Saturday, May 26, 2012

Kesenduan Sastra Hijau: Ekokritik Dalam Kritik

Oleh: Michael P. Cohen

Environmental History 9.1 (Jan. 2004): 9-36

Berdiri di persimpangan jalan, matahari terbit terbenam
Meratapi simpang jalan pagi ini, Tuhan, sayang aku
tenggelam

--Robert Johnson

Sejarawan lingkungan dan ekokritikus—para sarjana  yang menggabungkan teks sastra dan kritik sejarah tentang alam—berbagi pemikiran yang sama. Banyak penulis yang kemudian menyebut dirinya sebagai sejarawan lingkungan atau pakar ekokritik mulai membaca karya-karya pasca Perang Dunia II, yang kemudian berkesempatan membuka tradisi penyelidikan antara keduanya. Dipimpin oleh sejarahwan dan kritikus sastra, buku-buku ini secara serempak mengetengahkan sebuah sejarah dan pemikiran orang-orang barat Amerika.

Sejarawan lingkungan John Opie melacak ketertarikan akademiknya terhadap sejarawan intelek, Perry Miller. Begitupun dengan saya. Lewat karya Virgin Land-nya Henry Nash Smith (1950), muncul sebuah kesadaran atas perbedaan antara yang dibayangkan, simbol barat dan aktualitas, dan keterbatasan faktor-faktor lingkungan. Lewat The Machine in the Garden-nya Leo Marx (1964), muncul juga sebuah premis bahwa budaya melihat negerinya berdasarkan hasratnya, dan hal ini sampai pada cita-cita orang dusun dalam imajinasi orang Amerika. Lewat Exploration and Empire-nya William Goetzmann’s, muncul sebuah tesis bahwa budaya mendapatkan apa yang dicarinya. Sama halnya lewat Wilderness and the American Mind-nya Roderick Nash (1967), muncul sebuah gagasan bahwa hubungan struktural antara pikiran dan tanah air didapat secara langsung dari diskusi di konferensi hutan belantara Klub Sierra. Sejarawan dan kitirkus sastra sama-sama membahas buku-buku ini. Pada waktu yang sama ketika para penulis telah mengeksplorasi bagaimana kita membayangkan dimana kita tinggal dan apa yang sudah kita lakukan terhadap hidup dan kehidupan di alam semesta ini, dalam tradisi ini mereka dan para penulis lainnya juga peduli untuk mengevaluasi dan menjaga semesta ini.   


Opie juga menyampaikan “ketertarikan terhadap sesuatu hal yang tidak bisa dijelaskan seperti halnya sejarah lingkungan,” dimulai olehnya dalam sebuah perjalanan panjang ke Barat dan hutan rimba. Lantas “proteksi hutan rimba pun kekurangan perspektif sejarah,” tambahnya. Ketika dia menyelanggarakan seminar di AHA pada tahun 1972, 1973 dan 1976, dan di Asosiasi Peneliti Amerika (American Studies Association) di tahun 1975, dia berkenalan dengan beberapa kolega: Donald Hughes, Samuel Hays dan Donald Worster.

Di saat ada kalanya sejarawan dan kritikus sastra bergerak melampau tradisi sastra dan studi historis alam dan budaya Amerika yang bersilangan atas pertanyaan tentang bagaimana caranya bersikap dengan bijak, banyak yang sekarang belajar untuk memberitahukan bahwa orang-orang berhak hidup dengan pantas, atau seperti yang biasa kami sebut sekarang, bertahan (sustainably).

Seperti halnya sejarawan lingkungan, ekokrtitikus membaca karya Clarence King, John Wesley Powell, John Muir dan Mary Austin. Kami juga membaca biografi mereka. Sarjana seperti Annette Kolodny menambahkan gender (jenis) dalam pembacaannya. Ekokritikus Cheryll Glotfelty, yang meneliti Sarah Orne Jewett sebagai lulusan sarjana, mulai mengeksplorasi perbedaan pengetahuan yang bersaing di bidang yang sama dan memberi hasil pada penyimpangan nilai-nilai gender atas tempat-tempat tersebut. Sarjana sastra, seperti sejarawan, telah mencapai disiplin ilmu lain untuk memahamai perbedaan pengetahuan itu. Kenyataan tersebut pada akhirnya membutuhkan suatu penjelasan.

