Monday, May 21, 2012

Tetangga Wartawan Kerajaan Sumedang

Ingin kuceritakan seperti apa tetanggaku ketika aku masih di kamar yang dulu. Kamar kecil kedua dari kanan dan tak cukup indah dipandang itu. Bukan tetangga yang berada di kananku –mereka adalah sebuah keluarga muda: bapak yang berasal dari Jawa dan Ibu yang berasal dari desa perbatasan, dengan balita perempuannya yang masih kecil.

Tentunya, mereka sekarang sudah tidak ada lagi di sini. Mereka pindah ke rumah keluarga asalnya, entah di mana. Sedang kamarnya, sudah didiami oleh keluarga yang lain. Seorang istri muda dan seorang suami gagah berbadan kekar. Tapi, bukan mereka yang bakal aku ceritakan. Aku ingin menceritakan tetangga yang dulu sempat tinggal di sebelah kiri kamarku. Sebuah keluarga yang sedikit lebih memiliki keunikan menurutku.

Sebetulnya, tak sampai satu minggu setelah kedatanganku ke kontrakan ini, sebuah keluarga mengisi kamar itu. Kamar yang si empunya tidak pernah menawarkannya padaku, entah apa alasanya. Aku tak mengetahui secara langsung bagaimana keluarga itu pindah, karena pada saat itu aku memang lebih banyak menghabiskan waktu di Djati di rumah temanku, dan di sekolah. Yang aku tahu, sebuah sepeda motor sudah berada di depan kamar itu dengan seorang bapak yang entah mengerjakan apa pada motornya itu.


Seperti halnya perilaku masyarakat desa yang sudah mulai individualis, aku pun merasa tak punya kepentingan dengan mereka. Aku tak menyapa atau bersikap sok dekat dengan mereka. Tak mau dan tak perlu. Tak ada urusan. Pendidikan yang tinggi dan pengertian memang tidak bisa diandalkan dan tidak juga bisa menjadi tolak ukur di dalam masyarakat yang seseorang baru masuki. Malah, akusempat berpikir: orang kota individualis itu wajar, tapi kalau orang desa individualis, itu namanya kurang ajar. Pendidikan tinggi tidak punya, pengertian tidak semua orang ada, sibuk bekerja pun tidak, tapi perilaku sudah individualis. Apa yang bisa dibanggakan? Beginilah kalau peradaban diterima dan langsung di masukkan ke dalam kepala tanpa disaring terlebih dulu. Hasilnya manusia yang nanggung. Jadi orang desa tidak, orang kota pun jauhnya luar biasa.

Sikapku ini setidaknya berbanding, bahkan mungkin lebih dari itu, dengan apa yang aku alami selanjutnya. Sebuah peristiwa pun menegaskan apa yang aku curigai, menambahkan sifat manusia pada daftar buruk derajatnya.

Kubuka pintu kamar dan masuk. Terkejut aku dibuatnya. Kudapati beberapa ekor kodok diam di sudut-sudut kamarku. Kejijikanku pada binatang itu membuatku geram, marah. Dengan terjijik-jijik, kutangkap kodok-kodok itu menggunakan kertas koran dan secepat itu melemparkannya ke sungai di depan kontrakan.

Awalnya hanya satu kodok, tapi ternyata aku mendapatkan lebih banyak dari sebelumnya. Benar-benar aku marah saat itu, pada kodok. Kulemparkan mereka dengan setelah melepaskan pakaian dan telanjang dada, kecuali celana panjang yang masih tetap pada tempatnya. Tiba-tiba ketika aku hendak masuk kamar, bapak yang tadi membetulkan sepeda motornya berseloroh padaku.

“Jadi bandar kodok, Kang?”

