Oleh: Firman Nugraha
Permasalahan lingkungan hidup sepertinya tak pelak lagi menjadi isu yang merambah banyak bidang di setiap lini kehidupan. Ia tak hanya terpapar di kolom-kolom bertema lingkungan saja, melainkan terpapar pula di kolom lain seperti arsitek, teknologi, fesyen, dan lain sebagainya. Tak berlebihan kiranya perkataan Mary Evelyn Tucker dan John A. Grim dalam bukunya “Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and the Environmental” bahwa saat ini, kita tengah berada di zaman ekozoik!
Begitu pun di bidang seni, ia menjadi sebuah konsumsi yang memungkinkan untuk “dieksploitasi dan “dieksplorasi.” Seni dapat saling berkelindan, bersinggungan, dan berkolaborasi dengan lingkungan. Karena sebagaimana yang Iman Soleh ungkapkan, bahwa seni adalah ruang terbuka yang dapat didekati oleh wilayah apapun. Dan teater, sebagai salah satu bentuk dari kesenian, merupakan cara yang representatif untuk mengetengahkan permasalahan baik sosial, kultural, maupun environmental ke dalam kemasan yang estetis.
Permasalahan lingkungan hidup sepertinya tak pelak lagi menjadi isu yang merambah banyak bidang di setiap lini kehidupan. Ia tak hanya terpapar di kolom-kolom bertema lingkungan saja, melainkan terpapar pula di kolom lain seperti arsitek, teknologi, fesyen, dan lain sebagainya. Tak berlebihan kiranya perkataan Mary Evelyn Tucker dan John A. Grim dalam bukunya “Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and the Environmental” bahwa saat ini, kita tengah berada di zaman ekozoik!
Begitu pun di bidang seni, ia menjadi sebuah konsumsi yang memungkinkan untuk “dieksploitasi dan “dieksplorasi.” Seni dapat saling berkelindan, bersinggungan, dan berkolaborasi dengan lingkungan. Karena sebagaimana yang Iman Soleh ungkapkan, bahwa seni adalah ruang terbuka yang dapat didekati oleh wilayah apapun. Dan teater, sebagai salah satu bentuk dari kesenian, merupakan cara yang representatif untuk mengetengahkan permasalahan baik sosial, kultural, maupun environmental ke dalam kemasan yang estetis.
Tulisan yang berangkat dari pengalaman penulis mengikuti Workshop Theater for Development and Education (selanjutnya disingkat TDE) yang diselenggarakan oleh Theater Embassy dan yayasan KELOLA bekerja sama dengan Celah-Celah Langit (CCL) pada hari Jumat-Minggu (9-11/04) lalu ini, hendak mengangkat salah satu dari banyak permasalahan lingkungan, khususnya lingkungan hidup.
Ihwal TDE
Ihwal TDE
Dari perspektif pengetahuan, teori pada dasarnya selalu muncul lebih akhir ketimbang praktiknya. Demikian pula halnya dengan TDE, atau Theater for Development (TfD) pada awal kemunculannya, sungguh merupakan disiplin baru di wilayah teater. Dikenal lebih dulu sebagai “popular theater” atau “activist theater”, benih TDE muncul di tahun 1960-an sebagai sebuah “senjata” untuk menentang opresi politik dan sosial (Wits, 2010). Di sini, seni tak lagi sebagai seni, akan tetapi sebagai alat perjuangan yang hendak memotret permasalahan di suatu wilayah dan mengetengahkannya ke dalam bentuk visual, yakni teater. Sifatnya sendiri tak hanya mengkritik apapun kebijakan yang bisa jadi bertentangan dengan nilai-nilai primordial manusia. Namun, menyadarkan pula orang-orang terhadap isu yang menjadi permasalahan bersama di lingkungannya dan menuntut solusi di dalamnya.
Selain itu, tak hanya yang berbau politik, sosial, dan ekonomi saja yang menjadi sasaran TDE ini. Permasalahan lingkungan hidup pun disinyalir menjadi bagian dari kejayaan perkembangan TDE, tepatnya pada tahun 1970-an, selain juga dipicu oleh krisis ekologi yang dirasakan di berbagai belahan dunia. Hal ini tampak dari penelitan yang dilakukan oleh Kees Epskamp, seorang praktisi TfD, di Afrika Utara, India, dan Amerika Latin. Lewat proyeknya, Kees mengajak masyarakat setempat terlibat dalam teater semata untuk tujuan pengembangan lingkungan setempat. Dari penelitian dan keterlibatanya itu, lahirlah sebuah buku berjudul Theater for Development (2006). Sayangnya, Kees harus cepat-cepat menghadap ke haribaan tak lama setelah bukunya diterbitkan. Namun dari ketiga tempat ini pulalah TfD, sebagai sebuah strategi pengembangan yang efektif, dapat menyebar ke bebagai belahan dunia.
