Thursday, August 11, 2011

Puisi: Semesta dan Estetika

Oleh: Pipin Saswa 
Semesta–pada sebuah tatanan yang terus bergerak dinamis–telah banyak berubah dan mengubah setiap segi atau aspek serta elemen ke dalam sebuah kompleksitas yang beragam. Ia secara mutlak menyimpan makna yang masih tersembunyi, dan pemaknaan itu sendiri seperti tak habis-habisnya digali di setiap waktunya.

Masih banyak yang kita tidak ketahui dari semesta. Ia sememangnya menyimpan berbagai misteri yang tersembunyi. Dan kita, selantasnya selalu mencari dan mencari bahkan menemukan hal-hal yang baru dari semesta. Ibarat seorang guru, semesta mengajari kita berbagai hikuk dan pikuk permasalahan, menelusup sampai ke dalam –ke akar-akar sebuah puncak dari setiap sudut pemikiran. Sehingga, memang benar jika semesta adalah wilayah eksplorasi dan “eksploitasi” tanpa batas dalam geraknya seiring ruang dan waktu.

 
Begitu juga halnya dengan puisi. Sebagai buah kontemplasi dan sekaligus media, ia adalah unsur yang sangat subtil dalam membahasakan kompleksitas (semesta) itu dan –layaknya sebuah keniscayaan yang terus dijelajahi–puisi tak pernah habis, tak pernah pasrah dan berhenti mencari dan membahasakan (menceritakan) hakikat dan khitah dari kekompleksitasan tersebut. Universe is complex and poem reveals the complexity. Oleh karenanya, puisi tak pernah tandas dimakan waktu dan penciptaannya –sekaligus penciptanya (penyair)- tak pernah puas membedah semesta.
Dalam kaitannya, puisi jadi semacam bahasa semesta. Hal ini sejalan kiranya dengan statement Afrizal yang mengatakan bahwa semesta adalah “puisi raksasa”. Begitu raksasanya, hingga tak pernah sampai pada pencapaian pendeskripsian yang puncak. Dan penyair selaku tuhan bagi puisinya, memang seorang yang selalu mencari cara dan berkutat untuk membahasakan semesta itu melalui media kata-kata.
Jika ditarik sebuah garis lurus: puisi adalah bahasa semesta yang “rapuh” karena memang tidak pernah sempurna, tidak pernah merasa puas dengan pencapaiannya. Jika iya ada puisi yang sempurna, maka pencipta (penyair) akan berhenti mencipta puisi. Kenyataannya kan, tidak? Semisal Afrizal yang menyatakan “putus” dengan puisi sekira pertengahan 1970-an –dalam jangka dua tahun; walau pada akhirnya, ia kalah dengan keputusannya itu dan kembali menulis puisi. Belum lagi Chairil yang berkata: aku ingin hidup seribu tahun lagi, dan bisa jadi waktu seribu tahunnya itu ia gunakan untuk menulis “puisi”, kendati begitu takdir juga yang menentukan ia harus bertemu Yang Maha Kuasa.
Sebagai sebuah karya, puisi telah lahir berabad-abad yang lalu. Entah sebetulnya siapa yang mulai mencipta puisi sehingga genre ini seperti digandurngi oleh orang-orang yang selalu berpikir, mencari dan mempertanyakan hakikat. Namun–dengan mengembalikan semua yang ada dalam ruang dan waktu ini kepada sebuah keabsolutan–bukankah Tuhan memang merupakan “penyair” yang tiada tandingannya? Ia menciptakan semesta ini dengan puisi bahkan –diyakini- bahwa ayat-ayat suci sebagai buah firman atau kata-kata Tuhan merupakan ibu dari puisi (meminjam judul puisi Rudy Ramdhani-finalis 15 besar lomba menulis puisi Menbudpar, 2007), bahwa puisi kita sesungguhnya ada di surga sana. Dan sebagai umat yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, bukankah itu sebenarnya yang menjadi inti pencarian dari setiap insan?
