Thursday, August 11, 2011

Lanskap Sastra Kita

Oleh: Firman Nugraha

Barangkali, untuk saat ini, bisa dibilang Silaturahmi Nasional Forum Lingkar Pena (Silnas FLP) 2008 di Jakarta (11-13/07); Temu Sastra III Mitra Praja Utama 2008 di Bandung (4-6/11); dan Kemah Sastra dan Lingkungan 2009 di Medan (5-7/06) saja, kegiatan yang menjadikan lingkungan sebagai tema utamanya. Selain itu, belum ada –untuk tidak mengatakan tak ada sama sekali—kegiatan serupa lainnya. Keterselenggaraan kegiatan tersebut ditengarai oleh wacana ihwal krisis lingkungan yang bukan lagi menjadi isu (nasional), tetapi juga fakta (global). Sebagaimana yang kita tahu, bahwa hal ini muncul sebagai akibat dari fenomena global warming yang tengah dihadapi segenap umat manusia di dunia.

Pertanyaannya adalah –yang sebenarnya bukan merupakan inti dari tulisan ini, namun tetap cukup layak untuk diajukan: Apakah hanya (kegiatan) itu saja? Yang dalam jalinan sastra, lingkungan menjadi entitas yang substansial untuk “dirayakan”? Manakah kegiatan-kegiatan serupa yang sebelumnya sempat dijanjikan oleh penyelenggara dari salah satu kegiatan tersebut di atas? Apakah kegiatan itu hanya sekadar formalitas? Sekadar mengisi kekosongan dunia sastra kita (Indonesia)? Jika untuk jawaban dari pertanyaan pertama adalah “tidak“, maka penulis berasumsi bahwa akan ada kegiatan serupa di masa mendatang. Tetapi jika jawabannya adalah “ya”; barangkali sastra kita tak lebih dari sekadar sastra musiman yang tergelak hanya untuk euphoria sesaat.

Terlepas dari tujuan kegiatan-kegiatan tersebut, momentum memang menjadi saat yang tepat dan penting untuk dilakukan. Semisal, peringatan Hari Air yang jatuh setiap tanggal 22 Maret, Hari Bumi setiap tanggal 22 April, dan Hari Lingkungan Hidup setiap tanggal 5 Juni. Kita membutuhkan moment itu tak hanya sebatas untuk diperingati dan dirayakan saja. Akan tetapi, kita membutuhkannya agar kita dapat berhenti sejenak: merenungkan, memikirkan apa yang telah dan akan dilakukan selanjutnya, lantas menyusun rencana semata untuk hidup yang lebih baik di masa depan. Adalah baik yang demikian itu dilakukan, namun apakah hanya cukup pada momentum saja?

Dalam hubungannya dengan sastra, sebagaimana niat awal tulisan ini, lingkungan menjadi satu dari banyak permasalahan yang mengemuka di kalangan sastrawan. Lingkungan seakan menjadi bintang. Bintang yang terang namun perlahan seakan redup saja. Entah apakah memang ada semacam “ketidak-mampuan” stakeholder-nya dalam mempraktikannya atau memang pada hakikatnya alam Indonesia bukanlah alam yang terlalu dipermasalahkan keberadaanya, kita tidak tahu pasti. Namun penjelasan di bawah ini mungkin bisa menjawab kepenasaran itu.  

Lingkungan hidup, dalam hal ini ekologi sebagai studi yang menghubungkan antara organisme dan lingkungannya, memang melintasi banyak sektor. Pun, ia memengaruhi bidang-bidang dalam sektor tersebut. Telah kita saksikan bagaimana dunia fesyen menerapkan prinsip ramah lingkungan (ecofashion). Di pihak lain, industri-industri daur ulang mulai dari kertas, plastik, bahkan kaleng dan kaca, banyak pula bermunculannya. Menjadi pribadi ekologis pun telah berada pada skala prioritas akan tuntutan dan gaya hidup. Tentunya banyak lagi contoh lainnya. Lingkungan hidup seyogianya memengaruhi setiap bidang kehidupan dan yang dapat kita pengaruhi. Bagaimanapun, di atas semua itu, satu hal yang menjadi tujuan pokok dari fenomena ini adalah konservasi (penyelamatan dan perlindungan) lingkungan hidup. 

Sastra, tak terkecuali, turut pula berperan serta dalam konservasi lingkungan hidup. Beberapa pertanyaan mendasarnya adalah: Bagaimana hubungan sastra dengan lingkungan? Apa peran lingkungan hidup dalam sastra? Sejauh mana lingkungan menjadi isu pokok yang diangkat dalam sastra?

