Wednesday, May 23, 2012

Bangsa Menentukan Bahasa (?)

Sebuah mobil Pertamina melintas di depan saya. Di belakang tank mobil tertulis “Bahan Bakar Non Subsidi”. Beberapa pertanyaan pun muncul di kepala: Mengapa  ada kata subsidi dan non subsidi? Mengapa dipilih kata subsidi? Apa yang hendak disampaikan dengan penggunaan kata “subsidi” itu?

Tiba-tiba saya ingat Leo Tolstoy dan Johannes Brahms. Keduanya sama-sama orang yang bergelut di bidang seni. Leo Tolstoy adalah pengarang dari Rusia yang karya-karyanya diakui dunia. Bahkan Anna Karenina dan War and Peace-nya menjadi perbandingan untuk karya-karya sastra dunia yang muncul belakangan. Sedang yang satunya lagi adalah seorang komposer besar Jerman pada abad ke-19. Dia menjadi terkenal dikarenakan karyanya yang menggabungkan aliran klasik dan romantik.

Satu hal yang orang tidak tahu dari keduanya adalah, sifat mereka. Tolstoy sekalipun karyanya memang hebat dikarenakan kepiawaian menulisnya, tapi dia adalah seorang anarkis. Sementara Brahms sendiri adalah seorang pembenci binatang. Di saat sedang mencari inspirasi, dia sering memanah kucing-kucing milik tetangganya di atas loteng dengan busur dan panah yang memang sengaja dipersiapkannya. Kebiasaannya itu dilakukan sampai akhir hayatnya.


Bisa jadi masih banyak seniman yang hidup dalam dunia seni dengan sifat kontras seperti di atas, yang tidak disebutkan di sini. Saya tidak tahu. Setidaknya, mengetahui hal tersebut, saya kembali bertanya: Benarkah seorang seniman itu memiliki perasaan yang halus? Adakah korelasi antara seni dan orang yang menggelutinya? Sering kita mendengar bahwa seorang seniman belum bisa disebut seniman jika belum memiliki perasaan yang halus. Tapi benarkah begitu? Haruskah seorang seniman selalu memiliki perasaan yang halus? Saya menyangsikan.

Di negeri ini, tidak sedikit seniman yang berseni dengan cara yang tidak halus. Terlebih, seni sastra, yang menggunakan kata-kata sebagai pelurunya. Terlebih untuk menyebutkan karyanya, ada kalanya orangnya pun tidak sehalus yang kita bayangkan. Sebagian ada yang “sok jual mahal,” entah apa mungkin dia sudah merasa menjadi “orang,” dan sebagian lagi ada yang dengan terang-terangan menggunakan kata-kata yang kasar, sinis, bahkan “vulgar”.  Sedang kita tahu betapa orang-orang itu lebih ngerti soal kata, soal bahasa.

Di berbagai media massa, khususnya di dunia maya, tak sedikit kita menemukan forum-forum diskusi memperlihatkan kata-kata kasar dan sinis dari para komentatornya atas sebuah isu. Dengan terang-terangan para komentator itu menuliskan kata-kata cacian, hinaan, sampai pada akhirnya yang muncul adalah perselisihan. Ujung-ujungnya, bukan solusi atau bahkan pengertian yang didapat, akan tetapi masalah baru. Meski, tidak berarti, semua orang bersikap demikian. Di sela-sela komentar, tetap ada orang yang bersikap bijak dan mengingatkan, walau tidak berarti hal ini pun dilakukan dengan cara yang bijak, dengan kata-kata dan bahasa yang baik.

Entah apakah mereka itu memang orang yang sensitif hingga dirinya  merasa perlu angkat bicara? Atau, mungkinkah mereka punya kepentingan di dalamnya? Saya tidak tak tahu. Yang saya tahu, kebanyakan komentar-komentar itu tidak disertai dengan etika berbahasa dan norma dalam menyampaikan pendapat. Tak ayal admin pun menutup forum itu karena bukannya menambah pengertian para komentatornya, tapi malah menambah masalah saja. Penghargaan atas perbedaan pendapat tidak berjalan di sana. Dengan kata lain, demokrasi masih jauh dari harapan, masih langka.

