Oleh: Firman Nugraha
SEJAK awal, alam telah menjadi bagian dari sastra. Ini terbukti dengan tidak sedikitnya sastrawan, khususnya dari kalangan penyair, yang menggunakan diksi hutan, laut, pohon, dan lain-lain dalam karya mereka. Namun seiring perkembangan, sastra telah banyak mengalami perubahan, begitu juga alam. Kedua elemen yang tak terpisahkan ini seakan selalu berjalan beriringan. Sastra tempo dulu adalah wajah alam masa lalu dan sastra sekarang adalah wajah alam masa kini. Sastra membutuhkan alam sebagai inspirasinya, sedang alam membutuhkan sastra sebagai alat konservasinya.
Adalah Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm (1996) yang mengetengahkan gagasan tentang ecocriticism atau ekokritik, lewat eseinya yang berjudul "The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology". Melalui eseinya itu mereka bermaksud untuk mengaplikasikan konsep ekologi ke dalam sastra, di mana pendekatan dilakukan dengan menjadikan bumi (alam) sebagai pusat studinya. Ekokritik sendiri secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan hidup (Glotfelty, 1996).
Sebagai sebuah konsep, ekokritik muncul ke permukaan pada tahun 1970-an dalam sebuah konverensi WLA (The Western Literature Asscociation). Melalui eseinya yang berjudul “What is Ecocriticism?”, Michael P. Branch menelusuri istilah ecocriticism yang ternyata pertama kali digunakan olah William Rueckert (1978) dalam eseinya “Literature and Ecology: An Experiment in Ecocriticism”. Menurut Branch, istilah ekokritik dan ekologi ini menjadi sangat dominan menjelang WLA, yang kembali dilaksanakan pada tahun 1989. Dan ketika itu, Glotfelty mendesakan istilah ekokritik untuk digunakan sebagai kritik yang sebelumnya telah dikenal sebagai the study of nature writing.
Lalu apa sebenarnya urgensi ekokritik dalam studi sastra? Untuk hal ini, ekokritik mempertanyakan: Bagaimana alam direpresentasikan dalam sebuah puisi? Apa peranan lingkungan hidup dalam plot sebuah novel atau cerpen? Apakah nilai-nilai yang diekspresikan dalam suatu drama sesuai dengan kearifan ekologi? Dengan cara apa sastra berpengaruh pada hubungan antara manusia dan alam?
Selain itu, sebuah teori sastra pada umumnya meneliti hubungan antara penulis, teks dan dunia -dalam artian lingkungan sosial. Jika kita setuju dengan pendapat hukum ekologi-nya Barry Commoner bahwa segala sesuatu terhubung satu sama lain, maka dapat dipastikan bahwa sastra bukanlah sesuatu yang `mengapung` di atas dunia materi saja. Ia juga berperan sebagai bagian dari sistem global yang kompleks di mana energi, persoalan dan ide-ide saling berinteraksi (Glotfelty, 1996). Hal senada diungkapkan oleh Kate Soper bahwa bukan bahasa saja yang memliki sebuah lubang dalam lapisan ozonnya. Maksudnya adalah bahwa bahasa yang sebagaimana tampak sebagai `teks` dalam sebuah `wacana` tidak melulu memandang dunia luar secara sosial dan linguistik terstruktur. Bagi para ekokritik, alam itu benar-benar ada, eksis, melebihi manusia.
**
MENIMBANG hijau dalam karya sastra, tiga penulis Amerika abad ke-19 telah menjadi bagian penting dalam pengukuhan ekokritisisme yang berkembang di Amerika. Penulis itu adalah Ralph Waldo Emerson (1803-1882) dengan karyanya “Nature”, Margeret Fuller (1810-1850) dengan “Summer on the Lakes, During 1843 “, dan Henry David Thoreau (1817-1862) dengan karyanya “Walden”. Ketiganya merepresentasikan wajah alam Amerika tempo dulu sebagai pusat penceritaannya. Emerson, misal, dalam Nature-nya yang lebih cocok dikategorikan sebagai esei reflektif, menggambarkan dengan kata-kata yang sangat dramatis bagaimana ia/ melintasi sebuah jalan yang lengang, dalam genangan salju, pada sebuah senja, di bawah langit berawan, tanpa berpikir bahwa/ dirinya/ memiliki keberuntungan yang luar biasa/, ia/ telah menikmati kegembiraan yang sempurna. Ia/ senang dengan menyingkirkan ketakutannya.
