Oleh: Pipin Saswa
Siapa yang tidak tahu koran atau media massa yang sering dipanggil surat kabar atau harian umum itu? Meski keberadaannya di negeri ini sempat oleng di tahun 2009 karena imbas krisis moneter, namun dewasa ini koran justru banyak bermunculan. Mulai dari tingkat lokal sampai nasional.
Tidak seperti sekarang dimana koran berbentuk lembaran-lembaran halaman kertas, dulu koran berbentuk balok-balok kayu yang dipahat (tipao). Bentuk ini untuk kali pertama dibuat pada masa pemerintahan Dinasti Tang (618-907) di negeri Cina ketika tengah berkuasa. Inilah koran pertama yang muncul dalam sejarah.
Koran berbentuk lembaran-lembaran kertas sendiri, sebagaimana yang kita kenal sekarang, sebenarnya baru muncul pada pertengahan abad ke-16 di Venice, Italia. Koran yang disebut avisi itu terbit mingguan di awal tahun 1566 mewartakan berita yang dibawa oleh para pedagang yang melancong ke Venice. Berita-berita itu pada umumnya berkisar soal perang dan politik.
Meski demikian, tak berarti karena belum adanya material koran pemberitaan menjadi terhambat. Sebelum ditemukannya mesin cetak, orang-orang jaman dulu menyiarkan berita dari mulut ke mulut. Seorang pewarta akan menyampaikan berita dengan berjalan-jalan di pusat kota dan berteriak-teriak sambil membunyikan lonceng dengan tangan kanannya terus menerus. Percis sebagaimana yang diperilhatkan dalam sebuah film animasi berjudul Corpse Bride (2005) karya Tim Burton.
Berita memang identik sekali dengan koran. Walau, tidak bisa disangkal jika media seperti radio, televisi bahkan situs internet, punya sumbangsih tersendiri dalam pembawaannya. Tapi, di balik berita yang datang ke tangan kita, didengar telinga dan dilihat oleh mata kita, ada pihak yang tidak bisa ditampik keberadaannya. Mereka tak lain dan tak bukan adalah wartawan.
M. Atar Semi (1994) mengatakan bahwa kerja wartawan tidak mengenal batas waktu dan tempat. Seorang wartawan harus tetap stand by untuk mendapatkan berita yang kemunculannya bisa kapan dan di mana saja. Sejatinya, sebuah berita adalah penyambung hidup seorang wartawan. Tanpanya dia tidak berarti apa-apa.
Persoalannya adalah, bagaimana seorang wartawan mendapatkan berita? Apakah setiap wartawan menuliskan sendiri berita yang didapatnya? Bagaimana caranya?
Tulisan ini seyogianya disari dari pengalaman penulis yang mendapati kenyataan bahwa tidak semua wartawan cakap dalam mencari dan menuliskan berita. Tidak semua wartawan tahu bagaimana tata dan etika mendapatkan berita, entah itu masih dalam berupa tulisan steno di buku catatan maupun alat rekamnya. Tidak semua wartawan tahu bagaimana caranya!
Ketertarikan pada hidup dan kehidupan serta orang-orang yang berjalan di atasnya, membuat penulis memutuskan untuk bekerja sebagai wartawan atau reporter. Untuk kali pertama, penulis mengajukan sebuah lamaran ke harian umum berdomisili di Jakarta. Sebuah harian yang lahir dari salah satu program acara televisi. Sayang, panggilan tak juga kunjung datang.
Tak menyerah, penulis pun pergi ke DI Yogyakarta mencoba peruntungan. Dengan bekal sebuah peta, tak tanggung-tanggung seluruh pelosok daerah itu disambanginya. Sampai akhirnya, nasib pun mengantarkannya ke sebuah kantor harian yang baru saja berumur satu tahun. Sebuah harian umum di Jogjakarta.
Di sana, tepatnya hari Jumat (24/06), penulis harus mengikuti testing berupa tes tulis hingga lapangan. Satu hari penuh penulis melakukan testing. Banyak juga pelamar yang melamar posisi wartawan. Seorang pelamar yang penulis ajak bicara, yang kebetulan orang Yogyakarta asli, mengaku bahwa dirinya sempat bekerja di sebuah penerbitan majalah –perpanjangan perusahaan penerbit koran, yang baru dan hanya menerbitkan satu edisi saja. Kelanjutannya, entah seperti apa.
Meski sempat bekerja sebagai editor di majalah tersebut, tapi dirinya mengaku tidak suka membaca koran bahkan tidak cukup tahu informasi ter-up date di kotanya sendiri. Bagaimanapun, setiap orang hanya bisa merencanakan tanpa tahu seperti apa hasilnya. Hanya saja, ada dua kekurangan yang penulis rasakan di tengah obrolan itu. Satu, penulis bukan asli orang Yogya; dan kedua, penulis tidak tahu adat serta istiadat di kota tradisional ini, termasuk berita yang tengah up-date di sana.
