Wednesday, May 2, 2012

Menikah Itu Bukan Main-Main

Cukup lama saya menyimpan pikiran ini. Bukan pikiran tentang keinginan untuk menikah; apa yang harus dilakukan di saat melamar; atau apa pun yang berhubungan dengan segala macam resepsi dan lain sebagainya.

Tetapi soal bagaimana pernikahan menjadi sebuah tanggungan yang harus dijawab segala beban dan masalahnya. Bukan hanya sebatas gerbang menuju hidup baru bersama Si Doi, menyatukan dua hati, membulatkan iman dimana saling mengisi dan saling pengertian dibutuhkan. Karena saya yakin, setelah apa yang saya lihat, itu hanya pemanis saja, semacam appetizer alias makanan pembuka sebelum kita menyantap main course-nya.

Memang, gairah seringkali mengalahkan logika sebagaimana yang dirasakan mereka yang merasa dirinya sudah dewasa. Sudah waktunya untuk hidup berdampingan dengan “tulang rusuknya”. Gairah yang sebatas kemauan yang besar dan menggebu, yang menciptakan tren nikah muda di kalangan masyarakat sekarang, tapi tidak punya pengetahuan bagaimana membina dan menjalankan keluarga.

Sebagian dari mereka mungkin akan berkata dengan lantang: “Ya, bagaimana kita tahu kalau kita belum menjalaninya? Justru kita bakal tahu jika nanti kita sudah menikah, sudah berkeluarga.” Jawaban itu mungkin sah-sah saja. Memang, kita belum tahu bagaimana rasanya membina keluarga sebelum kita menjalaninya sendiri. Bagi yang bisa menjalani dan berhasil menciptakan keluarga yang katanya sakinah mawadah warohmah, saya ucapkan selamat! Bagi yang belum, mungkin inilah saatnya untuk sejenak merenung. Bercermin pada diri sendiri atas apa yang akan dan sudah dicita-citakan, diinginkan dan digairahinya.

Dalam budaya Sunda kita mengenal tips dalam memilih pasangan lewat istilah bibit, bebet, dan bobot-nya. Bibit artinya, kita mesti tahu dari mana pasangan kita berasal. Mulai dari siapa dan seperti apa orang tuanya, bagaimana latar belakang dan lingkungannya, yang selanjutnya akan berpengaruh pada sikap dan sifat hidupnya (bebet). Yang terakhir adalah bobot. Ini bisa diartikan sebagai berat, beban atau kualitas. Ketiga ukuran ini jelas tidak ada hubungnya dengan berat badan, tetapi seberapa berat cinta dan kasih sayangnya terhadap diri sendiri dan pasangan hidup juga anak-anaknya sampai akhir hayatnya.

Sengaja istilah ini ada karena memilih pasangan bukanlah perkara main-main. Butuh waktu dan pertimbangan untuk memutuskan siapa dan seperti apa pasangan hidup kita nanti. Tidak bisa hanya sebatas cantik atau tampan dan baik saja dengan akreditasi A. Tapi lebih dari itu! Malah dalam Islam pun Rosulullah sudah jauh-hauh hari memberikan tips memilih jodoh. Kita bisa memilih seseorang dari rupanya (fisik), kehormatannya, keluarganya, hartanya dan yang terakhir, agamanya. Fisik itu penting! Karena jika nanti kita sudah menikah, kita bakal melihat muka yang sama setiap hari. Bersama-sama hidup di rumah yang sama: tidur bareng, bangun bareng, makan bareng, dsb. Mau tidak mau kita harus tahan dengan wajah yang itu-itu saja, sampai akhir hayat kita.

Akan tetapi yang ingin saya sorot di sini, yang menjadi inti dari tulisan ini, yang juga berdasarkan pada apa yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri di kehidupan nyata adalah, bagaimana menikah dan berkeluarga justru menjadi bumerang bagi mereka yang hanya sebatas ingin saja, sebatas gairah saja dengan dalih bahwa jika tidak menikah, maka dia khawatir akan melakukan perbuatan dosa. Tidak bisa lagi menjaga pandangan apalagi kemaluannya. (Anda paham maksud saya.)

Saya punya teman. Dia menikah muda. Katanya, menikah itu enak. Yang tidak enak –ini adalah apa yang saya lihat darinya—adalah, dia menikah dengan perempuan yang lebih tinggi derajatnya. Bilanglah lebih tinggi pangkat dan jabatannya, lebih kaya dan mapan hidupnya, juga keluarganya. Keadaan ini membuat dia minder, saya yakin. Bagaimana mungkin seorang suami memiliki istri yang lebih unggul dalam masalah kehormatan, jabatan, pangkat apalagi finansial?