Apa sebenarnya yang menarik dari TDE ini? Barangkali tidak seperti proses teater tradisional atau kontemporer pada umumnya, TDE benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan biaya. Betapa tidak? Pertunjukan TDE harus beranjak dari permasalahan di suatu lingkungan. Dengan kata lain, konten pertunjukan mestilah relevan dengan kondisi lingkungan hidup dan sosial di dalam suatu masyarakat. Dengan begitu, isu-isu yang nanti bakal ditampilkan pun lebih mengarah kepada masalah-masalah yang berhubungan erat dengannya.
Terlebih, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses TDE, masyarakat turut andil dalam pengerjaannya. Masyarakat tidak lagi menjadi subjek yang pasif, atau melulu jadi penonton. Dalam TDE, mereka pun menjadi unsur yang sangat penting karena merupakan sumber pengetahuan terkait masalah yang ada di sekitar lingkungannya. Mereka juga individu yang nantinya akan turut serta dalam proses teater, baik sebagai aktor maupun partisipan di belakang layar.
Di sisi lain, muncul juga dalam TDE ini aktivitas penukaran ide atau gagasan antara aktor, fasilitator, dan penonton, juga peserta. Orang-orang teater dan masyarakat setempat menjadi satu kesatuan yang mengusung sebuah pemikiran akan tujuan yang hendak disampaikan dalam pertunjukkan. Karenanya, menjadi suatu keniscayaan dalam TDE untuk melibatkan masyarakat. Teknik teater untuk pengembangan semacam ini dapat dengan apik kita lihat dalam Theater of the Opressed karya Augusto Boal.
Sebuah pertunjukkan teater benar-benar melibatkan masyarakat demi pengembangan sosial inilah yang pada akhirnya menjadi definisi dari TDE itu sendiri. Berbagai istilah lainnya seperti teater terapan (applied theater), participatory theater, atau teater pengembangan, turut pula mengangkat martabat TDE.
Selain ciri-ciri TDE sebagaimana yang disebutkan di atas, di dalamnya juga tersirat beberapa output yang dihasilkan dari TDE. Output tersebut adalah munculnya keterampilan dan kapasitas baru. Masyarakat, dalam hal ini penduduk setempat, mendapatkan ilmu tentang pertunjukkan dan ilmu lainnya. Mereka juga diharapkan mampu mentransformasikan diri sebagai objek menjadi subjek atas pengembangan dirinya sendiri. Pun “masyarakat” teater bisa jadi mendapatkan keterampilan baru dari penduduk setempat, terkait dengan gaya hidup, adat tradisi, atau kebiasan penduduk tertentu.
Secara tidak langsung, tercipta pula jejaring baru dari setiap stakeholder dalam TDE. Inilah kekuatan yang pada akhirnya muncul, dan seakan menisbatkan bahwa seni itu ada untuk, oleh, dan dari masyarakat. Bukankah masyarakat itu adalah apresiator yang handal?
Kemudian, TDE juga mengisyaratkan adanya edukasi di antara orang-orang yang tengah berkecimpung di dalamnya. Semua stakeholder, tanpa kecuali, belajar sebelum, selama, dan sesudah proses, juga di saat pertunjukkan. Ada semacam simbiosis mutualisme dalam TDE ini, dimana terciptanya hubungan keterlibatan dalam kelompok TDE yang berkooperasi demi mencapai tujuan yang sama. Di sinilah edukasi menampakkan wujudnya sehingga semua orang secara bersama-sama belajar dari dan di dalam lingkungan yang tengah digumulinya. Maka, muncullah sebuah kebanggaan kolektif yang dirasakan sebelum hingga proses TDE itu sendiri berakhir.
Belajar dari Alam
Seperti yang penulis sendiri rasakan ketika mengikut workshop tersebut, teori dan praktik menjadi dua entitas yang vital dalam TDE. Pengetahuan tentang bagaimana mencari kemungkinan-kemungkinan mengangkat isu-isu yang tengah berkembang di suatu wilayah, pendekatan terhadap masyarakat, stakeholder analysis, perumusan pendefinisian masalah, pendefisinian tujuan proses TDE, hingga pencarian dana pertunjukan (funding), menjadi aktivitas sistematik yang mau tidak mau mesti dilakukan.
Tentunya, hal ini bukanlah sesuatu yang mudah dalam prosesnya. Keterdukungan berbagai elemen dan pihak-pihak terkait adalah gerbang kesuksesan TDE. Sungguh sulit dibayangkan untuk bisa mengajak masyarakat yang tengah berada dalam kondisi yang sulit, sementara TDE yang memiliki niat baik untuk merepresentasikan permasalahan lingkungan tersebut ke atas panggung, harus masuk dan mengajak mereka berproses kreatif berdasarkan pada permasalahan masyarakat itu sendiri.