Apa maksudnya? Menyapa tidak, kenal juga tidak, tiba-tiba dia sudah menghinaku sedemikian rupa. Dia pikir siapa dia? Apakah dengan cara itu dia bermaksud untuk memecahkan kebekuan di antara kami? Tidak pernahkah otaknya dipakai? Sebagai tetangga baru, mestinya dia tuh mikir apa yang harus terlebih dulu dilakukannya: nyapa kek, memperkenalkan diri kek dengan cara yang baik-baik. Ini malah menyindirku dengan kata-kata semacam itu. Apa dia pikir karena dia sudah menjadi bapak tiba-tiba dia menjadi sangat gengsi untuk memperkenalkan diri. Padahal, menyapa atau memperkenalkan diri terlebih dulu tak lantas merendahkan dirinya sebagai manusia. Yang ada malah, penghargaan yang didapatnya, dari orang yang diajaknya berkenalan itu.

Sayangnya, penghargaan itu tidak muncul dalam diriku. Yang ada malah sikap miris dan nyinyirku terhadapnya. Manusia yang tak tahu diuntung, yang tak menggunakan akalnya. Jujur, tak lama setelah aku masuk aku merasa marah sekali pada orang itu. Orang yang aku pikir tidak dewasa sebapak apa pun dia, sebanyak apa pun anak yang sudah dihasilkannya.

Beberapa hari kemudian, aku pun mengunjungi Amih. Kutanya siapa tetangga sebelah itu. Walau baru saja satu pertanyaan keluar dari mulutku, tapi Amih sudah memberikan jawaban yang sebegitu banyaknya. Amih berkata bahwa mereka berasal dari Sumedang. Tapi yang lebih menarik adalah apa yang Amih ceritakan selanjutnya. Amih berkata bahwa bapak itu tidak tahu sopan santun. Dengan suara keras dan lantang dengan bahasa yang kasar dan tak tahu malu, dia meminjam peralatan dapur Amih.

“Mih, minjem katel! (Mih, pinjam wajan!). Mih, minjem panci. Mih, pinjem kompor!” Amih memperagakannya padaku. 

Belum pun beberapa hari keluarga itu tinggal, tapi peralatan dapur Amih sudah digasaknya. Amih pun bercerita kalau bapak itu bekerja sebagai wartawan. Dia membawa istrinya, anak perempuannya yang sedang hamil dan anak laki-lakinya yang masih kelas lima. Tak percaya aku, masa ada wartawan yang sikap dan kata-katanya seperti itu? Bukankah wartawan itu adalah orang yang sangat kenal dengan bahasa, dengan perilaku manusia? Aneh bin ajaib. Seandainya. Tapi aku maklum dengan kenyataan seperti ini.

Banyak orang yang tidak tahu kalau wartawan di kota besar itu berbeda dengan wartawan di kota kecil. Wartawan di kota kecil di daerah-daerah kecil tidaklah seperti wartawan yang ada di TV-TV. Masyarakat desa, setidaknya di daerahku, pada umumnya tidak pernah disukai masyarakat. Mereka tidaklah mencari berita dan meliputnya, terlebih membuat tulisannya. Oknum wartawan di desa dikenal masyarakat sebagai tukang terror. Tukang peras! Jika berita kriminal tentang seseorang atau instansi tidak mau dimuat di koran, mau tidak mau mereka harus membayar pada oknum wartawan ini. Sekalipun oknum, tapi mereka benar-benar bekerja sebagai wartawan, mereka punya identitas jelas, meski tidak pernah melakukan pekerjaan itu sebagaimana mestinya wartawan.

Aku mendengar cerita itu dari seorang bapak di tempat foto copy. Malah, tambah bapak itu, beberapa hari yang lalu ada wartawan yang dikejar-kejar masyarakat karena ketahuan memeras. Bukannya uang yang wartawan itu dapatkan, tapi bogem mentah dari warga sampai-sampai wajahnya sudah tidak karuan lagi. Aku hany bertanya-tanya: Wartawan macam apa itu?

Setelah aku mendengarkan cerita dari Amih, aku pun kembali ke kamarku. Aku tahu apa yang harus aku lakukan terhadap tetangga itu. Seraya berjalan, aku jadi ingat cerita asal usul kota Sumedang, kota yang sama dimana tetangga itu datang.