    
Apa yang Ekokritikus Lakukan?

Ekokritik memfokuskan diri pada karya sastra (dan artistik) atas pengalaman manusia khususnya secara natural dan konsekuen di dunia kultural ini: senang akan kemakmuran, dukacita akan perampasan, harapan untuk hidup hormonis, dan ketakutan akan kehilangan dan bencana. Ekokritik punya sebuah agenda. Layaknya teoritikus film feminis berkata pada seorang ahli semiotika kelahiran Israel di sebuah novel tentang kehidupan akademis, “Ekokritik itu baru, dan masih mencari bentuknya, tapi dia menawarkan pandangan yang luas tentang hidup dan tempat tinggal di alam. Ekokritik dapat melepaskan keterikatan Anda sekarang, keterperangkapan definisi yang tertutup atas budaya yang hanya mencerminkan keburukan Anda sendiri akan rasa takut dan rasa puas sendiri yang terlalu egois.” Tanggapan yang didapat tidaklah mengejutkannya: “Budaya adalah sebuah tempat perlindungan hidup di alam, bukan bagian dari padanya….” Dalam ekokritik, kedudukan menempatkan dirinya sendiri sebagai persona. Begitu juga suara ekokritik yang berbicara sebagai perempuan Amerika di sini, berbicara seolah dia adalah alam dan seolah dia sedang berbicara pada budaya. Ketika budaya membubarkan kedudukannya, dan dirinya, proses yang terjadi akan tempat seperti tengah mengalahkan dirinya sendiri. Jika Anda ingin menjadi seorang ekokritikus, siap-siaplah untuk menjelaskan apa yang Anda lakukan mengkritiklah, jika tidak mau disindir.

Alih-alih mendefinisikan ekokritik pada pertemuan pertama di Inggris 745: Seminar Ekokritik dan Teori—mata kuliah metode yang dianjurkan bagi para mahasiswa yang memusatkan diri pada sastra dan lingkungan di Universitas Nevada, Reno–saya mempertanyakan beberapa pertanyaan dasar:
           
            Apa yang ekokritikus baca?
            Bagaimana ekokritikus membaca?
            Apa landasan metode yang mereka digunakan?
            Dari mana mereka mendapatkan sumbernya?
            Bagaimana mereka menuliskannya?
            Kontribusi macam apa yang mereka hendak ingin buat?
            Bagaimana mereka menerima kritikan atas metodenya?

Saya ajukan pertanyaan dasar ini karena masuk ke dalam dunia kontroversi kritik membutuhkan pemahaman dimana kedudukan itu berasal. Gerald Graff menyebut teknik ini dengan sebutan “belajar dari kontroversi” dan berkata bahwa hal ini bisa jadi menawarkan solusi terhadap “polarisasi debat kusir di masa kita.” Dia berharap semoga strategi ini menjadi sebuah model tentang bagaimana kualitas budaya debat di masyarakat kita bisa lebih baik lagi.” Saya berharap semoga ekokritik mau belajar dari kontroversi.

Maka saya pun mengklaim jika ekokritik tidaklah imun (kebal) dari argument kontemporer soal budaya. Saya menambahkan keterangan tentang inkuiri etis bersama kerja karya dari Geoffrey Galt Harpham. Etika tidak memberi jawaban yang mudah, sebagaimana yang Harpham tunjukkan; kita harus membangun kritik etis sebagai tempat kita berpikir. “Etika itu lebih pada poin dimana sastra bersinggungan dengan teori, poin dimana sastra menjadi menarik secara konseptual dan teori menjadi sangat humanis.” Sebagai konsekuensinya, “etika tidaklah menyelesaikan masalah, etika justru menstrukturkannya.” Dengan kata lain, atau setidaknya secara etimologi, teori ekokritik menyusun kerangka diskusi sastra lingkungan, menjelaskannya dalam saing, sejarah, dan filsafat, seraya mengkritisi sumber-sumbernya. Sebaliknya, ekokritik bisa menjadi tempat dimana sastra bertemu dengan anggapan populer dan memiliki lebih banyak lagi anggapan ketimbang perhatian sosiologi dari pandangan profesor sastra yang belum diuji yang juga merupakan environmentalis amatir.     

