http://mrqualitative.com/2008/11/14/discourse-analysis/ |
Oleh: Firman Nugraha
Di balik keterguliran istilah Discourse Analysis (Analisis Wacana), ternyata ada beberapa statement dilematik yang ‘menggugat’–atau bahkan menampik Discourse Anaysis sebagai sebuah ranah ilmu di bidang linguistik. Ada yang berpendapat bahwa Dicourse Analysis (Analisis Wacana) merupakan linguistik “banci” (Nurjanah, 2006). Pasalnya istilah ini -termasuk bidang kajian di dalamnya- merupakan comotan-comotan dari ilmu-ilmu yang sudah ada seperti pragmatik, semantik, dll. Ada pula yang berpendapat bahwa kajian yang dilakukan oleh analisis wacana itu tidak mapan, dalam artian kurangnya ranah-ranah yang mendukung sebuah kajian jika dikaitkan sementara sebetulnya ilmu-ilmu yang ada sebelum analisis wacana sudah cukup mengakomodir. Bahkan penulis sendiri dengan tanpa tedeng aling-aling berpendapat bahwa analisis wacana sendiri hanyalah sebuah istilah (ilmu bidang) yang dimunculkan dengan tujuan untuk mengakomodir temuan kajian-kajian baru dari hasil penelitian bahasa. Terkait itu semua, sebenarnya, tak ada maksud untuk mematahkan ilmu ini karena laiknya hidup, bahasa itu dinamis. Ia akan terus berevolusi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Berbicara Discourse Analysis –penulis sengaja memisahkannya dari kata Critical dengan maksud tertentu- berarti berbicara salah satu bidang ilmu lingusitik. Banyak pengertian yang merangkai kata wacana ini bahkan seperti tumpang tindih. Contoh dalam lapangan sosiologi, di sini wacana lebih menekankan pada hubungan konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Sedangkan menurut ‘Mbah’ Michael Foucault (1972), wacana diartikan; sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan. Untuk point kedua dan ketiga penulis sendiri masih mencari apa maksudnya.
Analisis wacana sendiri dalam studi linguistik lebih dimaksudkan sebagai reaksi dari bentuk linguistik formal (Eriyanti: Analisis wacana, Penganar Analisi Teks Media). Artinya, analisis lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut. Analisis wacana pun memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Dalam lapangan psikologi sosial, analisis wacana diartikan sebagai pembicaraan yang konkretnya agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Mengingat bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, saya menginferensikan bahwasanya menganalisis sebuah wacana sama saja dengan mencari ideologi yang secara tersirat berada di balik kata-kata. Dan oleh karenanya, aspek inilah yang sebenarnya dipelajari dalam analisis wacana.
Melihat kembali penuturan di atas, kembali pikiran saya diombang-ambing sebuah definisi dan hal-hal yang berkaitan dengan analisis wacana itu sendiri. Di satu sisi definisi yang diberikan oleh Foucault tampak jelas sebagai sebuah istilah, begitu pun Fairclough (Language and power, 1989; Critical Discourse Analysis, 1995) yang menyatakan bahwa bahasa adalah bentuk dari praktek sosial. Di sisi lain ketika kita tengah berada dalam proses penganalisisan, definisi wacana dalam konteks sosial dan politik pun diberikan juga. Sementara jika kita berbicara hubungan teks dan konteks, praktisnya justru ada dalam wilayah pragmatik yang notabene bagian dari bentuk linguistik formal. Oleh karenanya, mengapa saya dari awal berkata bahwa wacana dan segenap seluk beluk –termasuk di dalamnya sebuah definisi- terkesan tumpang tindih.
