“I see to a degree that I can't get at college" –BC Boys
Hingga saat ini pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal masih tetap menjadi dilema. Sastra yang dituding layaknya kerja paruh waktu (Oemarjati dalam Puar, 1989) belum mendapatkan ruang gerak yang leluasa. Indikasi tersebut kemudian semacam dikukuhkan dengan munculnya lontaran-lontaran kekecewaan dari berbagai pihak, sebut saja Rusyana (1992), Taufiq Ismail (1997), Sayuti (2000) Kuswinarto (2001), dan masih banyak lagi. Permasalahan ini disinyalir terkait dengan berbagai faktor seperti yang diungkapkan Rahmanto (2001), yaitu: kemampuan guru, kondisi siswa atau subjek didik, sarana dan prasarana serta komponen-komponen pendukung lainnya. Secara empiris, hal tersebut dikarenakan pembelajaran sastra masih berkisar pada proses menghafal ketimbang mengapresiasi padahal minat pembelajar terhadap sastra tinggi.
Melihat kondisi seperti itu sastrawan pun turun tangan. Berbagai cara dilakukan agar sastra dapat menjadi sebuah mata pelajaran yang tidak hanya mendukung pelajaran lain, tapi juga bisa mencapai hakikat penyelenggaraan pendidikan yang kembali pada khitah-nya, yaitu mengkondisikan manusia-didik mencapai kepribadiannya (Sayuti dalam Dharmojo, 2000). Penelitian-penelitian dan seminar-seminar diselenggarakan semata-mata menjadi usaha untuk membumikan sastra di antara khalayak, khususnya subjek didik, dalam dunia pendidikan tentunya. Dan hal ini masih tetap berlangsung hingga detik ini.
Terlepas dari itu semua, tulisan ini seyogianya dimaksudkan untuk menguak pengajaran sastra di tingkat PT; sebuah wacana yang lebih kurang 10 tahun terakhir ini sempat terlupakan. Perlu diketahui bahwa lingkup pembahasan menyoroti pengajaran sastra (Inggris) di Jurusan Pendidikan dan Bahasa Sastra Inggris di mana Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia menjadi basis penelitiannya. Hal ini ditujukan untuk mengetahui efektivitas pengajaran sastra dalam proses pembelajaran mata kuliah sastra.
Semacam Fenomena
Adalah Ahsin Muhammad (1997), seorang dosen bahasa Inggris, yang menyatakan bahwa selama ini pengajaran sastra, khususnya di Jurusan Bahasa Inggris FPBS IKIP (sekarang UPI) Bandung –entah di Universitas lain—memang berkesan kurang menggembirakan. Hal tersebut dilatarbelakangi dari tujuan pembelajaran yang masih terombang-ambing: Apakah untuk mendidik mahasiswanya agar menjadi kritikus-kritikus sastra ataukah untuk menyiapkan mereka sebagai guru-guru bahasa Inggris yang berkemampuan? Jika tujuan pertama yang hendak dicapai, maka kenyataan menampakan kemustahilan. Jika tujuan kedua, maka tidak ada salahnya meletakkan pengajaran sastra di dalam pengajaran bahasa yang lebih luas. Maksudnya bahwa pengajaran sastra bisa menjadi sebuah mata kuliah yang mengakomodasi keterampilan kompetensi bahasa yang empat, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Pada kenyataannya, kendati ada perubahan –khususnya dari segi muatan materi—kecenderungan pengajaran secara praktis masih menggunakan cara tradisional. Mahasiswa masih dituntut untuk menghafal karya dan pengarangnya, menalar teori-teori sastra, menganalisis unsur-unsur karya sastra dan hal-hal lain yang mendominasi ranah kognitif tinimbang afektif. Sementara pembelajaran sastra sebagai sebuah disiplin ilmu –terlebih di PT—mestinya mengedepankan keterampilan pembelajarnya. Dengan kata lain, menjadikan subjek didik sebagai fokus dari proses belajar-mengajar; memosisikan mereka sebagai insan mandiri yang “menguasai” kelas. Dengan demikian kegiatan belajar bukan lagi –meminjam isitilah Sudarsono—kegiatan membeo yang terkungkung dengan metode konvensional.
