Sunday, July 30, 2017

Belajar Emosi dari "The Bélier Family"

Menjadi minoritas memang tak menyenangkan, bahkan bisa jadi menyebalkan. Luput dari pengamatan, jauh dari popularitas dan tak menutup kemungkinan untuk direndahkan. Dari sudut kacamata “normal” pandangan semacam ini mungkin muncul. Dari dari sudut pandang kaum minoritas sendiri, siapa peduli?
Tak ada habisnya jika kita terus membandingkan sesuatu dari kacamata yang berbeda dengan ukuran yang macam-macam. Lagi pula, ukuran normal adalah ukuran manusia. Sesuatu bisa jadi normal tergantung pada apa dan seperti apa sesuatu itu dipandang. Tapi yang lebih hebat adalah bagaimana “ketidaknormalan” itu luluh-lanak tatkala ia dikemas lewat hasil karya budaya manusia yang mendobrak pandangan mengenai ukuran itu. Selain musik dan sastra, film adalah salah satunya.
Tidak bisa tidak, manusia sekarang memang terbawa sekaligus digiring oleh arus populritas dan tren tiga bentuk karya budaya yang sifatnya universal ini. Lewat sastra kita bisa mengenal budaya manusia tanpa menjadikan suku dan bangsa sebagai batasannya. Demikian halnya juga nada dari lantunan musik dan lagu. Tak peduli apakah kita mengerti bahasa liriknya, sebuah lagu jika musiknya ciamik punya kemampuan untuk menyihir pendengarnya.