Adalah hal bodoh jika ada yang masih berkata rezeki itu urusan nanti. “Justru kalau kita sudah menikah, rezeki itu pasti bakal datang,” begitulah kebanyakan orang berkata. Sesungguhnya, tidak! Rezeki itu penting. Para calon suami mesti mengumpulkannya terlebih dulu, baru menikah. Karena bagaimanapun, harta itu menentukan tinggi rendahnya kehormatan dan kemuliaan seseorang. Lewat harta itu artinya dia bekerja dengan keras, yang pada akhirnya meninggikan derajatnya, bisa lebih mapan lagi menyayomi istri dan anak-anaknya.

Di sisi lain, ada juga pasangan suami-istri di lingkungan saya tinggal sekarang. Jika dilihat sepintas, seolah semua baik-baik saja. Tapi jika diperhatikan lebih cermat, ada yang salah di sana. Sebuah kesalahan pernikahan. Entah apa karena Sang Suami tidak paham atau tidak peduli dengan keadaannya, saya tidak tahu. Tapi saya pikir, masa iya dia tidak ngerti , padahal anaknya sudah banyak seperti itu? Saya yakin kalau setiap orang mengerti kata-kata ikrar yang diucapkan ketika ijab kabul di saat pernikahan. Di sana dia berjanji akan melindungi, menjaga, memberi pangan, sandang dan papan bagi keluarganya.

Kenyataannya, tidak hanya satu atau keluarga saja, tapi banyak. Yang saya lihat, justru para istrilah yang malah memberi semuanya itu pada keluarganya. Mereka berjualan, berdagang, membuka warung nasi dan warung kopi yang saya pikir menghasilkan penghasilan yang lebih besar. Sedang para suaminya, mereka bekerja sebagai tukang ojeg, tambal ban, malah ada juga yang tidak bekerja sama sekali. Apakah dia lupa dengan apa yang diikrarkannya? Jika benar dia lupa, tidakkah itu artinya dia sudah melanggar janji yang diucapkannya sendiri? Dia sudah main-main dengan pernikahan?  

Barangkali kita harus meredefinisi arti kata dewasa. Apa dan seperti apa dewasa itu sebenarnya? Apakah seorang suami bisa dianggap dewasa sedang dirinya sendiri tidak, atau mungkin belum, bisa menepati ikrarnya itu? Apakah bisa disebut dewasa jika Sang Istri bekerja tapi Sang Suami bisanya hanya tidur saja? Di mana harga diri seorang laki-laki jika benar seperti itu? Sudah dewasakah suami semacam itu?

Kita tahu laki-laki adalah imam, adalah pemimpin. Syukur-syukur jika sang istri memang mengerti. Tapi apakah itu artinya dia juga ikhlas dengan keadaan yang mau-tidak-mau harus diterimanya? Dengan keadaan suaminya itu? Pemimpin tidak hanya jago soal ibadah, mengurus rumah, dll, tapi jago dalam segala hal. Dia harus lebih unggul, lebih depan. Janganlah emansipasi wanita menjadi sebuah alibi untuk membenarkan keadaan ini. Lagpula, bukan tempatnya!

Pepatah berkata bahwa di setiap kesuksesan seorang laki-laki, di baliknya pasti ada seorang perempuan. Sayangnya, kenyataan yang saya ceritakan tadi menegasi semuanya. Di sana, para istrilah yang justru lebih maju ketimbang suaminya. Lebih aktif, lebih  kreatif. Tidak bisa para suami hanya bisa menerima keadaannya begitu rupa. Tidak bisa diam. Kalapun diam, mau sampai kapan? Dia harus bangkit dan memperbaiki nasibnya semata-mata untuk menepati janjinya hingga dia bisa benar-benar menjadi seorang pemimpin. Tidak hanya bagi keluarganya, tapi bagi diri sendirinya juga. Jika tidak, itu sama saja artinya: Dia sudah main-main dengan pernikahan. Main-main dengan hidupnya sendiri sampai-sampai mempermainkan hidup orang lain, istri dan anak-anaknya!

Barangkali, kenyataan ini hanya ada di sekitar lingkungan saya saja. Di lingkungan Anda, saya tidak tahu. Mungkin inilah waktunya bagi Anda untuk “membaca”; atau, mungkin sudah? (FA ) 

Gambar: http://www.alaminkorea.com/index/?p=513

No comments:

Post a Comment