Membilang sebuah contoh, Introduction to Literature sebagai sebuah mata kuliah yang hanya 2 sks tak ubah layaknya pengajaran sastra (Indonesia) di SMA. Mahasiswa dituntut untuk menguasai konsep-konsep, teori-teori, dan istilah-istilah sastra seperti: “plot”, “karakteristik”, “setting”, dan seterusnya. Pembelajaran hanya berkesiur pada kegiatan: defining literature, describing literary genre, analyizing the work of art based on the elements of literary work, describing the instrinsic value, mentioning the meaning of poetry, dan hal-hal yang sebatas menguji kemampuan nalar pembelajar. Kesemuanya itu, mau-tak mau, harus mereka lakukan dengan bahasa Inggris. Keberhasilan dan kegagalan subjek didik dalam menempuh perkuliahan pun hanya diukur dari penguasaan mereka atas konsep-konsep, teori, dan istilah-istilah tersebut (Muhammad, 1997). Kiranya course objective (se)macam itu tak hanya ditemukan pada mata kuliah ini saja, contohnya Exploring Poetry, Exploring Prose, Drama, dan lain-lain.
Kemudian dari pada itu, bilapun dihadapkan pada tujuan yang kedua kemungkinannya kecil sekali. Bagaimana mahasiswa dapat memiliki kemampuan menguasai sastra sedang alokasi untuk mengapresiasi karya sastra sendiri masih sangat minim. Dari per dua sks yang disediakan di setiap mata kuliah sastra serta objectives yang tertuang dalam silabusnya, pembelajaran lebih banyak berkutat untuk menganalisis karya (sastra Inggris). Dan kegiatan pembelajarannya harus berdasarlandaskan pada konsep-konsep dan teori-teori yang terlebih dahulu mesti dikuasai pembelajar. Kendati subjek didik diberikan tugas untuk menuliskan hasil analisis karya sastranya, bahkan untuk membuat karya sastra, entah puisi, cerpen, resensi atau naskah drama sebagai tugas akhir mata kuliah, pun menjadi tak berarti apa-apa karena tak ada evaluasi dan umpan balik yang dibangun dalam interaksi sosial kelas. Jadinya percuma!
Tak ada salahnya memang mengetahui karya sastra dan pengarang-pengarang dari luar seperti, William Shakespeare, William Butler Yeats, Emily Dickinson, William Faulkner dan karya-karya mereka, hanya saja –sekali lagi— apa bedanya dengan pengajaran sastra yang sampaai saat ini masih tetap menjadi polemik di Indonesia jika begitu. Selain itu pengajar pun dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus merampungkan tujuan akhir pembelajaran dan memberikan penilaian atas pencapaian pembelajar sekaitan dengan mata kuliahnya itu. Tak ada kata excuse sebenarnya jika pengajar mampu mengetengahkan strategi pengajaran yang efektif yang bisa mengakomodasi kompetensi bahasa dalam sebuah wadah pengajaran sastra yang berkesinambungan, sehingga belajar sastra tak hanya sekedar mengejar nilai.
Perlu dicatat bahwasanya pembelajaran sastra, bagaimanapun, sangat identik dengan kegiatan membaca dan menulis, dan kesempatan inilah yang tidak didapat oleh pembelajar. Di dalam kelas, mereka harus memusatkan diri pada tuntutan pengajar untuk materi tertentu. Dengan kegiatan-kegiatan seperti yang disebutkan di atas, apresiasi menjadi terbengkalai karena pembelajar tetap pada posisi sebagai penerima informasi bukan sebagai subjek yang terlibat dalam pembentukan pengetahuan secara aktif. Di sini tampak sekali bahwa kesempatan berekspresi dan bereksplorasi tersekat pada sebuah tuntutan. Tak ada ruang yang leluasa bagi mereka untuk membaca karya sastra sebanyak-banyaknya; memberi reaksi pada sebuah karya melalui tulisan dalam rangka peragaan keterampilan berbahasa. Walhasil pengajaran pun menjadi terfragmen dan tidak alamiah. Kompetensi menyimak dan berbicara seolah berada di bagian lain kompetensi menulis dan membaca, tidak terintegrasi.