Sayangnya dan kenyataannya, kita sudah terlalu terlenda dengan trend an popularitas. Kualitas karya sastra dan musik kita sudah berada di titik kritis yang kebangetan. Seolah sebuah proses yang alih-alih dinikmati dengan dalih mengejar target pasar, karya sastra dan musik kita menjadi sangat rendah—untuk tak menyebutnya hilang sama sekali. Hidup segan, mati tak mau. Begitulah kira-kira.
Maka, manusia pencari kebahagiaan lewat bentuk-bentuk kebudayaan ini pun mau tak mau harus mencari yang baru. Sesuatu yang anti-mainstream, yang indie, yang minoritas itu. Tidak dengan tujuan untuk keluar dari jalur “normal”, manusi setidaknya bisa membuka diri hingga akhirnya terbuka pandangan dan wawasannya atas hal-hal yang kebanyakan dari mereka anti-mainstream itu. Membaca buku-buku stensilan, mendengarkan lagu-lagu indie, dan menonton film-film jauh dari istilah box office atau rating pesanan yang punya daya jebak dari deretan bintangnya yang bersinar. Dan film itu salah satunya adalah “The Bélier Family.”
Film bergenre drama berbahasa Perancis besutan Éric Lartigau ini bisa jadi satu dari film yang membawa penontonnya keluar dari kotak “normalnya”. Meminta penonton membuka diri tanpa harus memberi iba pada tokoh-tokohnya, dan membuka cakrawala kemanusiaan. Sebuah film yang tidak biasa, yang ketika ditonton justru menjadi “biasa” meski tidak bisa disebut biasa-biasa saja. Menonton film ini, penonton akan diperlihatkan bagaimana sebuah keluarga difabel menjalani kehidupannya.
Hidup sebagai peternak, keluarga Béliér terdiri atas Gigi (Karin Viard), Rodolphe (Francois Damiens), Paula (Louane Emera), dan Quentin(Luca Gelberg) yang memiliki perannya masing-masing. Gigi, seorang ibu yang sayang dan perhatian  pada anak-anaknya. Rodolphe, seorang ayah yang mencalonkan diri sebagai walikota sekalipun tahu dia bisu. Quentin, adik yang punya kepenasaran akan seks. Dan Paula, seorang mahasiswa yang ingin memiliki jalan hidup sendiri dengan melanjutkan kuliah di Paris dan menjadi penyanyi. Ya, selain ketiga anggota keluarga, hanya Paula-lah yang bisa berbicara. Dia tak hanya menjadi jembatan komunikasi antara tokoh di film itu tapi juga jembatan bagi penonton, dan itu bagus. Bisa dibilang dialah tokoh utama di film ini.
Awal konflik terjadi ketika Paula memilih eksul—sebut saja begitu—paduan suara di kampusnya. Meski diberkati dengan suara yang bagus, Pula ragu dalam menjalani aktivitas paduan suaranya itu sekalipun pada suatu waktu terbukalah gorden kenyataan. Kenyataan bahwa sang instruktur bernama Thommasson mengetahui talenta vokal Soprano Paula. Pada awalnya dia diminta Thomasson duet bersama Gabriel, cowok ganteng yang selidik punya selidik ditaksir oleh Pula meski sempat dicampakkannya. Hingga suatu waktu, sang instruktur merekomendasikannya untuk ikut kompetisi menyanyi di Paris.
Meski begitu, tidak mudah untuk Paula. Ibunya berharap Pula selalu ada di antara kelurga, sedang ayahnya sibuk dengan aktivitas kampanyenya sebagai walikota. Terlebih hanya Paula-lah yang mengerti bisnis keluarganya dengan berjualan produk olahan dari sapi-sapi yang diternakkannya. Di sinilah Paula merasa dilema antara menggapai cita-citanya dan tetap berada di keluarga dengan bisnis yang harus di-handle-nya.
Sebagai film yang mengetengahkan kaum difable, penonton disuguhkan dengan bahasa isyarat Francis dari awal sampai akhir. Tak seperti film difable lainnya, terlebih keluaran negeri gemah ripah repeh rapi yang tampak sekali mencari iba penontonnya, film yang satu ini justru menjadikan difabel sebagai sesuatu yang tampak biasa dan normal saja. Bahkan kenyataannya bahasa isyarat di sepanjang film ini tak lantas menjadi hambatan sama sekali bagi tokoh juga penonton untuk mengetahui emosi setiap pemain difablenya.
Dengan kata lain, bahasa isyarat sama sekali tak lantas jadi penghambat alur cerita dan pesan yang hendak disampaikannya. Seakan tersirat, bukan bahasa isyarat atau bahasa apa pun yang ada di sana, melainkan bahasa manusia dengan kemanusiannya. Hal ini tampak sekali ketika dalam satu adegan Ibu Paula yang mabuk “berkata” bahwa dia bukanlah ibu yang baik. Dia berusaha untuk mengajarkan nilai-nilai keluarga tapi gagal karena dia tuli dan bisu. Dia mempertanyakan mengapa Paula ingin ke Paris padahal dia berharap bisa bersama dengan Pula sampai akhir. Dan betapa dia tidak paham sama sekali.
Gigi menangis hebat ketika mengetahui bahwa Paula bisa mendengar ketika kelahirannya dan dia tidak bisa menghadapi kenyataan itu. Bahkan ayahnya “berkata” jika Paula akan bisa dalam kepalanya. Mereka akan membesarkan Paula sebagai seorang tuli. Kenyataannya  Paula justru tidak hanya bisa bicara, tapi juga dia bernyanyi. Yang tersisa selebihnya hanya Pula yang punya alergi terhadap susu sapi sekalipun dialah yang harus mengurus sapi-sapi dan menjual olahannya.
Betapa orangtua Paula berharap penuh padanya, tapi kenyataannya? Di sinilah Paula merasa dilema. Haruskah dia melanjutkan latihan-latihannya bersama Thomasson semata agar dia bisa ikut kompetisi, atau tetap bersama keluarganya mengurus bisnis yang sudah dijalaninya sejak lama? Pertanyaan ini terjawab manakala, pada akhirnya Paula ikut audisi di Radio France. Sambil menyanyikan lagu berjudul “I Fly” milik Michael Sardou diiringi dentingan piano Thommasson instrukturnya, Paula membahasa-isyaratkan liriknya. Bahasa isyaratnya itu lantas membuat keluarganya, ayah, ibu dan adiknya menitikan air mata, (bukan tak mungkin penonton juga.)
Untuk mengetahui seperti apa jawabannya, tentu akan lebih lengkap jika kita menonton filmnya. Sangat direkomendasikan untuk siapa pun penikmat drama keluarga, apa lagi mereka yang difable dan punya ketertarikan pada difabilitas. [Fim Anugrah/”Saswaloka”]B

No comments:

Post a Comment