Namun sejauh ini TDE memang bisa membuktikannya. Pertunjukkan yang dipersiapkan oleh Theater Embassy bekerjasama dengan Teater Qi di tempat lokalisasi, ataupun di Aceh pasca Tsunami (post disaster theater), menjadi bukti bahwa TDE bisa dilakukan. Hal ini barang tentu tak lepas dari hambatan-hambatan yang mereka hadapi ketika berada di tengah masyarakat.
Ibarat sebuah laboratorium kecil, pada hari pertama workshop peserta dibekali dengan pengetahuan yang dilakukan secara brainstorming di antara para peserta sendiri; tentang bagaimana mencari tema pertunjukan baik dengan cara terjun langsung ke masyarakat atau lewat eksplorasi dari berbagai media (koran, internet, dll). Pemaparan perihal TDE dari Egbert Wits sebagai fasilitator dari Theater Embassy dan Elis Yusniawati dari Yayasan KELOLA, menambah pula pemahaman peserta dalam membuat peta konsep pertunjukkan lewat metode ini.
Sekalipun peserta harus mengernyitkan dahi karena mendapatkan hal-hal yang berbau teoritis, permainan kreatif di sela-sela rehat membuat wokshop menjadi rileks. Hal ini secara tidak disadari bakal pula diaplikasikan jika TDE telah benar-benar terjun ke masyarakat –sebuah pendekatan non-formal untuk “memenangkan” yang formal. Tersurat bahwa workshop sendiri sebenarnnya merupakan satu dari kegiatan yang mendukung TDE di lapangan.
Ada saat dimana peserta dibuat menjadi kelompok-kelompok kecil. Mereka diberikan sebuah kasus, oleh fasilitator, yang harus dipecahkan masalahnya. Workshop pun menjadi lebih hidup karena semua peserta aktif dan berperan serta di setiap sesinya. Pemahaman terhadap TDE menjadi lebih terang ketika Iman Soleh mengaitkannya dengan teater dari sudut pementasan. Hal-hal estetis lantas berjalinan dengan hal-hal teknis dan teoritis, namun tidak sampai kehilangan esensinya.
Di hari kedua peserta diajak oleh kawan-kawan dari CCL melihat mata air buatan Balanda-Tjibadak di Ledeng. Di moment inilah peserta dan fasilitator terjun langsung ke lapangan. Bersama masyarkat mereka membaur, dan bersama alam mereka belajar. Sehingga, tak hanya mata air saja yang diamati, melainkan juga kondisi alam di sekitarnya. Pengalaman inilah yang nantinya menjadi inspirasi bagi tiap-tiap peserta yang harus dituangkan dalam bentuk pertunjukkan. Kegiatan ini selanjutnya bakal dipersiapkan di sore hari dan dipentaskan di esok harinya.
Tak hanya itu, kedatangan Djakob Sumardjo yang membahas tentang wawasan budaya, juga T. Bachtiar yang menelisik soal wawasan lingkungan, menambah pula literatur peserta dan fasilitator. Jelas sekali bahwa TDE “memancing” pengetahuan di bidang yang lain, karena berbicara soal lingkungan hidup memang cukup kompleks. Namun, justru di situlah menariknya; bahwa kita belajar banyak hal sebagai bekal yang kelak akan dipergunakan sesuai dengan minat dan kapasitanya masing-masing.
Pada hari terakhir tiap-tiap kelompok pun menampilkan pertunjukannya lewat eksplorasi gagasan yang sebelumnya telah dipersiapkan. Di sini terlihat bahwa setiap kelompok memiliki persepsi juga kreativitas yang berbeda-beda dalam merepresentasi-kan permasalahan lingkungan hidup ke dalam bentuk yang estetis. Permasalahan pun menjadi sangat cantik, menyenangkan, menghibur, bahkan kontemplatif dalam balutan seni (tari, gerak, musik, dan sastra).
Barangkali telah banyak komunitas-komunitas yang sebenarnya telah menggunakan metode TDE, sebut saja CCL, Jatiwangi Art Factory, UBUNTU, Teater Qi, dan komunitas lainnya. Hanya saja, mereka baru “ngeh” bahwa yang mereka lakukan sebenarnya adalah TDE. Kendati demikian, tak ada kata terlambat untuk memulai. Dengan TDE, kita belajar, tentang lingkungan, budaya, dan lainnya; menjadi pribadi yang peka untuk tujuan-tujuan yang mulia. Senada dengan apa yang Egbert Wits paparkan, bahwa sebuah proses kerja kreatif bersama masyarakat bagaimanapun dapat menciptakan perubahan yang positif.[]
No comments:
Post a Comment