Kasus lain yang ditemukan adalah ketika, ternyata, mahasiswa harus “angkat tangan” ihwal sastra Inggris. Ada semacam kode etik yang digunakan dalam proses pembelajarannya, bahwa mahasiswa dituntut untuk mengetahui sastra asing yang secara filosofis bukan sesuatu yang familiar bagi mereka. Bagaimana mereka bisa mengetahui hakikat sastra Inggris jika untuk sastra Indonesia saja mereka belum mempunyai pemahaman terhadapnya. Setidaknya pembelajar dikenalkan dengan karya sastra dari negeri sendiri. Kita bisa mengambil sebuah karya; dibacakan untuk diperdengarkan dengan maksud menciptakan pemahaman makna (dalam konteks interpretasi). Selanjutnya, di-reinterpretasi baik dalam wacana lisan (diskusi) dan –yang tak kalah penting—dalam wacana tulisan yang ini pun dipertimbangkan untuk didiskusikan kembali. Dari awal sampai akhir proses pembelajaran, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar tetap harus ditekankan. Ini dilakukan agar tujuan kedua bisa benar-benar terealiasi.
Survei membuktikan bahwa sebagian besar mahasiswa bahasa Inggris memang belum mempunyai pemahaman tentang sastra Inggris. Kesulitan pun muncul ketika mereka harus berhadapan dengan wilayah sastra yang notabene bukanlah sesuatu yang mengakar dari nenek moyangnya, Indonesia. Mungkin tak ada salahnya jika kita merenungkan kembali peribahasa ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung,’ perihal ini.
Frederick (1989) memaparkan dua pandangan dalam memahami karya sastra. Yang pertama, bahwa semenjak karya sastra ditujukan dan muncul dalam sebuah komunitas tertentu, maka apresiasi hanya bisa dilakukan oleh komunitas itu sendiri. Pernyataan ini kiranya menjawab kegelisahan yang disampaikan pada paragraf sebelumnya. Sedang yang kedua adalah bahwa sastra hanya dapat diapresiasi bilamana seseorang mengerti akan bahasa yang digunakan dalam sastra itu. Hal ini sepertinya membantah isu ihwal latar belakang pembelajar sebagai mahasiswa bahasa Inggris, namun ternyata tidak demikian. Perlu diingat bahwasannya hingga detik ini, mulai dari SD sampai PT, bahasa Inggris masih menjadi disiplin ilmu yang tetap dipelajari dan bukan digunakan. Terlebih, memahami bahasa, apalagi sastra, berarti secara tidak langsung mesti mempelajari pula budayanya, satu hal yang seringkali dilupakan.
Selanjutnya Muhammad pun menyodorkan sebuah data tentang rendahnya tingkat keberhasilan yang dicapai dalam pengajaran sastra asing (Inggris) yang tidak hanya dirasakan di Indonesia saja, melainkan juga di luar negeri. Ia memaparkan bahwa dalam Stafford House Seminar yang diadakan di London pada bulan April 1986, Ala Maley dari perwakilan The British Council Madras, India, mengemukakan keluhan senada terkait pengajaran sastra. Polemik tak berkesudahan ini sebelumnya juga muncul dalam Seminar Nasional TEFLIN (Teacher of English as a Foreign Language in Indonesia) ke-38 di Yogyakarta pada tahun 1991 dimana UGM bertindak sebagai panitia penyelenggara. Seminar yang bertemakan The Place of Literature in The Teaching of English as a Foreign Language itu membahas tentang “nasib” mata kuliah sastra di Jurusan bahasa Inggris di PT. Dua pandangan muncul dalam seminar tersebut, yang implikasinya juga masih tampak sampai sekarang. Pandangan pertama menyatakan bahwa mata kuliah sastra dihilangkan saja karena toh selama ini hasilnya tidak benar-benar dapat dirasakan. Sedang yang kedua tetap pada pendirian bahwa pengajaran sastra masih tetap menjadi sesuatu yang signifikan untuk dipelajari.