Akar Personal: Sebuah Contoh dari Glen Love

Ketika Glen Love, seorang profesor Inggris di Universitas Oregon, mempertimbangkan bagaimana dirinya menjadi seorang ekokritikus professional, dia mengetengahkan dua buku yang memperngaruhinya di awal tahun 1960-an: The Machine in the Garden (1964) karya Leo Marx  dan buku bestseller Silent Spring (1962) karya Rachel Carson. Love ketakutan oleh parable ramalan yang Carson hantarkan, bahwa “Orang-orang sudah melakukannya pada dirinya sendiri,” tapi dia juga kaget oleh Marx, yang terkesan seperti sebuah “epitaf prematur yang jelas terhadap pikiran dan budaya tempat tinggal alam di Amerika…. Pada musim gugur yang Marx sampaikan di akhir buku, ide soal pedesaan dijelaskannya sebagai ‘melepaskan… kebanyakan, jika tidak semua, semua makna,’ seorang korban atas ‘realitas sejarah’ yang tidak bisa ditawar-tawar.” 

Love menganggap bahwa Marx “benar dalam menggambarkan peristiwa atas dominasi peningkatan peradaban mesin di Amerika.” Tapi Marx memperingatkan akhir alam lingkungan; Carson menangkap sesuatu lebih dalam, “kompleksitas ekologi alam, kemustahilan control yang sempurna dari manusia, dan sifat keras kepala yang dengannya orang Amerika mampu menentang segala macam penolakan ke dalam sejarah dan sastra yang Marx sebut sebagai “akar konflik budaya kita.” Buku Marx terbit di tahun yang sama sebagaimana halnya kemunculan Aksi Hutan Rimba, ditulis dalam bahasa yang mengakui “peningkatan populasi, disertai dengan perluasan tempat tinggal dan pertumbuhan mekanisasi,” juga menjelaskan area di Amerika Serikat sebagai “tempat dimana bumi dan komunitas kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari manusia, dimana manusia itu sendiri berperan sebagai tamu yang tidak menyadari dirinya sendiri. Love percaya, seperti halnya Carson, bahwa “fungsi paling penting sastra dewasa ini adalah untuk mengalihkan kesadaran umat manusia untuk mempertimbangkan dengan penuh perihal tempat tinggalnya di dunia natural yang terancam.” Tugas ini menuntut komitmen etis personal, walau dia juga merasakan metode intelektual Marx yang membimbingnya jadi bagian dari kehidupan profesionalnya. 

Terperangkap antara pemikiran Marx dan Carson, Love tidak punya cara cepat untuk keluar dari dilemma ini. Ekokritik pun menawarkan carabta, sebagai sebuah inkuiri sastra yang “meliputi non-manusia sebagaimana konteks dan pertimbangan manusia.” Jika postmodern mendesak bahwa tidak ada wacana atas hak-hak istimewa, Love dengan rela memberikan hak istimewa dari bentuk-bentuk tertentu.    

Bayangkan jika ekokritik berkembang dalam batasan ruang-desain yang menyertakan wacana hak-hak istimewa tertentu. Sebut saja ruang itu adalah lanskap ekokritik. Bayangkan jika lanskap ini disusun bukan oleh seorang ahli biologis Carson atau Aldo Leopold, tapi oleh sebuah tradisi studi sastra Amerika yang mencakup Marz, Hendy Nash Smith, dan Roderick Nash. Marx sendiri mewarisi jejak pedesaan sebagai bagian dari wacana dimana di dalamnya ada kutub sepanjang kesatuan liner atas lanskap yang memungkinkan, dari hutan belantara sampai kebun. Marx memproyeksikan posisi ideologi dimana para pembicara muncul. Bagi kami hal ini telah menjadi pembicara dari masalah hutan belantara sampai peradaban, atau secara berututan dari alam ke budaya; sebagaimana dipahami dalam istilah politik, dari preservasi ke konservasil; atau dalam istilah filosofis, dari biosentris atau ekosentris ke antroposentris; atau seperti yang diwariskan dari Frederick Jackson Turner, dari Barat ke Timur. 