Kesalahan pertama, penulis menuliskan kata ‘belum ada’ di kolom alamat formulir lamaran sebelum tes dimulai. Rencananya, memang, penulis baru akan mencari tempat tinggal jika sudah diterima bekerja di kota itu. Lagipula, mengingat ihwal kerja seorang wartawan yang tak kenal batas tempat dan waktu, menurut penulis tempat tinggal bukanlah sebuah halangan.
Kesalahan yang kedua, dan ini yang fatal, cukup banyak penulis tidak mengisi pertanyaan seputar ke-Yogyakarta-an, semisal: Siapakah bla-bla-bla itu?; dan pertanyaan yang memang berhubungan dengan peristiwa di kota tersebut. Penulis berpikir bahwa hal semacam itu bisa dipelajari jika pada akhirnya nanti sudah menjadi bagian dari perusahaan.
Tes pun dimulai. Tes logika, pegetahuan umum dan lapangan. Semua dikerjakan dengan lancar, kecuali tes lapagan yang memang sedikit gagal ketika harus mengirimkan berita lewat e-mail. Beberapa menit terlambat dari yang diprasyaratkan memang: deadline pukul 16.00. Tapi, barangkali hal itu pun tetap saja tidak bisa ditolerir. Begitulah wartawan.
Bukan tidak ingin penulis menyerahkan berita tepat waktu. Akan tetapi, fasilitas di kota itu benar-benar keterlaluan. Warung internet (warnet) terdekat yang berada di sekitar Universitas Gadjah Mada, tempat penulis mencari berita feature, itu letaknya cukup jauh. Lebih dari lima belas menit penulis harus pergi ke warnet itu dengan berjalan kaki cepat. Bayangkan, hanya ada dua warnet di sekitar universitas itu!
Tepat pukul lima, semua tes pun selesai sudah. Entah bakal seperti apa hasilnya, penulis tak ingin membayangkan. Setidaknya, hal itu sudah cukup menjadi sebuah pengalaman berharga bag penulis yang jauh-jauh dari Bandung, menggembel di emper dan stasuin kereta api untuk beristirahat, hanya sekadar untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang wartawan.
Singkat cerita, penulis pun berjalan lagi mencari tempat yang barangkali bisa disinggahi sekadar untuk meluruskan badan. Tanpa ucapan permisi penulis meninggalkan kantor harian itu. Baru saja penulis berjalan beberapa ratus meter di Jln. MT. Haryono, tiba-tiba terlihat orang-orang berkerumun. Tanpa komando, pikiran pun menyebut satu kata: berita!
Tapi, siapalah penulis ini yang berhak menjadikan peristiwa itu menjadi sebuah berita? Hanya rasa kepenasaran dan keingin-tahuan saja yang membuat penulis berani mendekati kerumunan itu. Peristiwa tabrakan motor. Sekonyong-konyong penulis menelpon harian umum tadi dan menyampaikan ihwal peristiwa itu. Berharap seorang wartawan dapat mendokumentasikannya sebagai materi berita untuk dicetak di halaman koran esok hari.
Penulis dekati seorang bapak yang menjadi saksi kejadian tersebut. Dengan rasa ingin tahu penulis pun bertanya-tanya seperti apa kronologisnya. Tak berapa lama, dua orang wartawan dari harian yang penulis hubungi itu pun datang. Mereka tampak bingung mesti mulai dari mana. Penulis mendekati salah seorang darinya dan berkata tentang narasumber mana saja yang bisa dihubungi. Sementara itu, penulis tetap bertanya-tanya, baik kepada saksi maupun kepada narasumbernya langsung.
Dengan pendekatan sosial yang bisa dibilang akrab, penulis akhirnya mengetahui bahwa kejadian disebabkan kelalaian pengendara yang membawa motornya sambil ber-sms ria. Ia menabrak pengendara motor yang saat itu tengah berada di tengah jalan ketika hendak menyeberang ke kanan jalan. Celakanya, si pengendara motor itu sendiri yang menjadi korban. Kakinya terluka dengan darah yang terus-menerus mengucur membasahi aspal dengan warna merah pekatnya.
Ketika sampai di TKP, penulis memang sudah mendapati seorang pengendara motor tengah habis-habisan mencaci si pengendara motor yang menabraknya itu. Marah, kesal, bahkan murka terlihat dari raut wajahnya, tapi tidak kata-katanya. Mengingat, penulis memang tidak megerti bahasa Jawa. Penulis pun sempat berbicara dengan korban tabrakan yang sempat marah-marah itu. Jika harus ada benar dan salah, maka memang benar pengedara motor yang ngebut dan sms-an itulah yang salah. Klarifikasi penulis dapatkan ketika mengetahui bahwa si korban tabrakan memang sudah menyalakan lampu sen kanan motornya sebagai tanda.