Mengaitkan lingkungan hidup dan (studi) sastra sungguh merupakan kerja yang cukup sulit. Kita mau tak mau harus memasuki beberapa bidang sekaligus; sastra di satu sisi dan ekologi di sisi yang lain –studi multidisipliner yang bernaung pada wilayah keilmuan (natural & moral science). Hal ini tak jauh beda dengan studi antropologi sastra, sosiologi sastra, psikologi sastra , dan studi-studi yang sempat ada sebelumnya. Perbedaan yang signifikan adalah, kajian dalam studi sastra ini memusatkan lingkungan hidup atau alam sebagai pijakannya (earth-centered).

Sebenanya sastra telah sejak awal bersinggungan dengan lingkungan hidup atau alam. Puisi yang disinyalir sebagai bentuk karya sastra yang kali pertama muncul –literature (sastra) adalah puisi (Culler, 1997)—menjadikan diksi alam sebagai media pengucapan sekaligus penyampaiannya. Bukankah diksi bulan, matahari, laut, pasir pantai, pohonan, selalu saja digunakan dalam puisi-puisi kita, dari dulu bahkan sampai sekarang? 

(Studi) sastra pun pada akhirnya memang melirik fenomena yang satu ini. Teori ekokritik (ecocriticism) terlontar dari ketergesaan harapan seorang Cheryll Glotfelty (1996) lewat kumpulan tulisannya "The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology". Dia “memaksakan” istilah ini untuk dijadikan sebuah studi sastra mengenai hubungan sastra dengan lingkungan hidup. Metode yang digunakan adalah mengaplikasikan konsep ekologi ke dalam sastra. (Untuk lebih jelas, lihat tulisan saya sebelumnya berjudul “Sastra Hijau” (7/3/2009) di HU Pikiran Rakyat).

Menelusuri –meminjam judul Maman Mahayana dalam eseinya—jejak alam dalam sastra, memang bukan sesuatu yang mudah. Penelitian yang cermat dibutuhkan untuk mendapatkan pemetaan yang komprehensif. Namun, dengan bantuan Maman pula, kita bisa menyebutkan beberapa karya sastra (lama) yang dikaitkan dengan permasalahan lingkungan, kendati hanya berkisar pada prosa (roman).

Sebut saja Muda Teruna karya Muhammad Kasim, Dian yang Tak Kunjung Padam karya STA, Kapal Van Der Wijck karya Hamka, Keluarga Gerilya karya Pramoedya ananta Toer, dan Harimau-harimau karya Mochtar Lubis. Sayangnya, alam dalam karya yang disebutkan ini tak lebih dari sekadar latar cerita. Alam tidak menjadi tema sentral karya sastra. Maman pun dengan cepat menyimpulkan bahwa alam dalam karya sastra Indonesia hanya sebatas ekspresi kekaguman, keterpesonaan, dan hasrat. Alam Indonesia, tambahnya, adalah alam yang aman dan memberikan kenyamanan pada masyarakatnya. Oleh karena itu, alam tidak dipandang sebagai persoalan yang perlu diangkat sebagai tema cerita.

Satu lagi karya sastra yang menurut Maman mempresentasikan alam sebagai pusat permasalahan adalah Kemarau karya A.A. Navis. Pengarang yang satu ini memperlihatkan pentingnya alam bagi kehidupan manusia. Tokoh Sutan Duano, dalam roman itu, mencari cara bagaiman menyiasati alam akibat kemarau berkepanjangan. Barangkali, inilah romen pertama yang menjadikan alam sebagai pusat permasalahan (baca: tema cerita). Ada konsep distopia atau semacam pengidealisasian alam bagi kehidupan manusia. Hal ini tidaklah aneh mengingat A.A. Navis (1984) sendiri sempat menyatakan bahwa hakikat alam adalah guru bagi makhluknya. Dengan kata lain, alam terkembang jadi guru. Hal ini sebagaimana yang kita tahu merupakan filsafat hidup orang Minangkabau.

Terlalu cepat kiranya bagi Maman menyimpulkan bahwa alam bukanlah persoalan yang pokok. Tahun 2009 sembilan mencatat beberapa nama seperti Lan Fang (Pok Ami-Ami), Damhuri Muhammad (Pawang Hujan), dan Wahyudi (Segelas Air) memperkarakan lingkungan sebagai tema cerita yang kesemuanya dimuat di Pikiran Rakyat. Juga Yus R. Ismail, (Menanam Pohon) di tahun yang lain. Ada juga Pohon dan Istrinya karya Eka Budianta (Kompas, 2002) yang dengan sangat detil menggambarkan pohon sengon atau jeunjing mulai dari nilai ekologis hingga nilai ekonomisnya.