Lantas yang menjadi inti pertanyaan, sebagaimana judul tulisan ini, adalah: Benarkah bahasa itu menentukan bangsa, atau mungkin sebaliknya? Kita tahu  kalau bahasa adalah alat manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Sedang, bangsa adalah sekumpulan orang yang tinggal di sebuah wilayah yang memiliki, setidaknya, asal keturunan, adat, bahasa dan sejarah yang sama di bawah suatu pemerintahan. Masalahnya sekarang adalah, mungkinkah bahasa yang dalam kalimat itu berfungsi sebagai subjek, bisa melakukan pekerjaan yang aktif (menentukan) atas objeknya? Padahal kita tahu, hanya orang saja (bangsa) yang memiliki bahasa dan berbahasa. Bangsalah yang menentukan seperti apa bahasa yang digunakan dan bukan sebaliknya. Lagipula, menurut pendapat saya, bukan kata ‘menentukan’ yang mestnya digunakan, melainkan ‘mencerminkan.’

Meski begitu, kata ‘mencerminkan’ ini bukanlah sesuatu yang digantungi label positif maupun negatif. Alih-alih untuk mengartikannya sebagai jati diri atau identitas (yang melulu dianggap baik), kata ini tak lebih dari sekadar memperlihatkan saja suatu bangsa. Tidak lebih! Oleh karena itu, tidak ada bahasa kasar sebagaimana tidak juga ada bahasa halus. Sebuah kata bisa jadi halus di suatu tempat tapi bisa menjadi kasar di tempat yang lain. Sayangnya, pemberian status itu dilakukan oleh manusia, yang secara tidak sadar masih memiliki kebiasaan nenek moyang yang suka memberi kasta, tak hanya pada ras manusia tapi juga pada kata-kata.

Dalam istilah Sunda, ada yang disebut sebagai “undak usuk basa,” atau sebut saja tata krama bahasa. Jika seorang anak berkata bahwa dirinya “neda” (makan), maka dia akan menggunakan kata “tuang” untuk orang yang lebih tua dari padanya. Di lain pihak, ada juga orang Sunda di beberapa daerah yang menggunakan kata “sia” yang  berarti kamu. Dalam pandangan kebanyakan orang Sunda, kata ini terbilang kata yang kasar walau penuturnya sendiri mengganggap tidak. Kata itu halus dan sah-sah saja. Tidak berarti jika seseorang menggunakan kata “sia” maka dia berkata kasar dan merendahkan apalagi menghina orang yang ditujunya. Kebanyakan kasus perkelahian atau tawuran biasanya timbul dari hal sepele seperti ini. Padahal, belum tentu keduanya memiliki latar belakang yang sama.  

Lain halnya dengan bahasa Indonesia. Bahasa Nasional yang satu ini pada hakikatnya tidaklah mengenal tata krama bahasa. Tidak ada tingkatan kata sebagaimana yang dicontohkan di atas. Bahasa Indonesia tidak mengenal gender kata, entah feminin atau maskulin sebagaimana perlakuan orang-orang barat terhadap bahasanya di luar sana. Kata-kata dalam bahasa Indonesa itu setara, netral, tidak putih dan tidak hitam. Seseorang dalam sebuah komunitas yang biasa menggunakan kata “anjing” untuk memanggil temannya, tidak lantas membuat kata anjing itu kasar apalagi menghinanya. Malah kata “anjing” sudah menjadi panggilan sayang untuk banyak orang dewasa ini. Tentunya, penggunaan kata itu tidak boleh keluar dari komunitasnya, jika tidak bisa berabe. Jika sudah seperti itu, apakah kata “anjing”  tiba-tiba menjadi kasar atau hitam? Sedang, dosa apa anjing sampai-sampai dia dianggap binatang hina, padahal yang najis bukan anjingnya tapi air liurnya?

