat-urat syaraf di otak sudah tegang karena sudah banyak digunakan. Energi yang dimiliki otak pun sudah kekurangan nutrisinya. Tak jauh beda dengan tubuh yang sudah lelah bekerja tapi malah dipaksa untuk bekerja lagi. Sedang kita tahu kalau bekerja dengan otak justru lebih melelahkan ketimbang fisik. Setidaknya ada satu hal sama yakni, jika sudah lelah maka keduanya butuh istirahat.
Kembali ke judul tulisan di atas. Jadi, tidak masalah kapan waktu yang paling baik untuk menulis. Setiap orang punya kebiasaa, cara dan metodenya sendiri dalam hal menulis. Satu yang pasti, tulisan yang baik tentulah harus didukung pula oleh kondisi pikiran dan tubuh yang prima. Karena tanpanya tulisan yang dihasilkan tanpa syarat-syarat tadi bukan tidak mungkin justru malah tak jelas arahnya. Kata-katanya, strukturnya, amanat yang hendak disampaikannya, dan nya-nya yang lainnya. Demikian. [FA]

Friday, September 5, 2014

TEMPAT SAMPAH KITA

Urusan tempat sampah bisa jadi urusan yang tidak pernah selesai. Mulai dari TPA (Tempat Pembuangan Akhir), tempat-tempat sampah yang mestinya tersedia di setiap sudut ruang publik, perilaku orang yang membuang sampah, dan manajemen pengelolaan sampah; kesemuanya itu masih menjadi PR bagi kita Si Pembuang/Pembersih Sampah.

Tapi biarlah, hal-hal besar dan masiv itu kita ke sampingkan lebih dulu. Pada kesempatan ini saya justu ingin berbicara tentang tempat sampah. Yang kenyataannya, masih dianggap sepele oleh kebanyakan kita.

Berkaca pada orang-orang kreatif di luar negeri sana, urusan membuang sampah seakan telah menjadi sebuah fokus—bahkan bukan tidak mungkin menjadi bidang studi tersendiri. Maksud saya, tempat sampah tidak hanya sebatas tempat untuk membuang sampah. Lebih dari itu, tempat sampah didesain oleh mereka dengan mempertimbangkan fungsi dan perannya sebagai tempat sampah.

Tidak seperti di kita dimana tempat sampah hanya sebatas tong kosong atau drum plastik yang disimpan begitu rupa. Meski cukup bisa dihargai dimana setiap tong diberi label tersendiri, seperti organik atau non-organik. Sayangnya, hal itu menurut saya belum bisa dibilang cukup.

Desain tempat sampah mestinya menjadi hal yang harus dipikirkan juga. Jika Anda datang ke mini market atau bank atau instansi-instansi yang bonafide, barangkali Anda pernah melihat tempat sampah yang didesain sedemikian rupa. Sebuah kaleng—baik berbentuk tabung atau persegi--besar yang terdiri dari dua fungsi yang berbeda. Pertama, lubang besar, biasanya di tengah-tengah, untuk membuang sampah, dimana di atasnya terdapat semacam asbak untuk mematikan puntung rokok.  

Saya pikir bukan tanpa alasan mengapa mereka membuat desain tempat sampah semacam demikian itu. Pasalnya—setidaknya berdasarkan pengalaman yang saya alami, seandainya orang membuang puntung rokok langsung ke tempat sampah, sedang sampah itu sendiri adalah sampah yang mudah terbakar, apa yang sekiranya bakal terjadi? Ya, jelas kebakaran! Dan kebakaran akibat puntung rokok yang dibuang ke tempat sampah dengan sampah yang mudah terbakar itu, telah membuat sekolah saya hangus terbakar dilalap api.

Sungguh sangat sentimentil, atau mungkin tragis. Hanya karena puntung rokok, atau tempat sampah yang seadanya itu, satu bangunan sekolah bisa ludes, hingga akhirnya siswa-siswa dan guru-guru pun hanya bisa gigit jari. Mereka kehilangan berkas-berkas, buku-buku, perpustakaan, uang tabungan, dan yang lebih penting, hak mereka untuk belajar dan mengajar, untuk menuntut ilmu. Hanya gara-gara tempat sampah!  

Saya pikir kejadian semacam ini tidak hanya dialami oleh saya saja, orang lain di manapun bisa juga mengalami dan merasakannya. Seandainya kita bisa belajar dari pengalaman ini, barangkali orang bisa lebih waspada sekaligus mengantisipasi peristiwa serupa. Dengan kata lain, kita mestinya juga memikirkan dan harusnya membuat tempat sampah yang didesain sesuai fungsi. Jika perlu, fungsinya itu desesuaikan dengan kebutuhan penggunanya. Hanya sebagai antisipasi, karena bagaimana pun, bukankah menjaga itu lebih baik dari pada mengobati?

Ajaib juga, mereka, orang-orang di luar negeri sana yang justru mengetatkan peraturan soal rokok merkok ini, justru menjadi orang yang sangat menghargai perokok dengan menyediakan tempat sampah yang sangat eksklusif itu. Tapi kita…?   

Walau demikian, tetap saja, manusia itu sendirilah yang sebenarnya menjadi titik utama perihal sampah menyampah ini. Perilaku disiplin, taat aturan, dan gaya hidup bersih mestinya menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap orang. Tidak perlulah kita bergantung pada pemerintah untuk masalah ini. Tahu sendiri, pemerintah kita lebih sibuk mengurus negara, politik, ekonomi, subdisi BBM dan lainnya. Justu dari kita sendirilah mestinya hal ini dimulai. Karena kalau bukan kita, siapa lagi? [FA/“Saswaloka”]