Wednesday, March 27, 2013

Akhirnya, Hari Sastra Indonesia

Indonesia akhirnya memiliki Hari Sastra Indonesia yang ditetapkan setiap tanggal 3 Juli. Penentuan Hari Sastra Indonesia ini mengacu pada hari lahir sastrawan terkemuka Abdoel Moeis pada 3 Juli 1883 di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Untuk itulah, Maklumat Hari Sastra Indonesia ini akan dilaksanakan pada Minggu (24/3/2013) di SMAN 2 Bukittinggi, yang dahulu disebut Sekolah Radja atau Kweekschool, tempat bersemainya sastra modern Indonesia dan lahirnya sastrawan Poedjangga Baroe.

Taufik Ismail yang merupakan salah seorang penggagas, seperti disampaikan Panitia Kecil Persiapan Maklumat Hari Sastra Indonesia di Jakarta, Senin (18/3/2013), mengemukakan bahwa untuk selanjutnya Hari Sastra Indonesia akan diperingati setiap 3 Juli.

"Indonesia memiliki tradisi sastra yang luhur. Namun, kita belum mempunyai suatu hari yang disebut Hari 
Sastra Indonesia untuk mengenang karya para sastrawan terkemuka yang dimiliki bangsa ini. Generasi muda kita perlu sekali mengetahui dan membaca karya para sastrawan kita tersebut dan karya sastrawan masa sekarang dan masa akan datang," kata Taufik Ismail.

Abdoel Moeis yang lahir di Bukittinggi melahirkan karya fenomenal, antara lain Salah Asuhan. Karya-karyanya yang lain adalah Pangeran Kornel dan Surapati. Abdoel Moeis yang aktif dalam pergerakan nasional di zaman perjuangan kemerdekaan adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional Pertama, yang diberikan oleh Presiden Soekarno pada 30 Agustus 1959.

Selain Abdoel Moeis, Indonesia memiliki sastrawan terkemuka. Mereka adalah Hamzah Fansuri, Ronggowarsito, Marah Rusli, Rustam Effendi, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisjahbana, HB Jassin, Umar Kayam, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Rosihan Anwar, Hamka, Amir Hamzah, AA Navis, Ali Hasjmy, Asrul Sani, Rendra, Wisran Hadi, Hamid Jabbar, dan masih banyak lagi.
 


Saturday, March 16, 2013

Dari Chaos Theory Sampai ke Free Will dan Determinis


Ketika sesuatu mendapatkan eksistensinya, maka seketika itu ia mendapatkan kefanaannya.” 

Seandainya ada di muka bumi ini yang hidup secara mandiri (tunggal). Akan tetapi kita tahu bahwa semua yang ada di dunia selalu berpasang-pasangan. Selalu ada oposisi biner itu. Ada sakit ada sehat, ada tua ada muda, ada miskin ada kaya, ada ghaib ada dzahir. Maka, ada free will dan ada determinism.  Setiap sesuatu eksis maka serta merta dia akan memiliki nasib yang bertentangan dengan eksistensinya itu.
Islam mengakui free will untuk apa pun yang ada di dunia. Akan tetapi Islam juga menyakini determinis. Kenyataannya, manusia sudah memiliki jalan hidupnya sendiri. Tentang kapan dia lahir sampai dia mati, seperti apa jalan hidupnya, semuanya itu sudah ditentukan dalam lauhl mahfuz yang nyata. Akan tetapi, manusia juga diberikan kekuasaan yang besar untuk menentukan nasibnya sebagaimana pernyataan kitab suci Al-Qur’an bahwa sesungguhnya Tuhan tidak mengubah nasib manusia jika dia tidak mengubahnya.
Kenyataan ini pada akhirnya memunculkan persfektif jika Islam itu liberal atau moderat (?) Islam berperilaku free will dan determinis kepada manusia. Pertanyaannya adalah: Bilamanakah manusia bisa berdiri di satu posisi saja: free will atau  determinis? Andai saja kita bisa menawar. Sayangnya, hal ini akan kembali pada kenyataan seperti yang diungkapkan di kalimat pertama tulisan ini. Bahwa, ketika sesuatu mendapatkan eksistensinya, maka seketika itu ia mendapatkan kenyataan yang bertolak belakang dengannya. Dengan kata lain, kita tidak bisa berdiri di satu posisi. Karena sungguh pun hal itu tidak mungkin. Setiap kanan selalu memiliki kiri, setiap hitam selalu memiliki putih. Maka setiap “ada” pasti selalu memiliki “fana”.
Sekiranya kita tidak ingin memiliki pertentangan akan sebuah eksistensi, maka jangan eksis. Jangan ada, jangan mencipta, jangan berkarya, jangan “hidup” sehingga pada akhirnya sesuatu itu “mati”. Ketika sesatu lahir –seperti sebuah puisi atau cerpen yang ditulis oleh seorang pengarang—maka sesuatu itu akan mati. [FA]
          
*) Sebuah catatan setelah menonton film Butterflly Effect.
Aku tidak membutuhkan sesuatu yang menyatakan eksistensiku.” (Evan)