Sebetulnya ada tiga pandangan yang berkitan dengan bahasa (dalam konteks analisis wacana). Pertama, pandangan yang menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Di sini wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik --Analisis Isi (kuantitatif). Kedua, pandangan yang menempatkan analisis wacana sebagai suatu analisis untuk mengetahui maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Bukankah sebuah wacana terlontar memang karena ada maksudnya? Karenanya pula mengapa orang lebih banyak berbicara “apa maksudnya?” dibanding “apa itu?”. Ini biasa juga disebut dengan Analisis Framing (bingkai). Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Dalam hal ini analisis wacana menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Di sini bahasa dipahami sebagai representasi atau -saya bilang- simbol yang berperan dalam membentuk subyek, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi proses pencapaiannya. Dalam hal ini analisis mencoba untuk mengungkap tabir sebuah proses bahasa; batasan-batasan yang digunakan; dan cara pandang atau perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Oleh karenanya, karena menggunakan perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis). Ini dimaksudkan untuk membedakan dengan analisis wacana dalam kategori pertama dan kedua (discourse analysis). Dan pendekatan ini pula yang nantinya akan saya gunkan dalam –sedikitnya- menganalisis sebuah wacana.
Setelah mengetahui berbagai definisi dan istilah, dalam paragraph ini saya coba mengetengahkan feadah (manfaat) dari analisis wacana itu sendiri. Istilah yang dalam sepuluh tahun terakhir ini bergulir sebenarnya sudah banyak merubah tatanan bahasa sebagai alat tutur –bahkan lebih luas seperti yang diungkapkan oleh Guy Cook tentang tiga hal sentral dalam wacana yaitu, teks, konteks, dan wacana- yang dikaji lebih dalam dan dirasakan banyak faedah yang bisa dilakukan dengan analisi wacana. Sebagai contoh, Ignas kleden yang menganalisis wacana politik Indonesia dalam kasus Dr. Syahrir Sabirin yang ditawari Presiden Gus Dur jika bersedia mundur dari jabatannya (Tempo , 17-23 Juli 2000). Ia menganalisi kasus yang sedang muncul saat itu sebagai satu bentuk praktek konkret analisis wacana. Dan dengan itu pula berbagai statement terlontar di balik sebuah bahasa.
Contoh lain yang yang menarik saya yaitu ketika saya membaca bahwa sebuah analisis wacana kritis dapat mengungkap kebenar-bohongan dalam sebuah persidangan peradilan. Hal ini sempat disampaikan oleh Aminudin Aziz, Prof., Dr. Dosen Bahasa Inggris FBPS UPI dalam artikelnya di Isola Pos.
Faedah lainnya yaitu ketika sebuah wacana dapat menjadi refleksi seseorang dalam proses kritisnya. Ini saya rujuk dari sebuah artikel yang ditulis oleh Dharmojo dengan judul Critical Discourse Analysis Sebagai Moel Pembelajaran Sastra (www.cybersastra.net). Beliau tampak antusias dalam mewacanakan bahwa sebuah alternatif model CDA dapat diimplementasikan pada pengajaran sastra. Mengutip kembali dari artikelnya, Rahmanto (1988:12) menyatakan bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta, rasa, dan karsa, serta (4) menunjang pembentukan watak. Jika kita kaitkan paragraf di atas dengan keempat point ini, tepat kiranya jika saya berpendapat bahwa lewat sastra kita dapat membentuk manusia yang seutuh-utuhnya (dalam sebuah konversi): berbicara santun, berwawasan luas, berjiwa semangat dan produktif, menghargai, berwatak dan berakhlakul karimah baik. Secara tidak sadari, sebetulnya kita bisa membentuk karakter-karakter manusia Indonesia yang sempurna yang pada nantinya memiliki sesungguh-sungguhnya pribadi mulia. Karena senarai dengan apa yang Sayuti (2000: 60) katakan bahwa “Hakikat penyelenggaraan pendidikan harus dikembalikan kepada khitah-nya, yakni mengkondidikan manusia-didik mencapai kepribadiannya.”
Ini juga yang menjadikan mengapa saya mengambil CDA sebagai sebuah pendekatan dan model alternatif pembelajaran sastra yang selanjutnya akansecara konkrete men-detail dan terimplementasi dalam sebuah analisis (sastra: puisi)
Model CDA ini kali pertama dikemukakan oleh Faircough (1989, 1992b, 1995 bandingkan Lukamana: 2003). Pada dasarnya ada tiga dimensi yang mencakup (1) linguistik data, (2) praktek-praktek diskursif, dan (3) praktek-praktek sosial. Kemudian CDA pun memberlakukan tiga tahap analisis, yaitu (1) tahap penjelajahan, (2) tahap interpretasi, dan (3) tahap rekreasi (bandingkan Darmojo; 2002) . Adapun penerapan model CDA ini diawali dari penjelajahan sebuah wacana dengan cara membaca wacana yang dimaksud untuk mendapatkan gambaran-gambaran umum, kesan-kesan, dan gagasan-gagasan yang terdapat dalam wacana.dalam tahap ini kita diarahkan untuk menandai hal-hal yang penting dan mencatatnya.
