Monday, May 21, 2012

Tikus

Uded tak habis pikir, bagaimana mungkin akhir-akhir ini dia bisa bertemu dengan banyak tikus. Tikus-tikus ini tidaklah berdasi melainkan hanyalah tikus dengan perawakan yang sederhana. Tikus berkemeja, tikus bersandal, tikus berkendara, bahkan ada juga tikus yang berkopiah.

Awalnya Uded tidaklah terganggu, karena dia berpikiran bahwa tikus juga makhluk, sama-sama ciptaan Tuhan. Dan, “bukankah sesama makhluk itu dilarang untuk saling mengganggu?” begitu dia berkata pada dirinya sendiri.

Tapi makin lama, bahkan sebelum melihat tikus-tikus ini bertingkah, dia sudah geram lebih dulu. Betapa tidak? Tikus-tikus itu datang tanpa permisi dan pulang tanpa pamit. Mereka berkumpul dengan orang-orang tanpa pandang bulu. Mereka ikut berdiskusi dan melontarkan pendapat seolah menyatakan keberadaannya dengan berkata: “Saya ini tikus, dan perhatikanlah saya berbicara!”

Uded sendiri pernah didatangi seekor tikus di rumahnya. Dia terkejut ketika suatu malam tikus sudah berada di depan pintu rumahnya, tepat ketika dia hendak membuka pintunya itu. “Astagfirullah,” batinnya berkata sambil mengusap dadanya. 

“Apa kabar, Saudara? Kita ngobrol, yuk?” ajak tikus itu.

Uded tidak bisa menolak. Setikus-tikusnya tikus, dia tetap saja tamu. Seorang raja yang harus dijamu. Maka Uded pun mengobrol dengan tikus itu dengan tema pembicaraan yang tak jelas arahnya. Sungguh hebat tikus ini, pikirnya, kata-kata tak habis dari mulutnya. Sedang, Uded sendiri hanya bisa mendengarkan dengan telinga yang sudah jatuh entah ke mana. Hanya jam dinding saja yang diperhatikannya. Jarum-jarum yang terus bergerak dengan lambat tapi pasti menunjukkan jam dua belas tengah malam.

“Apakah tikus ini memang bukan makhluk yang peka?” tanyanya  dalam hati seraya bola matanya mulai memerah. Mestinya tikus itu tahu kalau dia sudah tidak lagi konsen mendengarkan semua tutur katanya. Uded jadi serba salah. Tak mungkin dia mengusir tikus yang menjadi tamunya itu, selain hanya terdiam saja, sesekali mengangguk tanpa tahu apa yang dianggukannya itu.

Setelah tikus itu pamit pulang, mungkin karena pekerjaan yang lain sudah menuggunya, Uded membesitkan ketidak-yakinan di benaknya. “Apa benar tikus itu tidak peka, tidak sensitif?  Jika tidak, mengapa tikus itu dan tikus-tikus yang lain suka lari terbirit-birit jika merasakan gerak-gerik seseorang mengetahui keberadaanya?” Entah bagaimana Uded harus menjawabnya, dia tidak tahu. Andai saja matanya tidak menyerah oleh malam dan kelelahan, mungkin dia masih bisa untuk mengusahakannya. Tapi tetap, pertanyaan ini, bagaimanapun, harus dia pecahkan.

Keesokan hari, ketika dia sampai di tempat kerja, belum didapatinya siapa pun di ruang kantornya. Dia pun lantas duduk menunggu setelah sebelumnya menyeduh kopi sendiri. Betapa terkejut Uded. Entah kapan makhluk itu masuk, tapi tikus itu tiba-tiba sudah ada di samping kursinya. Tikus itu duduk dan mulai bekerja seakan tidak ada orang di sana. “Sungguh tikus yang anti-sosial,” pikir Uded, “apa mentang-mentang dia sudah lebih dulu bekerja sampai-sampai ucapan salam pun tidak sempat di dengarnya. Uded mengerti, dia bukanlah siapa-siapa di tempat kerjanya itu. Tapi dia pikir, sopan santun itu tidak mengenal siapa-siapa. “Mungkinkah tikus itu tidak pernah makan sekolahan?” tanyanya kemudian.

Lagi, sebuah pertanyaan muncul di benaknya: “Apakah tikus itu pilih-pilih teman atau tidak?” Dekat pada yang lain dan tidak pada yang lainnya?” Tapi jika begitu, mengapa Uded melihat tikus itu dekat dengan semua orang di kantornya, kecuali dia. Atau, apa mungkin antara tikus dan dirinya tidak ada hubungan sama sekali, bahkan masalah kantor sekalipun? Belum pun pertanyaan semalam dijawab, pertanyaan lain sudah muncul dan benar-benar mengganggu hidupnya.

Di kantornya itu memang tidak hanya ada orang-orang, tapi juga tikus-tikus. Keduanya hidup bersama-sama di bawah atap yang sama. Bahkan ada suatu waktu dimana Uded sendiri sampai-sampai tidak bisa membedakan mana yang orang dan mana yang tikus. Tidak semua tikus itu mengagetkan, dan tidak pula semua tikus itu tidak peka. Misalnya saja, ada tikus yang dikenalnya.