Fuller sendiri terkesima dengan lanskap Niagara ketika ia menjadi mahasiswa di Harvard. Ia menuliskan: Di sini tak ada jalan keluar dari beban penciptaan yang terus-menerus. Semua ciptaan dan gerakan datang dan pergi … angin, dengan kekuatannya, bergerak kencang dan berhembus, tapi di sini gerakan seperti tak putus-putusnya dan tak kenal lelah. Terjaga atau tertidur, tak ada jalan keluar …. Betapa saya telah merasakan keagungan…. Sedang Thoreau dalam Walden-nya, menceritakan kehidupan ia selama dua tahun di sebuah pondok dekat kolam Walden, beberapa kilometer dari kota Concord, Massachusets. Ketiganya, sebagai karya klasik, seakan meletakkan kehidupan modern dan memperbarui diri dengan cara `kembali ke alam` atau back to nature. Ketiga buku inilah yang menjadi fondamen karya yang berpusat pada ekologi (Barry, 2002).
Bagaimana dengan Indonesia? Sastra hijau mungkin belum terlalu marak dibahas di negeri ini. Walaupun demikian, dengan konsep back to nature-nya, kita bisa menyebutkan penyair D. Zawawi Imron sebagai sosok yang karya-karyanya teramat kental dengan suasana dan diksi alam. Perihal ini, ia bahkan sampai berkata lewat pengantar dalam antologi puisinya “Madura, Akulah Darahmu” (Grasindo, 1999) bahwa ia sebenarnya bukanlah penyair, yang bersyair sebenarnya alam. Tengah hari di bukit wahyu kubaca Puisi-Mu/ Aku tak tahu manakah yang lebih biru, langitkah atau hatiku? tulisnya. Mungkinkah aku-lirik mengartikan Puisi sebagai keagungan Tuhan yang dimanifestasikan lewat ciptaan-Nya (alam)? Banyak kemungkinan interpretasi bisa terjadi. Namun `langit` sebagai referent seolah menjelaskan apa maksudnya. Terlebih, ketika kita tahu larik selanjutnya: "Kun!" perintah-Mu. Maka terjadilah alam, rahmat dan surga. Betapa piawai penyair mengolah alam sebagai medium dalam sajaknya itu.
Lain halnya dengan Hujan Bulan Juni-nya Sapardi. Sepintas, judul puisinya sangatlah tidak logis. Bagaimana mungkin ada hujan di bulan Juni? Tapi, setelah kita tahu, bahkan ketika PBB mengadakan panel Climate Change di Bali pada awal April 2007, bahwa musim hujan datang tak lagi sesuai dengan jadwalnya. September 2007 yang diduga akan dilanda hujan deras lewat fenomena El-Nino-nya, malah kecolongan hujan lebih dulu di bulan Februari. Banjir di Ibu Kota Jakarta buktinya. Pun Juni yang secara klimatologis harusnya mewakili musim kemarau, justru didera hujan terus-menerus. Terbukti bahwa Hujan Bulan Juni-nya Sapardi bukan hanya imajinasi belaka. Secara intuisi, para penyair mungkin bisa berimajinasi lewat metafora-metaforanya, tetapi pada akhirnya mereka tak pernah bisa mengetahui kekuatan alam yang masih tersembunyi.***
* Firman Nugraha, Penyair, bergiat di SSP (Sanggar Sastra Purwakarta).