Permasalahannya adalah, untuk menguatkan opsi pertama, beberapa universitas –termasuk UPI—tujuan mata kuliah sastra memang terkesan tidak tegas, tak hanya di jurusan kependidikan tetapi juga di non-kependidikan-nya. Sementara opsi kedua, dimana referensi fenomena direpresentasikan oleh universitas semisal UGM, UNDIP, dan Universitas Maranatha, mata kuliah ini menjadi sebuah keharusan karena tujuan yang dicita-citakan pun jelas, yaitu membentuk kritikus-kritikus, bahkan sastrawan sekalipun, yang mapan, begitu yang Alwasilah (1995) paparkan dalam salah satu artikelnya. Selanjutnya beliau pun memberikan solusi, yaitu menekankan agar pengajar (dosen) mempunyai kapabilitas perihal mata kuliah sastra dan mengapresiasi sastra. Hingga detik ini pendapat dan solusi apa pun itu, perihal mata kuliah sastra dan pengajarannya, tak lebih dari sekadar angin lalu karena realita selama 10 tahun terakhir ini menampakkan bahwa tak ada perubahan yang signifikan di lingkup wilayah yang diwacanakan.
Selebihnya ketika tulisan ini dibuat, belum ada lagi penelitian serupa-terkini yang memperlihatkan progresivitas, bahkan solusi konkret, terkait masalah tersebut. Namun setidaknya hal tersebut semakin menegaskan bahwa pengajaran sastra Inggris bukanlah sesuatu yang mudah, terlebih di Indonesia.
Pengajaran yang Konstruktif
Seorang guru puisi di Des Moines-Iowa, Berry, mengatakan: “Always build on what is familiar to student.” Seperti yang penulis sampaikan di atas bahwa background pembelajar menjadi sangat penting untuk mengetahui sejauh mana pemahaman mereka terhadap sebuah pengetahuan (sastra). Yang hendak disampaikan adalah bahwa setiap pembelajar, bagaimanpun, mempunya basic of knowledge, entah dari: pengetahuan yang didapat dari pendidikan sebelumnya; pengetahuan terkait yang didapat secara otodidak; maupun dari pengalaman empiriknya. Menghadirkan yang semacam itu adalah baik adanya dan merupakan sebuah awalan yang bagus dalam pengajaran sastra. Pengetahuan pembelajar sudah seharusnya dibangun dari sesuatu yang mereka kenal baik secara kontekstual maupun tekstual bersinggungan satu sama lain.
Selain itu pemadu-madananan atau pengakulturasian materi dengan situasi dan kondisi pembelajar pun dapat terjadi dari hal-hal demikian. Pengajaran, pada akhirnya, bisa dilakukan secara induktif dan bukan lagi deduktif –sebuah metode tradisional yang masih bisa ditemukan. Indikasi keberhasilan pengajaran pun dimungkinkan bisa tercapai karena pembelajar sebagai faktor primer dan yang menentukan pembelajaran, benar-benar diselenggarakan secara konsentris. Walau demikian, faktor-faktor lain pun tetap menentukan dan mempengaruhi hasil pendidikan, seperti strategi yang dibawakan pengajar serta sarana dan prasarana semisal kurikulum dan buku-buku penunjang.
Dengan demikian pengajaran sastra menjadi sesuatu yang konstruktif, yaitu mengedepankan pengetahuan pembelajar dalam rangka membangun wawasan ihwal sastra dan menariknya ke dalam proses belajar mengajar (contextual teaching and learning). Pengajaran sastra akan mengakar dari pemahaman personal yang akhirnya bisa secara menukik pada pembelajaran yang lebih spesifik (sastra Inggris) dan luas (sastra secara umum) dalam prosesnya. Bangunan (motif) yang muncul dari metode seperti ini adalah menumbuhkan kesenangan dan ketertarikan pembelajar terlebih dahulu sebelum melangkah kepada tingkatan yang lebih jauh lagi yang memerlukan profesiensi lebih tinggi.
Kendati demikian pengajar tetap menjadi faktor yang menentukan keberhasilan pembelajaran dan pembelajarnya. Ia memiliki peranan yang sangat penting sebagai fasilitator/mediator dalam mengaktifkan, memberi impuls dan memotivasi pembelajar serta menjaga agar proses belajar mengajar bisa tetap “hidup”. Hal tersebut dapat dilihat dari sejauhmana ia menerapkan strategi pengajaran yang direpresentasikan melalui metode-metode dan model-model pengajarannya.