Di lain pihak, wartawan itu tampak masih bingung dengan apa yang harus dicatatnya, dengan narasumber yang harus dihubunginya. Padahal, penulis sudah memberitahu semua data yang dibutuhkannya, kecuali satu hal. Entah mungkin karena punya pikiran ‘sok tahu’ kepada penulis atau memang tidak mau didikte, tapi tampak bahwa wartawan itu tidak cukup peduli dengan bantuan dari penulis. Penulis benar-benar dicuekin olehnya.
Suasana masih genting walau sudah reda. Si korban sudah hampir memberi kesimpulan jika orang yang menabraknya itu harus dibawanya ke kantor polisi, atau mungkin rumah sakit. Tapi si penabrak itu, seraya kesakitan menggenggam kakinya yang terus-menerus mengucurkan darah, bekali-kali meminta maaf. Sikap sembah dengan kedua telapak tangan terlekat ditujukannya kepada si korban yang sudah meredakan amarahnya. Tubuhnya pun ditunduk-tundakannya hingga orang yang dimaksudkan menjadi bingung mesti berbuat apa.
Sedang si wartawan, mungkin karena saking bingungnya, tiba-tiba bertanya soal nama dan umur pengendara itu. Di saat, orang-orang tengah berkumpul dan kedua korban itu kalut, bisa-bisanya wartawan itu bertanya soal nama dan umur segala. Kok bisa, di suasana semacam itu wartawan berbuat demikian? Percis seseorang yang meletuskan senapan ke udara di saat orang-orang tengah ramai merayakan pesta ulang tahun.
Antara kalut dan bingung, si korban yang masih menggenggam kakinya yang berdarah itu pun menyebutkan nama dan umurnya. Itu pun karena desakan dari orang-orang yang mengerumuninya. Tapi tidak dengan korban yang satunya lagi, yang bingung harus berbuat apa hingga akhirnya ia memutuskan masuk ke sebuah warung dan duduk seraya menghubungi entah siapa.
Di saat itu, tiba-tiba saja pengendara penabrak itu menyalakan motornya dan secepat itu pergi dari TKP. Wartawan yang tadi mengikuti korban yang satunya lagi, keluar dari warung dan bertanya: “Ke mana pengendara yang menabrak itu?” Orang-orang hanya berkata jika dia sudah pergi. Kabur dengan motornya yang rusak . Mungkin karena merasa takut jika dirinya harus dilaporkan ke polisi, sebagaimana yang sempat digembar-gemborkan oleh korban dan orang-orang di tempat itu.
Di tengah kelinglungannya, penulis pun bertanya pada wartawan itu: “Sudah dicatat nopol-nya?” Wartawan itu menyambar kening dengan telapak tangannya sambil berkata: “Aduh, lupa saya.” Penulis hanya tersenyum begitu rupa sambil berkata: “Yah, tidak jadi berita, deh.”
Setelah mengobrol lagi dengan seorang lain di tempat itu, penulis pun pergi. Tepat di saat mobil polisi datang ke TKP. “Tuh, polisi datang,” kata sorang itu. “Kenapa ya polisi suka datang telat?” Penulis hanya menjawab: “Di mana-mana, pahlawan itu selalu datang belakangan, Mas.” Orang itu pun mengiyakan sambil cekikikan.
Penulis lantas pergi dari TKP seraya berpikir: Apakah memang seperti itu cara kerja seorang wartawan? Tidak bisa lihat situasi dan kondisi seperti apa dan bagaimana ketika harus mengambil berita? Tidak bisa membuka telinga untuk segala kemungkinan yang bisa menjadi sumber data bagi tulisannya? Tidak tahu formula 5W+1H yang balu dalam penulisan berita? Dan, parahnya, tidak tahu sistematika pencarian narasumber untuk berita?
Pada saat itu, sambil terus berjalan dengan pikiran dipenuhi pertanyaan, penulis tak mau ambil pusing. Bukan berarti sombong, tapi penulis sendiri merasa bahwa dirinya ternyata lebih tahu, ngerti, dan lebih kompeten jika nantinya memang harus menjadi wartawan.
Tidak hanya studi kepustakaan dengan bacaan seputar jurnaslitik yang sudah dibacanya, juga membaca berita di media massa setiap harinya. Akan tetapi, kepiawaian bersosialiasi dengan orang-orang dan kesupelan juga kesopan-santunannya, telah menjadi modal untuk terus mendengarkan mereka bercerita, mengungkapkan dirinya dan dunia.
Seperti yang dilakukannya ketika penulis, pada malam harinya, justru malah menjadi narasumber untuk anak SMA yang memiliki tugas mewawancarai para pelancong kota istimewa itu. Juga, ketika dirinya menjadi “provokator” ulung dan pendengar yang baik beberapa orang di atas kereta api yang menceritakan hidupnya serta perjuangan akannya.[]
No comments:
Post a Comment