Oleh: Firman Nugraha
Tak bisa dimungkiri bahwa perkembangan teknologi telah pula turut serta memengaruhi perilaku manusia dalam berbahasa. Media informasi, khususnya yang berupa elektronik, menuntut manusia berpikir efektif dan efisien dalam menggunakan bahasa sehingga informasi yang disampaikan bisa cepat, singkat, dan padat. Hal ini tampak dari penggunaan bahasa pesan singkat atau yang biasa disebut SMS (short message service).
Fenomena penggunaan bahasa dewasa ini sedikit banyak ”menyimpang” dari kaidah-kaidah tata bahasa yang semestinya. Apa sebenarnya yang menjadi faktor munculnya fenomena ini? Apakah hukum alam mempunyai peranan penting dalam kemunculannya? Sejauh mana bahasa SMS bisa diterima sebagai suatu konvensi, bahkan jika perlu sebagai bahasa informatika?
Kenyataan memperlihatkan bahwa tak ayal kita mendapati kata-kata semacam t4 (tempat), dmn (di mana), ap kbr (apa kabar), dan lain sebagainya digunakan dalam SMS. Hal ini secara tidak disadari ternyata berkaitan dengan konsep hukum alam yang diungkapkan Kaum Atomis dan Newtonian. Mereka menganggap bahwa dalam usaha mencari dan menempati void (kehampaan), atom selalu mencari jalan yang sependek-pendeknya (via Wahab, 1991). Hukum ini berlaku pula dalam perilaku bahasa SMS. Pengirim pesan (encoder) selalu mengirim pesan (message) sesingkat mungkin kepada penerima pesan (decoder). Dalam proses pembentukan bahasanya, ada aspek kebahasaan yang patut untuk diperhatikan seperti fonologi, sintaksis morfologi, dan wacana.
Fenomena penggunaan bahasa dewasa ini sedikit banyak ”menyimpang” dari kaidah-kaidah tata bahasa yang semestinya. Apa sebenarnya yang menjadi faktor munculnya fenomena ini? Apakah hukum alam mempunyai peranan penting dalam kemunculannya? Sejauh mana bahasa SMS bisa diterima sebagai suatu konvensi, bahkan jika perlu sebagai bahasa informatika?
Kenyataan memperlihatkan bahwa tak ayal kita mendapati kata-kata semacam t4 (tempat), dmn (di mana), ap kbr (apa kabar), dan lain sebagainya digunakan dalam SMS. Hal ini secara tidak disadari ternyata berkaitan dengan konsep hukum alam yang diungkapkan Kaum Atomis dan Newtonian. Mereka menganggap bahwa dalam usaha mencari dan menempati void (kehampaan), atom selalu mencari jalan yang sependek-pendeknya (via Wahab, 1991). Hukum ini berlaku pula dalam perilaku bahasa SMS. Pengirim pesan (encoder) selalu mengirim pesan (message) sesingkat mungkin kepada penerima pesan (decoder). Dalam proses pembentukan bahasanya, ada aspek kebahasaan yang patut untuk diperhatikan seperti fonologi, sintaksis morfologi, dan wacana.
Dalam aspek fonologi bahasa SMS, ada proses pengurangan jumlah suku kata dan pengubahan bunyi baik sebagai akibat dari penghilangan bunyi vokal akhir ataupun vokal atau suku kata yang ada di tengah suatu kata. Istilah Ini biasa disebut apocope dan syncope. Kata-kata seperti aslm, (assalamualaikum), kbr (kabar), sy (saya), km (kamu), bls (balas), cpt (cepat), dan sebagainya adalah beberapa contoh dari penyimpangan fonologi. Kebanyakan bahasa SMS termasuk pada aspek ini.
Terkadang tampak pula modifikasi yang muncul di wilayah ini seperti penggabungan kata dengan angka yang bertujuan menyingkat suatu kata dengan tidak mengurangi maknanya. Contohnya adalah t4 (tempat), s7 (setuju (h)), s6 (senam). Sempat kita mendapati fenomena seperti ini pada kata-kata yang muncul di stiker-stiker beberapa waktu lalu seperti domba 3rut (domba tigarut atau domba ti Garut yang berarti domba dari Garut), dan lain-lain.
Selain itu, dalam aspek morfologi ada pembentukan kata dengan penggabungan dua kata dan memotong kata menjadi lebih pendek. Istilah ini disebut blending dan clipping. Contohnya, matkul (mata kuliah), ftkp (foto kopi), trims (terima kasih), lab (laboratorium), perpus (perpustakaan), dll. (dan lain-lain).
Kemudian dalam aspek sintaksis, ada proses pelesapan kata yang kebanyakan muncul dalam kalimat performatif seperti, pg (pagi), mlm (malam) yang ditulis di awal pesan dan sering kali diikuti tanda seru (!). Kata selamat ada kalanya diabaikan.
Fenomena penyingkatan dan pemadatan kata ini ditengarai oleh realita yaitu dunia (alam) informasi yang kita diami menuntut kita untuk bergerak lebih cepat dengan mencari jalan sependek mungkin dalam menyampaikan tujuan (berkomunikasi). Di sisi lain, tenaga dan upaya yang dikeluarkan pun menjadi lebih sedikit atau kecil.
Secara psikologis, fenomena ini juga memengaruhi mental pengirim dan penerima pesan. Encoder secara alamiah selalu memiliki prinsip maximum ease of articulation, pengirim pesan atau penutur selalu ingin menyampaikan pesan (dengan tenaga dan gerak alat artikulasi) sesedikit mungkin. Sementara decoder cenderung menerapkan prinsip maximum of perceptual separation, ia selalu berusaha memahami makna suatu ujaran (pesan) dengan kerja indera sekecil mungkin.
Untuk mempertemukan kepentingan dari encoder dan decoder lewat prinsip ini, diperlukan kompromi atau saling pengertian yang hanya bisa terwujud jika ada konvensi bahasa yang disepakati bersama-sama. Dmkn (demikian).
Firman Nugraha, pembelajar bahasa dan sastra
Dimuat di Pikiran Rakyat, 24 Jan 2010
No comments:
Post a Comment