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 7 Maret 2009, modified in this sites at 11.08.2011
SEJAK awal, alam telah menjadi bagian dari sastra. Ini terbukti dengan tidak sedikitnya sastrawan, khususnya dari kalangan penyair, yang menggunakan diksi hutan, laut, pohon, dan lain-lain dalam karya mereka. Namun seiring perkembangan, sastra telah banyak mengalami perubahan, begitu juga alam. Kedua elemen yang tak terpisahkan ini seakan selalu berjalan beriringan. Sastra tempo dulu adalah wajah alam masa lalu dan sastra sekarang adalah wajah alam masa kini. Sastra membutuhkan alam sebagai inspirasinya, sedang alam membutuhkan sastra sebagai alat konservasinya.
Adalah Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm (1996) yang mengetengahkan gagasan tentang ecocriticism atau ekokritik, lewat eseinya yang berjudul "The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology". Melalui eseinya itu mereka bermaksud untuk mengaplikasikan konsep ekologi ke dalam sastra, di mana pendekatan dilakukan dengan menjadikan bumi (alam) sebagai pusat studinya. Ekokritik sendiri secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan hidup (Glotfelty, 1996).
Sebagai sebuah konsep, ekokritik muncul ke permukaan pada tahun 1970-an dalam sebuah konverensi WLA (The Western Literature Asscociation). Melalui eseinya yang berjudul “What is Ecocriticism?”, Michael P. Branch menelusuri istilah ecocriticism yang ternyata pertama kali digunakan olah William Rueckert (1978) dalam eseinya “Literature and Ecology: An Experiment in Ecocriticism”. Menurut Branch, istilah ekokritik dan ekologi ini menjadi sangat dominan menjelang WLA, yang kembali dilaksanakan pada tahun 1989. Dan ketika itu, Glotfelty mendesakan istilah ekokritik untuk digunakan sebagai kritik yang sebelumnya telah dikenal sebagai the study of nature writing.
Lalu apa sebenarnya urgensi ekokritik dalam studi sastra? Untuk hal ini, ekokritik mempertanyakan: Bagaimana alam direpresentasikan dalam sebuah puisi? Apa peranan lingkungan hidup dalam plot sebuah novel atau cerpen? Apakah nilai-nilai yang diekspresikan dalam suatu drama sesuai dengan kearifan ekologi? Dengan cara apa sastra berpengaruh pada hubungan antara manusia dan alam?
Selain itu, sebuah teori sastra pada umumnya meneliti hubungan antara penulis, teks dan dunia -dalam artian lingkungan sosial. Jika kita setuju dengan pendapat hukum ekologi-nya Barry Commoner bahwa segala sesuatu terhubung satu sama lain, maka dapat dipastikan bahwa sastra bukanlah sesuatu yang `mengapung` di atas dunia materi saja. Ia juga berperan sebagai bagian dari sistem global yang kompleks di mana energi, persoalan dan ide-ide saling berinteraksi (Glotfelty, 1996). Hal senada diungkapkan oleh Kate Soper bahwa bukan bahasa saja yang memliki sebuah lubang dalam lapisan ozonnya. Maksudnya adalah bahwa bahasa yang sebagaimana tampak sebagai `teks` dalam sebuah `wacana` tidak melulu memandang dunia luar secara sosial dan linguistik terstruktur. Bagi para ekokritik, alam itu benar-benar ada, eksis, melebihi manusia.
**
MENIMBANG hijau dalam karya sastra, tiga penulis Amerika abad ke-19 telah menjadi bagian penting dalam pengukuhan ekokritisisme yang berkembang di Amerika. Penulis itu adalah Ralph Waldo Emerson (1803-1882) dengan karyanya “Nature”, Margeret Fuller (1810-1850) dengan “Summer on the Lakes, During 1843 “, dan Henry David Thoreau (1817-1862) dengan karyanya “Walden”. Ketiganya merepresentasikan wajah alam Amerika tempo dulu sebagai pusat penceritaannya. Emerson, misal, dalam Nature-nya yang lebih cocok dikategorikan sebagai esei reflektif, menggambarkan dengan kata-kata yang sangat dramatis bagaimana ia/ melintasi sebuah jalan yang lengang, dalam genangan salju, pada sebuah senja, di bawah langit berawan, tanpa berpikir bahwa/ dirinya/ memiliki keberuntungan yang luar biasa/, ia/ telah menikmati kegembiraan yang sempurna. Ia/ senang dengan menyingkirkan ketakutannya.