Di akhir tahun 2009 pun ada satu novel yang berjudul Pohon-Pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman yang mengisahkan sepasang kekasih yang menjadikan pohon sebagai simbol percintaan mereka. Tak hanya itu, penulis pun menawarkan solusi untuk permasalahan terkait lingkungan hidup (hutan) yang mengambil latar tempat Sulawesi selatan. Tak ada gading yang tak retak, begitulah novel ini. Kepentingan tujuan menjadi tak berimbang dengan estetika novel itu. Selain terkesan menggurui –dilihat dari bagaimana penulis memaksakan diri untuk menyampaikan amanatnya, bahasa yang digunakan pun terkesan sangat “vulgar”. Kendati demikian, terlepas permasalahan teknis penulisan dan penyampaian cerita, novel Dul ini patut untuk diapresiasi. 

Di dunia puisi sendiri, kita bisa membilang D. Zawawi Imron yang memiliki konsep back to nature (kembali ke alam) sekalipun tema yang diusungnya bukanlah alam. Alam dalam puisi-puisinya hanya sebatas background images yang bergerak sebagai setting latar. Abdul Wachid (2006) menyebutnya alam surealis, dari mulai yang berbau metfisik sampai berbau kosmik, bahkan yang transenden-supralogis sekalipun. Soni Farid Maulana pun sempat membuat puisi mengenai bagaimana alam yang memberikan kesejukan, rasa nyaman, dan keindahan harus digilas oleh modernitas. Kiranya masih banyak karya-karya sastra yang berorientasi pada lingkungan yang tak terlacak atau belum bisa dilacak dan dipaparkan dalam tulisan ini.  Bagaimanapun, sekai lagi, usaha-usha nyata dan telaten sungguh sangat diperlukan

Studi yang menghubungkan sastra dan alam atau lingkungan hidup memang belum banyak dibahas dan diayomi benar-benar. Belum banyak kegiatan yang menjadikan lingkungan sebagai pokok persoalan yang digulirkan. Kalau pun ada, hanya sebagai bungkus. Memang baik melakukan hal-hal yang demikian, tetapi permasalahan lingkungan hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan seremonial belaka. Kesungguhan dan kerja nyata telak diperlukan. Sastra dan lingkungan ibarat bayi yang baru lahir. Ia sedang berusaha untuk tumbuh; semoga tak ada aral melintang untuk membuatnya dewasa. Sastra telah banyak berhutang pada lingkungan yang secara lingusitik mengonstruksi kehidupan sosial. Dengan kata lain, alam menjadi sesuatu yang bermakna ketika pengarang memberikan makna atasnya setelah ia mengadakan semacam “persinggungan” dengan keberadaan-nya.

Inilah yang membuat sastra berpotensi menyokong lingkungan ketika kerusakan tampak dan merajalela. Memang bukanlah sesuatu yang pantas dipaksakan untuk siapa pun untuk menciptakan karya sastra yang bertujuan untuk menyadarkan manusia, untuk menjadi pribadi yang peka dan ramah lingkungan. Hanya saja, kita barangkali tak lagi bisa ongkang-ongkang melihat pemandangan yang indah dan estetis ketika gedung-gedung real estate, supermarket, dan perumahan menggantikan pohon-pohon yang meneduhkan mata, menghantar-kan hawa sejuk dan menjejali semua daratan hingga perbukitan.

Kembali pada pokok permasalahan, apakah ada keseimbangan antara momentum dengan kerja nyata yang mestinya dilakukan? Pada kenyataannya, jikapun ada yang mengangkat isu lingkungan, hal itu hanya sebatas pada “peringatan” akan isu yang merebak. Dalam hal ini, karya hanya sebatas post disaster fiction, yakni fiksi yang lahir setelah bencana. Hal ini sempat pula diutarakan oleh Safrina Noorman dalam makalahnya di kegiatan Temu Sastra MPU III JAbar 2008.

Karena lingkungan Indonesia memang sudah sangat aman dan mengamankan manusianya, sehingga untuk apa lagi diamankan (?) Begitulah kesimpulan yang penulis lihat sejauh pengamatan atas karya-karya yang muncul lebih awal hingga saat ini. Tetapi, jika saja kita mau sedikit lebih terbuka dan menerima; lingkungan dalam sastra seyogianya tidak hanya menganalisis nature dalam sastra, tetapi mengisyaratkan pandangan biosentris dunia, perluasan etika, dan perluasan konsepsi manusia sebagai komunitas global yang menyertakan pula di dalamnya bentuk kehidupan non-manusia dan lingkungan fisik. Dengan demikian, konservasi lingkungan hidup bukan lagi sebuah opsi, melainkah sebuah kewajiban setiap orang di setiap bidang kajiannya, tak terkecuali sastra. 

Tapi memang, di atas semuanya, harus penulis katakan, sebagaimana Chairil pun mengatakannya bahwa: kerja belum selesai, belum apa-apa.

Disampaikan di forum diskusi Reboan ASAS, 08.09.2010

No comments:

Post a Comment