Di dalam cerita itu disebutkan jika Prabu Geusan Ulun, raja Sumedang Larang memiliki empat patih, yakni: Embah Jaya Perkosa atau Embah Sayang Hawu, Embah Nanganan atau Embah Batara Wiati Wiradijaya, Embah Sangiang Kondang Hapa, dan Embah Batara Pencar Buana atau Embah Térong Péot. Singkat cerita, ketika raja Cirebon, Pangeran Girilaya, hendak akan menggempur kerajaan Sumedang, diakibatkan permisurinya, Harisbaya, dibawa kabur oleh Prabu Geusan Ulun, Prabu Geusan Ulun memerintahkan keempat patihnya untuk menjegal musuh sebelum masuk ke Kutamaya, ibu kota Sumedang Larang.

Sebelum keempat patih itu berangkat, Embah Jaya Perkosa menancapkan pohon Hanjuang di sudut alun-alun kota sebagai tanda. “Jika pohon itu tumbuh subur dengan daunnya yang rimbun, Prabu jangan khawatir. Itu artinya patih unggul dalam berperang. Tapi jika daun pohon itu luruh,  itu artinya patih sudah tidak berdaya,” ucapnya seraya menancapkan pohon. Walau perang berkecamuk dan banyak korban darii kedua belah pihak, tapi para patih bisa mengalahkan pasukan dari Cirebon. Akan tetapi, dikarenakan mengejar-negjar musuh, Patih Jaya Perkosa harus terpisah dari patih yang lain sampai-sampai mereka bingung. Entah harus ke mana mereka harus menyusulnya.

Dikarenakan dalam beberapa hari Patih Jaya Perkosa tidak juga pulang, ketiga patih menyangka dia sudah meninggal. Sepulangnya para patih ke kerajaan, Prabu bertanya mengapa Jaya Perkosa tidak bersama-sama mereka. Embah Nanganan menjawab jika dia sudah mati di medan laga. Raja terkejut karena patih yang diandalkannya tewas membela dirinya. Akhirnya raja memerintah rakyat untuk pindah meninggalkan ibu kota dan sampai ke sebuah tempat bernama Baturaga.

Suatu saat, Jaya Perkosa kembali ke tempat asalnya dan terkejut mendapati tidak ada satu orang pun di sana, tidak patih, tidak juga pasukan. Dia pun akhirnya pulang ke Kutamaya, tapi ibu kota juga begitu, orang-orang sudah tidak ada di sana. Padahal pohon Hanjuang masih terlihat hijau dan rimbun. Melihat itu Jaya Perkosa pun marah dikarenakan perkataannya tidak dianggap. Pada saat yang sama dia melihat asap di kaki bukit. Dan ternyata benar, rakyat semuanya sudah ada di sana, sembari membangun keraton.

Secepat itu pula Jaya Perkosa menyambangi Prabu Geusan Ulaun dan mempertanyakan perihal keputusannya meninggalkan Kutamaya. Prabu pun berterus terang dan mengakui kesalahannya seraya meminta maaf pada Jaya Perkasa, karena tidak bertanya banyak dan tidak memperhatikan pohon Hanjunag dank arena Jaya Perkosa tak pulang-pulang dari peperangan sampai akhirnya disangakakannya telah meninggal. Jaya Perkosa bertanya lagi dari mana kabar tentang kematiannya itu. Prabu pun menjawab dari Embah Nanganan.
Setelah mendengar cerita Prabu, tanpa tedeng aling-laing saat itu juga Embah Nanganan ditikam hingga meninggal dunia oleh Jaya Perkosa. Sedang dua patih lainnya, Embah Kondang Hapa dan Embah Pancar Buana, ditangkap dan dilempar tubuhnya jauh sekali. Setelah membikin mati patihny, Jaya Perkosa mengungkapkan pantangannya jika mulai saat itu, keturunannya jangan mau dan tidak boleh mengabdi kepada ménak (bangsawan), karena dia sudah mengalaminya sendiri bagaimana meski sudah mengabdi dengna mengerjakan pekerjaan berat, tapi tetap saja dianggap sia-sia.