Dalam puisi, kita mengenal adanya istilah estetika. Estetika seyogiyanya menjadi sebuah keharusan untuk sebuah karya (puisi) dapat dinilai dan diapresiasi. Namun pertanyaannya, estetika yang seperti apa?
 Dengan melihat puisi pada sudut pandangnya sebagai sebuah karya, ia dibentuk dari sebuah bangunan imaji. Tentunya imaji yang utuh, tidak bopeng, walau terkadang pada proses kreatifnya banyak penyair yang terjebak pada diksi. Ketidakmampuan memilih kata, frasa, klausa ataupun kalimat, menjadikan si puisi menjadi kabur, gelap atau bahkan gagal untuk menyampaikan sesuatu pada pembacanya, seperti pernyataan Tjahjono Widarmanto pada salah satu eseinya. Itu teori! Kenyataannya, apabila kita membuka lagi peta perpuisian Indonesia, seperti disinyalir Dami N. Toda dalam tulisannya “Peta Perpusisian Indonesia 1970-an Dalam Sketsa (dikutip dari makalah Toto ST Radik pada sebuah acara bedah buku) dapat dikategorikan bahwa ada dua penyair yang mengusung titik kulminasi estetika yang berbeda di Indonesia ini, sebut saja Chairil Anwar dan Sutadji Calzoum Bahcri.
Chairil meyakini bahwa kata atau bahasa harus beranjak dari kesadaran yang penuh dan menjadikannya sebagai alat penyair untuk kepentingan puitik, sementara Sutadji keukeuh dengan kredo puisinya bahwa kata tidak boleh dibebankan oleh apa pun. Ia sepatutnya harus berdiri sendiri sebagai objek yang memiliki identitas sendiri sehingga kata atau bahasa tidak menjadi alat estetik. Jika disimpulkan: Chairil menganut paham bahwa kata atau bahasa harus dibangun dengan sebuah kepaduan yang nantinya melahirkan estetika, sementara Tardji lebih pada membiarkan kata untuk menemukan sendiri estetikanya. Pertanyaannya, bagaimana dengan (lagi-lagi) Afrizal Malna? Berada di wilayah manakah ia?
Jelas-jelas Afrizal membangun kerajaannya sendiri. Ia mendirikan istananya (puisi) dengan kata benda-kata benda urban seperti kulkas, sepatu, es krim, plastik, softex, dll. Untuk puisinya, seperti yang dipaparkan Jakob Sumardjo, terkesan tak ada kohesi dan koherensi kata. Mungkin untuk pembaca yang baru pun bisa jadi menyeringai ketika membaca puisinya. Kata-kata seperti belingsatan, loncat-loncat, jungkir-balik, simpang-siur bahkan nungging. Ia semacam mengusung estetika baru dalam wajah perpuisian Indonesia.
Ia mendobrak estetika yang asalnya dielu-elukan lewat pemilihan diksi, keutuhan imaji dan tetek bengek lainnya. Entah apakah mungkin Afrizal telah mencapai maqom-nya untuk memahasakan semesta –seperti statement-nya tadi di atas- melalui kata-kata itu: diksi yang seringkali kita tampik dalam penggunaannya sehingga ia tak lagi menggunakan kata bulan, malam, matahari, dll –kata-kata  klasik yang kebanyakan digunakan oleh penyair kita.  
Di sini estetika menjadi sebuah kata sifat yang sangat absurd dan tak memiliki alat ukur yang jelas. Ia menjadi sebuah kata yang direduksi pada wilayah abu-abu. Dan Afrizal memulai ke-estetisan-nya dengan cara yang berbeda. Sejauh yang kita tahu, para pengusung posmo (posmodern) menyatakan bahwa estetika lahir dari sebuah konvensi sosial atau dominasi kekuatan. Sebuah budaya pop yang menjual, sehingga puisi bukanlah alat pencari kebenaran untuk segala aspek kehidupan, tetapi tetap menjadi barang pelipur lara -baik untuk penyair maupun pembacanya. Mesti diarifi bahwa realitas puisi kita masih muncul dari pengalaman tiap individu dan belum sempat pada tahap kepekaan sosial. Dan bukankah itu yang disukai oleh manusia Indonesia? Mungkin kita berpikir kembali, apakah benar estetika itu sebuah keindahan? Sementara, menurut Jakob Sumardjo, bahwa estetika adalah kebenaran, kebaikan, logis? Kebenaran mengungkap segala tabir dalam apa pun aspek kehidupannya; kebaikan dalam cara penyampaiannya; logis dalam artian ia bisa dicapai dengan nalar.