Fuller sendiri terkesima dengan lanskap Niagara ketika ia menjadi mahasiswa di Harvard. Ia menuliskan: Di sini tak ada jalan keluar dari beban penciptaan yang terus-menerus. Semua ciptaan dan gerakan datang dan pergi … angin, dengan kekuatannya, bergerak kencang dan berhembus, tapi di sini gerakan seperti tak putus-putusnya dan tak kenal lelah. Terjaga atau tertidur, tak ada jalan keluar …. Betapa saya telah merasakan keagungan…. Sedang Thoreau dalam Walden-nya, menceritakan kehidupan ia selama dua tahun di sebuah pondok dekat kolam Walden, beberapa kilometer dari kota Concord, Massachusets. Ketiganya, sebagai karya klasik, seakan meletakkan kehidupan modern dan memperbarui diri dengan cara `kembali ke alam` atau back to nature. Ketiga buku inilah yang menjadi fondamen karya yang berpusat pada ekologi (Barry, 2002).
Bagaimana dengan Indonesia? Sastra hijau mungkin belum terlalu marak dibahas di negeri ini. Walaupun demikian, dengan konsep back to nature-nya, kita bisa menyebutkan penyair D. Zawawi Imron sebagai sosok yang karya-karyanya teramat kental dengan suasana dan diksi alam. Perihal ini, ia bahkan sampai berkata lewat pengantar dalam antologi puisinya “Madura, Akulah Darahmu” (Grasindo, 1999) bahwa ia sebenarnya bukanlah penyair, yang bersyair sebenarnya alam. Tengah hari di bukit wahyu kubaca Puisi-Mu/ Aku tak tahu manakah yang lebih biru, langitkah atau hatiku? tulisnya. Mungkinkah aku-lirik mengartikan Puisi sebagai keagungan Tuhan yang dimanifestasikan lewat ciptaan-Nya (alam)? Banyak kemungkinan interpretasi bisa terjadi. Namun `langit` sebagai referent seolah menjelaskan apa maksudnya. Terlebih, ketika kita tahu larik selanjutnya: "Kun!" perintah-Mu. Maka terjadilah alam, rahmat dan surga. Betapa piawai penyair mengolah alam sebagai medium dalam sajaknya itu.
Lain halnya dengan Hujan Bulan Juni-nya Sapardi. Sepintas, judul puisinya sangatlah tidak logis. Bagaimana mungkin ada hujan di bulan Juni? Tapi, setelah kita tahu, bahkan ketika PBB mengadakan panel Climate Change di Bali pada awal April 2007, bahwa musim hujan datang tak lagi sesuai dengan jadwalnya. September 2007 yang diduga akan dilanda hujan deras lewat fenomena El-Nino-nya, malah kecolongan hujan lebih dulu di bulan Februari. Banjir di Ibu Kota Jakarta buktinya. Pun Juni yang secara klimatologis harusnya mewakili musim kemarau, justru didera hujan terus-menerus. Terbukti bahwa Hujan Bulan Juni-nya Sapardi bukan hanya imajinasi belaka. Secara intuisi, para penyair mungkin bisa berimajinasi lewat metafora-metaforanya, tetapi pada akhirnya mereka tak pernah bisa mengetahui kekuatan alam yang masih tersembunyi.***
* Firman Nugraha, Penyair, bergiat di SSP (Sanggar Sastra Purwakarta).
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 7 Maret 2009, modified in this sites at 11.08.2011
No comments:
Post a Comment