Mengingat cerita itu, aku menganggap bahwa, bisa jadi orang itu merupakan keturunan Jaya Perkosa. Karena, sempat suatu malam aku mendengar bagaimana dirinya tidak suka dengan orang-orang di pemerintahan di kota Sumedang. Tidak suka dengan pemimpin kota Sumedang. Dia berkata bahwa pemimpin itu sama saja, sama-sama tidak adil dan sama-sama membuat rakyatnya menderita.

Sungguh, aku bisa mendengar apa pun yang keluarga itu, terlebih bapaknya, katakan dari kamarku tanpa harus aku menguping. Bagaimana tidak, keluarga itu, apalagi bapaknya, benar-benar memiliki suara super bising. Suaranya lantang, keras dan berisik. Suaranya bahkan terdengar sampai ke seberang jalan, ke seberang kamar paling ujung dari kamar yang berderet sebanyak empat itu. Sulit membedakan apakah orang ini sedang berbicara atau berteriak. Yang pasti, dari hari ke hari dari waktu ke waktu, aku benar-benar telah terganggu. Entah dapat kekuatan dari mana bapak itu, tapi dia benar-benar kuat berbicara, setiap hari-setiap waktu, ada saja yang dibicarakannya itu kepada istrinya dan anak-anaknya. Dan, yang paling ajaib, ternyata istri dan anak-anaknya pun tidak jauh beda.

Tapi, seperti halnya aku punya prinsip. Jika orang baik padaku, maka aku pun akan baik padanya. Berbeda pada bapaknya, pada anak perempuannya aku cukup baik. Beberapa kali kami sempat ngobrol singkat. Tak peduli aku dengan cerita sesumbar yang berkata bahwa kepindahan mereka sebenarnya adalah akiba dari anak perempuannya itu. Ada yang berkata jika perempuan itu dihamili orang sampai akhirnya mengandung. Bisa jadi ini adalah alasan mengapa mereka meninggalkan Sumedang dan pindah ke Subang, ngontrakan di kamar sebelah. Perkara ini, aku tidak mau ikut campur. Lagipula, sudah tahu orang menderita, ini malah ditambah lagi dengan celetukan-celetukan negatif yang tambah orang merasa makin hina. Padahal, itu pun hanya “katanya.” Sesuatu yang belum jelas asal usulnya, dan dengan “katanya” itu juga masyarakat sekitar jadi salah kaprah.

Sebenarnya, ada juga rasa penasaranku terhadap keluarga itu. Jika saja bisa, aku ingin tahu duduk permasalahannya. Kulihat mereka tidak berpunya. Tapi, aku curiga. Pasalnya, anak perempuannya berkata bahwa mereka punya rumah di Sumedang. Dan dari segala percakapan yang suaranya mampir ke kamarku, bapak wartawan itu punya banyak proyek, entah apa. Tapi sayang , ketidakpedulianku lebih besar sebagaiamana ketidakpedulian mereka padaku. Tak sadar bahwa cara bicaranya yang keras itu sudah mengangguku. Bahkan ketika mereka tahu aku sedang sakit, sifat alami berbicara kerasnya itu seakan tidak bisa dihapus lagi. Sudah dari sananya, begitu orang cari alibi.

Sampai suatu hari, keadaan yang mendesak membuat pintu saya berbunyi. Malam hari kudapati bapak itu mengetuk pintu kamarku. Salamnya yang terdengar kencang, kujawab. Kemudian, seraya berbicara dengan cara yang dibuat sedemikian sopan, dia berkata: “Dik, bapak mau minta tolong? Bisa bapak mau pinjam motornya.” Bukannya dendam karena sikapnya dulu, tapi saat itu aku sedang tengah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Aku memang suka ke sekolah, tak lebih dari sekadar untuk on-line.

“Duh, Pak, maaf, kebetulan saya mau berangkat ini,” jawabku kemudian.