Ekokritik telah didefinisikan sebagai karya para sarjana yang “lebih memilih untuk berjalan.” Istilah ini diambil dari bahasa Thoreau, terutama sebagaimana yang ditemukan di “Walking,” untuk membicarakan alam, kebuasan, dan Barat, seraya menyatukan istilah-istilah ini. Ekokritik menemukan posisinya oleh penyatuan bahasa yang dekat dengan kebuasan, alam natural, biosentris, dan kutub barat. Seperti suara dalam “Walking,” ekokritik menemukan kedudukan dan relasi terhadap masyarakat urban. Perhatian pokok-pokok masalah soal gender, ras, kelas, dan etnisitas telah memperbaiki ekokritik dalam posisinya di dalam ruang desain, atau, berani saya katakana, ekokritik mewariskan konstruksi kultural. Sampai sekarang, ekokritik tidak mengganggap jika garis-garis besar pemberian alasan itu akan bersilangan, berkonfrontasi, dengan perhatian yang diwariskannya. 

Banyak ekokritikus juga membayangkan evolusi atas lanskap yang mereka representasikan sebagai sesuatuyang telah hilang dari alam ke budaya dalam satu jalan setapak, “menuju ke keadaan yang buruk,” seperti Dave Foreman, ketua pendiri Earth First!, sampaikan. Perhatikan, jalan ini bisa jadi atau bisa tidak menjadi jalan yang benar atas sejarah! Maksud saya adalah bahwa halini adalah posisi yang berpengaruh dalam ekokritik. Untuk membubarkannya seperti halnya para penyangkal dan apokalis yang mungkin meyederhanakan permasalahannya, memberi pernyataan tentang dunia. Ekokiritk tentunya menyanyikan sesuatu ibarat blues: “ Kekasihku meninggalkanku dan pergi ke kota…. Oh kumohon kembalilah….”

Kenang-kenangan Glen Love membuka tantangan yang besar bagi ekokritik, kemampuannya untuk bertahan pada program sosial dan politik seraya menerima kritikan atas caranya membangun persoalan etis. Satu hal yang saya ambil dari rekognisi kepentingannya dari Marx adalah kesimultanan kemunculannya atas usul preservasinya yang  modern (bahkan terkesan nostalgik), untuk laskap belantara dan/atau pedesaan, dengan kritikan-kritikan ideolgis di belakang usulannya, dan sebaliknya. Dengan kerangka usulan dan kritikan ini, seseorang bisa memasangkan The Practice of Wild-nya Gary Snyder dengan “The Trouble With Wilderness-nya” William Cronos, dan Landscape and Memory-nya Simon Schama dengan The Environmental Imagination-nya Lawrence Buels. Yang lebih baru lagi, The Truth of Ecology-nya Dana Phillips yang menawarkan kritik panoramic ekologi dan kritikan. 
Di semua disiplin ilmu, kedudukan muncul dalam cara quasi-dialektis. Di sini, ekspresi akan kepentingan tindakan sosial dipertemukan di awal oleh kritik, menyarankan bahwa ekokritik harus bisa menerima bentrokan kedudukan dan bersiap-siap untuk mengkritik metodologi dan program kritisnya sendiri, dengan tidak menghilangkan “karya nyata-nya”.   

Ekokritik memang telah menjadi retrospektif. Salah satu contohnya barangkali pengantar Writing for an Endangered World-nya Lawrence Buels. Untuk pernyataan akuratnya Buels, saya ingin membuat kasus yang lebih kuat lagi untuk kerja interdisipliner dan untuk studi kasus berbasiskan tempat tinggal. Tidak perlu kita berpikir seperti seorang ilmuan (atau ekonom atau teoretikus) tapi kita harus tahu bagaimana cara mereka berpikir.


(Bersambung)

Diterjemahkan oleh Firman Nugraha untuk laman http://www.asle.org/site/resources/ecocritical-library/intro/blues/

Picture: EDEN_for_Gaia_09_by_Izobalax

2 comments:

  1. terimakasih untuk bacaannya. oh ya saya ingin tanya, sudah adakah buku tentang Ekokritik di indonesia? berbahasa indonesia tetnunya, saya juga sedang mendalami tetntang Ecocriticism uuntuk penelitian saya. terimakasih.
    ammar-yogyakarta

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama. Senang bisa membantu. Sejauh yang saya tahu, belum ada buku berbahasa Indonesia yang membahas soal ekokritik. Begitu juga dalam bahasa Inggris--dalam artian, yang benar-benar menjadikan ekokritik sebagai kajian ilmu independen, kecuali sebatas antologi penelitian di jurnal-jurnal.

      Terima kasih sudah mampir.

      Delete