Tahap kedua adalah tahap interpretasi. Dalam tahap ini kita diajak untuk menginterpretasi berkenaan dengan wacana yang sudah dibaca dan telah dicatat pada tahap pertama. Pada tahap ini pula berbagai asumsi-asumsi dan hipotesis –memanggil kembali skema internal dan membuat “konstruk baru” berlangsung. Interpretasi ini bisa berupa lisan maupun tulisan.
Pada tahap terakhir, tahap rekreasi, kita seakan diberi kesempatan untuk meresepsi dan merespon nilai-nilai (makna) yang dapat menimbulkan citra estetis pada diri siswa. Pada tahap ketiga ini, kita berusaha mendapatkan hiburan mental-spiritual (rekreasi). Hiburan mental-spiritual ini berupa hasil pencerapan makna atas wacana sastra, bermacam-macam nilai yang terungkap dari penjelajahan, interpretasi, dan pemaknaan oleh siswa serta bermacam-macam pengalaman batiniah dan pengamalannya di dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan.
Selanjutnya, saya akan mengimplementasikan (menganalisi) tahapan di atas –beberapa mungkin tidak bisa terakomodir di sini dikarenakan harus lewat praktek sehingga saya sengaja merujuk pada sebuah artikel lain yang tidak mengurangi esensi model CDA ini- pada sebuah bentuk karya sastra, yakni puisi. Di bawah ini adalah puisi Robert Herrick (1591- 1674) berjudul “Another” yang muncul di abad 17.
Here a pretty baby lies
Sung asleep with lullabies
Pray be silent earth and not stir
Th’ easy earth that covers her
Dalam tataran deskiptif yang di dalamnya mencakup kosa kata, struktur teks (Lukmana: 2003) tampak bahwa kosa kata yang digunakan Herrick adalh kosa kata keseharian, beberapa mungkin tidak seperti kata “Th’” yang berarti “The”. Dalam baris pertama sampai ketiga pendeskripsian suasana dibangun dalam bait ini. Ia menggunakan objek bayi yang sedang tidur nyenyak sekali hingga bumi pun hening. Namun, kenyataannya bahwa Herrick pun menggunakan metafora dalam baris keempat dimana “Th’ easy earth that covers her” diartikan sebagai “bumi yang menyelimutinya”. Secara licentia poetica itu sah-sah saja, namun secara logis tidak mungkin bumi bisa menyelimuti sang bayi, yang pasti mungkin ialah diselimuti oleh selimut. Yang diungkapkan Herrick justru berbanding terbalik dengan pencitraan yang dibangun pada baris kesatu sampai ketiga.
Baris pertama mendeskripsikan bayi yang sedang tidur dan itu digoyahkan oleh baris keempat. Analisis saya bahwa ternyata si bayi sudah dikubur, “meninggal”. Ada efek yang dibangun oleh puisi ini dimana ia memunculkan emosi si pembaca, sebuah ketiba-tibaan yang pedih bahkan mengagetkan pembaca ketika tahu bahwa ini bukanlah puisi pelelap tidur tapi lebih pada puisi tragedi. Sampai saat ini sebetulnya saya sudah begitu lugas memaparkan tahapan-tahapan deskripsi, interpretasi, dan eksplenasi.
Bila kita kaitkan ke dalam konteks, situasi sekarang ini, fenomena yang terjadi bahwa banyak ternyata bayi yang meninggal –entah secara alami maupun disengaja seperti abosri dan sebagainya. Di lain pihak interpretasi saya, jika dikaitkan ke dalam konteks sosial, lebih pada terlalu banyak generasi-generasi muda sekarang mati muda –dengan mengambil kata bayi secara simbolisme. Ingat kejadian Trisakti yang memakan korban mahasiswa yang masih cukup muda untuk membangun bangsa! Bukankah kejadian itu sangat tragis. Dan sampai kapan pun peristiwa ini takkan bisa terlupa-maafkan bagi siapa pun.