Bapak itu pun berterima kasih lantas berlalu meninggalkanku dalam kegelapan teras tak berlampu. Kulihat wajahnya gelisah, tampak malang, pulang dengan kosong di tangan. Sebelumnya, dari suara samar-samar kudengar bapak itu harus menjemput sesuatu di Kasomalang, entah apa, dengan segera. Pada saat yang sama, motornya sedang rusak dan tidak bisa diperbaiki. Beberapa minggu ke depan, aku tahu ternyata, bapak itu hendak mengambil yang. Untuk masalah ini, bapak itu sendiri pernah meminta tetanggaku yang sebelahnya lagi, tukang jualan nasi goreng, menggunakan nomor rekening banknya. Dia berkata bahwa seseorang akan mentransfer uang, sayang bapak itu tidak punya rekening di bank.

Dari percakapan itu, entah berapa banyak kesimpulan tenang bertetangga, bersopan-santun, beretika dalam berbicara aku kumpulkan. Kepalaku penuh dengan kalimat-kalimat kesimpulan dari hipotesis yang aku buat di awal. Setidaknya satu yang aku tahu mengapa aku, sebagai orang baru, harus memulai perkenalan, dan mencoba untuk kenal dan ramah dengan mereka yang sudah tinggal lebih dulu. Tendang sifat individualis apalagi gensi. Karena aku tahu, suatu waktu nanti aku pasti bakal membutuhkan mereka, memerlukan uluran tangan mereka dari apa yang kita pinta. Maka dari itu, impresi adalah nomor satu. Setidaknya, aku sudah mencoba untuk ramah dengan memperkenalkan diriku di lingkungan baru. Bukan agar ingin dianggap baik, tapi berusaha untuk tetap baik dalam keadaan apa pun, di mana pun. Semoga bapak itu mengatahui hal ini dan mendapat pelajaran dari keadaannya yang tengah dihadapinya.

Lalu untuk apa uang itu? Inilah akhir ceritanya. Uang itu ternyata untuk membayar kontrakan yang sudah ditunggaknya selama hampir tiga bulan. Tapi uang itu sendiri memang tidak pernah mereka dapatkan sampai pada akhirnya, suatu hari, Amih dengan baik-baik berkata pada bapak itu kalau Amih tidak masalah jika mereka tidak bisa bayar. Selanjutnya Amih meminta mereka untuk mengosongkan saja kamar itu, karena Amih pikir masih ada orang yang lebih membutuhkan ketimbang mereka, sebagaimana Amih juga butuh dengan pendapatan dari hasil bisnis kontrakannya itu.

Malam harinya, perkataan Amih itu ditanggapi berbeda oleh Sang Istri. Si istri Bapak Wartawan keturunan Jaya Perkosa Kerajaan Sumedang Larang itu berkata bahwa kata-kata Amih itu menghina dirinya, keluarganya. “Dia pikir kita ini keluarga melarat apa? Kalau dia tidak percaya, sok tanya tetangga kita di Sumedang sana. Kita ini kaya, punya banyak harta. Kita tuh dihormat sama orang-orang.” Entah kenapa, tapi ketika mendengar itu, tiba-tiba tanda tanya bermunculan di atas kepala. Terasa janggal mendengar Si Istri itu berbicara. Tak usahlah aku tulisan satu persatu kejanggalannya dalam sebah daftar kata.

Tak hari itu dan tidak juga besoknya mereka meninggalkan kamar. Mereka justru mengosongkan kamar seminggu setelahnya. Tak tahu aku seperti apa pindahnya, karena aku memang sedang tidak di kontrakan. Lagi, dari Amih aku mendapatkan akhir cerita itu. Amih berkata bahwa taka da satu barang pun yang disisakan di kamar itu. Itu artinya, barang-barang yang dipinjamkan oleh Amih, tidak mereka kembalikan. Untuk masalah uang kontrakan, uang air dan listrik, hal itu sudah sangat jelas. Sesuatu yang memang tidak bisa lagi diharapkan. Tak hanya itu, Amih pun kaget ketika sore harinya, Amih mendapati anak keluarga itu makan paha ayam goreng. “Punya uang dari mana mereka bisa beli ayam?” begitu Amih berkata. Selidik punya selidik, ketika keesokan hari Amih hendak memberi pakan ayam-ayamnya. Amih merasa ada ayam yang hilang, entah ke mana. (FA)

No comments:

Post a Comment