Sejumput Saran
Untuk mencapai keidealan –walau bukan berarti kesempurnaan—, pengajaran sastra harusnya mengedepankan aspek afektif selain aspek kognitif, seperti yang selalu ditekankan. Dan ini mestinya mendominasi praktek taktis pembelajaran. Dalam tatarannya, pembelajar dituntut untuk menjadi sumber karya yang dicerminkan dalam bentuk apresiator atau creator. Perlu diketahui bahwa kecakapan yang dikembangkan sastra itu bersifat: inderawi, penalaran, afektif, dan sosial. Pengajaran sastra secara deduktif hanya akan tersekat pada kecakapan kognitif dan, bagaimanapun, pengetahuan –dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat—tidak melulu didasarkan pada kemampuan kognitif saja, tapi juga afektif.
“To help students appreciate literature related to drama/plays, etc, have them to write their own play(s) as a project that can then be presented to the entire school body,” demikian seorang guru kelas empat di Florida-New York, Janet, berujar. Di sini demokrasi pembelajaran akan tampak sekali. Kreativitas pembelajar akan ter-expose dan ter-explore sedemikian rupa. Mereka akan menggali sendiri keterampilannya mengenai sastra sebelum nantinya berkenalan dengan bentuk-bentuk baku sastra (teori).
Penugasan membaca karya sastra sebanyak-banyaknya di luar kelas kiranya bisa menjadi solusi untuk memecahkan masalah tentang alokasi waktu yang tidak memadai. Biarkan mereka mencari ruang-ruang lain yang memungkinkan untuk bisa mengeksplorasi pengetahuan soal sastra. Intinya, buat dulu mereka menyenangi sastra. Tampilkan apa yang sudah mereka peroleh dan dinamika pembelajaran akan mengalir secara alami. Hal ini, tentunya, kembali pada bagaiman pengajar mengolahnya dengan kreatif hingga kedua elemen (pengajar dan pembelajar) ini benar-benar bisa menciptakan keharmonisan dalam proses pembelajaran di ruang kelas.
Selain itu beberapa strategi atau metode pembelajaran seperti yang sudah banyak sastrawan ajukan pun bisa digunakan, semisal model Discourse Analysis (CDA) atau analisis wacana kritis, strategi belajar Cooperative Learning, strategi Respons Heuristik, atau bahkan menciptakan Laboratorium Sastra. Kesemuanya itu semata-mata dimaksudkan sebagai jalan agar pengajaran sastra dapat dengan mudah dipraktekan dan akhirnya bisa mencapai cita-cita yang selama ini dikehendaki.
Penulis sendiri meyakini bahwa mata kuliah sastra harusnya produktif; menjadikan subjek didik sebagai pencipta untuk karyanya sendiri (memproduksi sastra), mengingat hanya dengan cara ini mereka bisa memperagakan keterampilan bahasanya. Dan dengan ini pula pembelajar sebagai individu yang tengah berada dalam arus globalisasi bisa bertahan dengan skill dan kompetensi yang dimilikinya. Sungguh, semoga kita tak sampai mendengar pernyataan bahwa pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia ini hanya bernaung pada sebuah bias dimana bahasa sekadar untuk dipelajari dan bukan dipergunakan. Karena secara tidak langsung hal tersebut menjustifikasi bahwa pembelajaran sastra Inggris sebagai praktek dari sebuah bahasa hanya sampai pada kata “sia-sia”. (Fim Anugrah/"Saswaloka")
Setelah membaca Info dihalaman ini, kami jadi lebih tahu.
ReplyDeleteIni adalah informasi yang sangat menarik untuk dibiarkan begitu saja.
informasi yang suda membuat otak ane terbuka dan memiliki ide baru.
Bukan hanya di halaman ini saja, halaman lain yang
telah kita kunjungi juga memiliki kualitas Postingan yang menarik.
Semoga artikel ini bisa terus berkembang dan memberikan manfaat
bagi oranglain. Terimakasih ane ucapkan dan kami akan datang lagi.
kalau Memiliki waktu, mampir juga Info kami di http://youtu.be/5JS3DIe0mJs
My webpage ... Film Kartun
Hello, I enjoy reading all of your article. I wanted to write a little comment
ReplyDeleteto support you.