Akhirnya tibalah saya di penghujung waktu untuk menyimpulkan bahwa CDA sebagai model analisis wacana sangat tepat diimplementasikan pada wilayah sastra (lihat faedah terakhir di atas). Dengan melakukan kegiatan di atas seyogianya dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya bayang, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Pendeknya, dalam penerapan model CDA, kita “diperhadapkan” juga-langsung dengan aneka karya sastra dan konteks sosial yang tengah ada.
Model ini pun tidak semata mata hanya berupa pada pemberian teori-teori semata, lebih dari itu, dalam model ini memungkinkan dikembangkan situasi dan kondisi analisi wacana yang kontekstual, aktual, dan sesuai dengan latar sosial-budaya yang diinginkan. Artinya, model ini pada hakikatnya merupakan salah satu strategi yang cukup bagus dalam proses belajar-mengajar.[]
DAFTAR PUSTAKA
--- Analisi wacana. Diambil dari http://(?)blogspot.com/catmeong posted by MnX at
11/01/2005
---- Poetry Analysis. Diambil dari http://www. wikipedia.org
Aminuddin. 2000. “Pembelajaran Sastra sebagai Proses Pemberwacanaan dan
Pemahaman Perubahan Ideologi”. Dalam Sudiro Satoto dan
Zainuddin Fananie (Eds.). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan (hlm. 45—55). Surakarta: University Muhamadiyah Press–HISKI Komisariat
Surakarta.
Dharmojo, 2003. Critical Discourse Analysis (CDA) sebagai Model Pembelajaran
Sastra. http://ww.cybersasta.net/
Jabrohim (Ed.) 1994. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kerja sama Pustaka Pelajar
dan FPBS IKIP Muhammadiyah.
Kleden, Ignas (2000) Politik Indonesia dan Analisis Wacana diambil dari
Lukmana, Iwa (2003) Critical Discourse Analysis (CDA): Rekontruksi Kritis
Terhadap Makna. Jurnal Bahasa dan Sastra, Volume 3. No. 5 Oktober
2003
Sayuti, S.A. 2000. Menuju Pendidikan dan Pembelajaran Sastra yang
Memerdekakan: Catatan Pengantar. Dalam Sudiro Satoto dan Zainuddin Fananie (Eds.). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan (hlm. 57—65). Surakarta: University Muhamadiyah Press – HISKI Komisariat Surakarta.
Wow, amazing blog layout! How long have you been blogging for?
ReplyDeleteyou make blogging look easy. The overall look of your site
is wonderful, let alone the content!
bookmarked!!, I really like your website!
ReplyDeleteТhese aгe ɑctually impressive ideas іn rеgarding blogging.
ReplyDeleteҮou haᴠe touched some fastidious tһings here.
Any way keep up wrinting.
I visited many blogs but the audio feature for audio songs current at this web page is genuinely wonderful.
ReplyDeleteI think the admin of this site is in fact working hard
ReplyDeletein support of his web site, since here every stuff is quality based information.
After looking at a few of the articles on your web page, I honestly like your technique of writing a blog.
ReplyDeleteI saved as a favorite it to my bookmark website list and will be checking back soon. Please check
out my web site too and let me know what you think.
An intriguing discussion is definitely worth comment.
ReplyDeleteThere's no doubt that that you need to write more on this
topic, it might not be a taboo matter but typically folks
don't discuss these issues. To the next! Many thanks!!
Very good site you have here but I was curious about
ReplyDeleteif you knew of any forums that cover the same
topics talked about here? I'd really love to be a part of online community where
I can get feed-back from other knowledgeable individuals that
share the same interest. If you have any suggestions, please let me know.
Thanks a lot!
Attractive part of content. I simply stumbled upon your web
ReplyDeletesite and in accession capital to say that I get in fact loved account
your blog posts. Any way I'll be subscribing to your augment and
even I success you get entry to constantly rapidly.
Ahaa, itss pleasant conversation concerning this
ReplyDeleteparagraph at this place at this website, I have read all that,
so at this time me also cojmenting at this place.