Tikus ini selalu terlihat ceria. Dia tertawa dan memiliki mulut yang manis seakan selalu mengunyah permen setiap saat. Tak hanya itu, tikus itu pun terbilang tikus pekerja keras. Tak hanya siang tikus ini bekerja, tapi juga malam. Dari apa yang Uded tahu, seseorang berkata bahwa tikus yang ini memang senang sekali mengumpulkan amplop. Apa pun kegiatannya, entah itu kegiatan sosial atau keagamaan, asal ada amplop tikus itu akan selalu kelihatan batang hidungnya. “Jadi jangan heran,”  teman kantornya berkata.

“Apakah makhluk-makhluk semacam itu banyak di sekitar sini?” tanya Uded suatu hari pada teman kantornya.
“Wah, banyak sekali Pak Uded. Terlebih menyebutkan, membicarakannya saja sepertinya tidak akan ada habisnya,”  temannya tersenyum simpul.
            “Memang seperti apa sih makhluk itu?” Uded penasaran.
            “Ah, nanti juga Bapak tahu sendiri,” tukasnya, “saran saya, cobalah dekat saja dulu dengan mereka, jangan pilih-pilih, biar nanti Bapak merasakan sendiri seperti apa mereka ini. Kalau saya sih, terlebih luarnya, dalamnya saja sudah ketahuan semua. Makanya saya bisa membedakan mana yang benar-benar tikus dan mana yang benar-benar orang,” pembicaraan diakhiri dengan gelengan kepala tanda nyinyir.

Uded pun memutuskan. Mengingat susahnya Uded membedakan mana yang tikus dan mana yang orang, akhirnya dia pun mengambil langkah untuk melihat mereka dari penampilannya. Baru saja dia berniat seperti itu, tiba-tiba datang seorang tikus. Semua ciri-ciri tikus ada padanya, sebagaimana semua ciri-ciri orang. Tikus itu menggunakan sandal ke kantor, tapi juga menggunakan dasi. Dia tidak mengagetkan melainkan memberi salam. Dia tertawa tapi juga kadang terlihat sedang berpikir. Karena menurut Uded, hanya orang saja yang berpikir, dan tidak tikus.

Kepenasaran pun membuat Uded mendekatinya seraya ingin membuktikan apakah makhluk yang satu ini tikus atau orang. Tentunya, tidak mungkin ada seorang tikus, karena jika demikian, ras manusia akan terancam seandairnya mahluk yang satu ini nanti melahirkan keturunan. Manusia tidak lagi akan menjadi makhluk mulia sebagaimana aslinya. Malah bukan tidak mungkin ras manusia tergantikan dengan ras setengah hewan dan setengah orang. Dan itu namanya kiamat!

Apakah tiga buah bukti cukup untuk bisa menyimpulkan? Satu tahun sudah Uded berkenalan dengan tikus yang satu ini; walau, Uded tetap menjaga jarak. Pembuktian, hanya itu yang Uded lakukan. Tapi, betapa susah untuk Uded menyimpulkan makhluk yang satu ini. Oposisi biner ada di dalam dirinya, dan itu adalah sebuah anomali, pikir Uded.

Sampai pada akhirnya, seiring kerja sama yang digelutinya bersama tikus itu, Uded pun berkata pada dirinya bahwa makhluk itu memang tikus. Tikus berkemeja, tikus berkendara, tikus yang punya mulut manis dan suka mengagetkan. Bukan mengagetkan dalam hal sepele, tapi lebih dari itu. Tikus itu ternyata tak hanya pernah dan sedang makan sekolahan, tapi tikus yang satu ini juga memakan orang-orang yang ada di sekolahan itu. Tidak hanya pegawai bawahannya saja, tapi juga, secara tidak langsung, seluruh keluarga pegawai itu.

Mengetahui itu, Uded lari terbirit-birit. Dia masuk ke dalam lubang tikus yang gelap dan mulai menangis. Sebenarnya, Uded tidaklah takut dengan tikus-tikus yang dikenalnya di tempat kerjanya. Justru, Uded takut dengan dirinya sendiri. Seraya air mata menggenang di pelupuknya, membasahi pipinya, menggenangi lubang hitamnya, Uded lirih berkata:

“Ya Tuhan, apakah aku ini tikus, atau orang? Sungguh, Tuhan, aku takut sekali. Ketakutanku bukanlah tikus-tikus yang berkeliaran di luar sana itu, tapi pada diri sendiri seandainya aku memang tikus. Dari pada menjadi seorang tikus, lebih baik akumenjadi seekor tikus yang benar-benar tikus saja. Tikus hutan, dan bukan tikus peradaban!”

Dalam peraduannya yang gelap dan hitam, yang larut malam, di saat dia menangisi dirinya sendiri karena ketakutan yang ditakutinya itu, tiba-tiba sedering nada pesan singkat mengagetkannya, mengganggu kekhusyuannya. Dibukanya kotak pesan di telepon genggam dan didapatinya sebuah nama, pemimpin perusahaan, berkata:

“Aslm. Staff, besok ditunggu di kantor untuk rapat membahas persiapan standardisasi perusahaan (ISO) pukul 09.00.”

Membaca itu Uded mengernyitkan dahi seraya berkata: “Bukankah besok itu hari libur nasional?” (Fim Anugrah/"Saswaloka")

Subang, Mei 2012


No comments:

Post a Comment