Pemahaman seperti ini saya pikir sangat penting untuk dilakukan oleh setiap orang. Terlebih, orang tua kepada anaknya yang masih kecil. Jika tidak, anak akan terperangkap oleh kata-kata, mengganggap bahwa sebagian kata itu baik dan sebagian yang lain jahat atau kasar. Jika sudah seperti itu, maka anak-anak tidak akam bebas berbicara apalagi mengekspresikan dirinya, karena sudah kehilangan kata-kata. Kenyataannya, tidak sedikit anak-anak yang tidak mau menyebutkan kata “anjing” di saat mereka harus menerjemahkan kata “dog.” Merasa bahwa kata itu tidak baik, maka mereka pun menggunakan kata “gogog”, sekalipun tidak pernah KBBI memasukkan kata tersebut sebagai salah satu lemanya. Itu pengalaman saya, entah yang lain.

Jadi, yang ada hanyalah kata-kata yang kasar dan menghina, dan bukan kata-kata kasar dan hina. Kata-kata tidak pernah hina sebagaimana halnya bahasa. Yang hina adalah penggunaannya, seperti apa dan bagaimana kata-kata itu diucapkan oleh penuturnya terhadap siapa pun yang ditujunya. Kita menyebut kata “kontol” atau “memek” untuk menyebutkan benda yang dimaksudkannya. Tidak berarti kata itu menjadi kasar atau hina, apalagi bendanya. Bukankah manusia itu adalah homo faber, makhluk berbahasa, yang menggunakan kata-kata tak hanya sekadar untuk berkomunikasi, tapi juga mengekspresikan dirinya, sekalipun dia harus menggunakan kata “setan” ketika sedang marah-marah sendirian?

Adalah salah kaprah jika ada orang yang berkata bahwa sastrawan itu berbudi halus hanya karena kata-katanya baik dan bagus sebagaimana tampak dalam karya-karyanya. Manusia ya manusia, bahasa ya bahasa. Keduanya bisa berhubungan tapi juga bisa tidak. Yang pasti, bahasa seseorang tidak lantas bisa dijadikan ukuran baik atau tidaknya seseorang. Apakah seorang preman yang masih mengerjakan solat bisa kita anggap orang hina, beda halnya dengan orang yang sehebat apa pun dia berkarya walau dia berkata bahwa dirinya adalah seorang ateis tapi kita puja-puja? Bukankah kita lebih senang mendengar kata “mantan preman”  ketimbang “mantan ustad”?

Menghadapi kenyataan seperti itu, haruskah kata memiliki kasta sebagaimana manusia membuat kasat padanya dan bahasanya? Mestikah bahasa yang kasar memicu sebuah perkelahian sekalipun kasarnya bahasa yang digunakan itu tidak bersifat menghina? Saya pribadi, dari dulu, tidak pernah percaya dengan yang namanya undak usuk bahasa. Selembut apa pun bahasa yang digunakan, apabila  terkandung di dalamnya niatan buruk, tetap saja kata-kata itu tak lantas menjadi berwibawa. Alih-alih membuat senang, malah membuat sakit saja.

Jika sudah demikian, kembali pada pernyataan awal, bahwa bangsalah yang menentukan bahasa. Silakan gunakan bahasa dengan kata-kata yang ada sebebas-bebasnya, sesuka-sukanya. Sebutkan banyak dan lebih banyak kata agar kita bisa mengenal dunia, karena hanya dengan menguasai kata kita bisa menguasai dunia. Tidak perlu pilih-pilih kata karena kata memang dicipta untuk digunakan. Satu catatan: terserah kita menyebutkan kata-kata itu, tapi janganlah kita gunakan kata-kata untuk menghina sesama ras sendiri! Dalam zoologi  saja, pada hakikatnya binatang tidak benar-benar membunuh binatang yang lain kecuali untuk mempertahankan diri. Sedang manusia??? (FA) 

No comments:

Post a Comment