Jika karya sastra –sebagai alat untuk mencari kebenaran- intelektual dibaptis sebagai karya sastra estetis, maka karya sastra intelektual berada pada naungan non-estetis. Jika benar kenyataanya seperti itu, maka selayaknya kita tanyakan berada di wilayah manakah karya-karya Afrizal padahl kita tahu bahwa ia tetap pada sebuah tujuan mencari kebenaran itu? Ingat bagaimana Rendra dengan sastra jurnalistik berupa pantun-pantun politik yang sangat menohok dan membom-bardir kebobrokan perpolitikan Indonesia melalui kritikan-kritikan yang pedas, dan -masih- ia mengusung keadilan dan kebenaran melaluinya beberapa saat lalu? Pastinya, Rendra sendiri menyadari ketika membuat pantun-pantun itu, hidupnya bisa saja terancam sekalipun yang ia bela bukan hanya segelintir orang, tapi rakyat Indonesia!
Jadi, seperti paparan Jakob Sumardjo pada salah satu eseinya, estetika adalah kebenaran sebuah nilai. Sublimitas nilai yang mampu menjelajah semesta dan mendobrak ruang dan waktu yang tersekat. Sebagai penguatan, Yasraf juga berkata dalam lembaran pengantar buku kumpulan puisi Juniarso Ridwan, “Semua Telah Berubah, Tuan” (2006), bahwa puisi bukan semata-mata ungkapan estetik, tetapi ungkapan nilai-nilai menemukan yang benar di balik yang palsu, yang pura-pura, yang tak terus terang (untruth).
Estetika sudah sewajarnya merupakan eksplorasi. Estetika pada puisi –jika iya kita mau lantang dan mendobrak hukum konvensi sosial- dinilai dari sudut pandang yang berbeda. Dengannya kita bisa melihat puisi sebagai sebuah keindahan (estetis). Dan seperti apa pun ia dicipta –bahkan proses penciptaanya yang berusaha mendobrak estetika itu sekalipun– ia tetap saja bernaung sebagai sebuah eksklusivitas yang menawan. Ini sama halnya dengan puisi yang sampai detik ini tak memiliki absolutivitas definisi.
Sebagai pancaran cahaya Tuhan, semesta adalah estetis. Puisi adalah salah satu alat pembahasaan semesta. Maka puisi adalah estetis. Karena puisi tidak pernah sempurna, tidak pernah merasa puas dengan pencapaiannya, maka puisi adalah identitas lain yang digambarkan dengan bahasa yang juga menggambarkan elemen ke dalam bentuk yang berbeda. Seperti halnya estetika yang mempunyai sudut berbeda dalam pemaknaannya pada setiap apa pun sebuah seni, sehingga ini juga yang jadi permasalahan bahwa keberagaman itu adalah niscaya, karena itu tadi tak ada estetika yang absolut dalam pengukurannya.
Estetika harus digali dan caranya adalah dengan menjunjung tinggi kreativitas. Kreativitas hanya akan muncul apabila didapat dengan cara yang berbeda –dalam artian adanya paham ketak-seragaman yang diusung. Dan semesta, sebagai wilayah yang begitu luasnya, adalah pemicu kreativitas setiap penyair untuk mencari bentuknya, baik dari kontemplasi maupun hasil dari kontemplasi (puisi) tesebut. Yakinilah, sebagaimana yang penulis Amerika Jack Kerouac katakan, bahwa hal-hal hebat tidak bisa didapat dari sesuatu yang umum. Dan mungkin selahirnya Afrizal, ada lagi penyair-panyair baru yang bisa mengusung nilai keindahan (estetis) yang benar-benar benar walau tak sebenar Si Pencipta Kebenaran: Tuhan YME. 

 Sumber: Radar Bandung, Minggu, 15 April 2007. Modified in this site at 11.08.2011

No comments:

Post a Comment