Sunday, July 30, 2017

[Cerpen] Minggu

Setelah lebih dari satu jam berjalan-jalan di sebuah toko buku, kuputuskan untuk sejenak istirahat di pintu pelataran pertokoan yang tertutup. Sebatang rokok dan sebotol minuman jadi teman di tingkah kota yang telah menjadi sesak.
Motor-motor terpakir di depan trotoar berjajar memanjang diapit mobil di sisi kiri dan kanan. Di jalan, kendaraan itu mengular berdesakan. Sesekali lalu lintas dibuat macet karena ulah tukang parkir yang kemudian disambut oleh suara klakson yang tak sabar. Sayangnya, itu semua bukan urusanku.
            Kuhisap asap rokok penuh dendam. Kuhirup napas panjang membuat dadaku yang kembang, kempis dalam sekali embusan. Dan aku mulai memikirkan hari minggu ini.


             Sudah jadi kebiasaan setiap hari minggu aku dan keluargaku keluar rumah untuk sekadar berjalan-jalan cari angin. Ini sudah menjadi rutinitas semenjak dua tahun yang lalu aku memutuskan pindah dari rumah mertua di kota sebelah dan menetap di rumah orang tuaku. Kota kelahiranku. Menemani ibu, karena ayah sudah tiada lima tahun yang lalu.
            Di hari inilah aku menghabiskan waktu, uang dan tenagaku untuk keluargaku. Istri dan anakku. Apa pun kulakukan yang penting mereka betah tinggal di kota ini. Kota yang berkembang dengan pesat sepesat pertambahan penduduknya. Sampai-sampai tak lagi bisa dibedakan mana pribumi mana pendatang.
Ah, dari dulu memang seperti itu. Entah sejak kapan, tapi ketika aku tahu bahwa kota ini adalah tempat yang strategis bagi para investor asing menanam modal perusahaannya, sejak itu pula kota ini diinvasi pendatang. Pabrik-pabrik tekstil berdiri di pelosok-pelosok desa tak jauh dari bendungan. Asramanya pun tak kurang banyaknya.
Sempat ketika aku kecil aku bertandang ke asrama pabrik itu ketika kakakku sedang pacaran dengan salah seorang karyawannya. Cantik rupanya, kemayu sikapnya, asli Jawa. Dua tahun pacaran akhirnya berkeluarga dan punya anak dua. Dua saja. Sekarang wanita yang biasa kupanggil “”Mbak itu menjadi bagian dari keluarga orangtuaku, dan dia masih datang ke asrama itu sebagai pedagang kredit pakaian.
Hari menjelang siang tapi orang-orang masih lalu lalang di depanku, di atas trotoar dengan kepentingannya masing-masing. Tak kuhiraukan. Istri dan anakku kutinggal di depot makanan di samping toko buku itu menikmati jajanan. Meski rutintias ini tak berjalan mulus tiga bulan terakhir ini, tapi toko buku ini tak pernah hilang dari daftar kunjungku. Terlebih, memang tak banyak toko buku di kota ini.
Sekiranya harus mengacungkan jari, maka cukuplah jari telunjuk dan jari tengah yang mewakili jumlah toko yang orientasi sebenarnya hanyalah pada alat tulis belaka, bukan buku. Di sini buku tidak dikenal, surat kabar pun tak lebih dari sekadar iklan di kios kecil di atas trotoar. Beda halnya dengan toko elektronik, toko pakaian, peralatan rumah tangga, dan toko-toko lainnya termasuk supermarket. Toko-toko itu melimpah bukan mainan.
Kadang aku berpikir, benar sudah majukah kota ini? Pembangunan, dengan kata lain bangunan, kok masih saja menjadi indikator perkembangan dan kemajuan kota? Bagaimana dengan pembangunan dan kualitas manusianya? Intelektualnya? Sejak masuk SD orang-orang belajar agar bisa membaca dan menulis. Tapi kenyataannya, terlebih untuk menulis, membaca pun masih api yang jauh dari panggang. Lalu, buat apa orang capek-capek sekolah dan menuntut ilmu kalau begitu? Tidakkah itu namanya sia-sia belaka?
Mungkin atas dasar itu pula mengapa sekalipun anakku baru tiga tahun, kusediakan banyak bacaan. Dongeng-dongeng, cerita rakyat, fabel, termasuk buku lain yang mendukung ketertarikannya pada buku, tak terkecuali buku menggambar dan mewarnai. Syukur, buku-buku semacam ini masih murah, untuk beberapa penerbit tertentu, dan memang harusnya seperti itu. Jika tidak, bagaimana bisa bangsa ini punya generasi penerus yang pintar dan cerdas?
Seorang pengamen di sebelah kananku, dekat gerobak kecil tempat aku membeli dua batang rokok, menyentak kesadaranku. Dia mulai memainkan gitar dan menyanyi lagu lama soal penguasa yang dimintainya uang. Sayup-sayup terdengar, “Berilah hambamu uang. Beri hamba uang!” Masih saja lagu lama dengan penyanyi lama yang namanya entah ke mana. Sedang di depan, suara klakson terdengar lagi. Angkutan umum berhenti seenaknya di tengah jalan menurunkan penumpang. Mobil silver di belakangnya tampak kesal tapi tak ada yang menghiraukan.
Tak ada yang menegur, karena petugas parkir sibuk menunggu uang dari motor yang hendak keluar dari barisan motor parkirannya. Tiba-tiba aku ingat dengan pemikiran sinis yang berkata jika adat istiadat dan kebudayaan membuat manusia jatuh pada sikap mencari enaknya sendiri. Konvensi sosial, walau tidak seluruhnya jelek, bagi kaum sinis seringkali dianggapnya tak masuk akal (absurd) dan karenanya pantas dicemooh.
Aku jadi ingat draft naskah Filsafat Sinisku yang belum usai. Filsafat yang mengajarkan kebijaksanaan, kemandirian, hidup tanpa nafsu dengan berpegang pada adanya alasan (reason) yang mengajarkan manusia berpikir dengan akal yang sehat dengan tujuan mencapai kebahagiaan hidup. Mungkin, kekacauan lalu lintas di depanku itulah buktinya. Kemanusiaan saling sengkarut, rusak, dan hilang karena orang bukannya tidak tahu, tapi tidak peduli. Itu sumber kehancuran. Sayangnya, sekali lagi, kemacetan di depanku itu bukan urusanku.
Hal yang sama, sialnya terjadi padaku. Semenjak aku hengkang dari tempat kerjaku enam bulan yang lalu, aku dipaksa menjadi seorang yang tidak peduli. Lembaga tempat aku bekerja menuntutku untuk peduli pada hal-hal berbau manajemen dan organisasi ketimbang pada konsumen yang justru menjadi target eksis dan kuatnya lembaga. Oleh sebab idealisme, aku pun resign.Tiga bulan pengangguran dan sekarang, tiga bulan setelahnya, aku bekerja sebagai tenaga harian lepas di sebuah instansi pemerintahan. Bangga? Tidak sama sekali. Karena instansi ini belum juga memberikan hak dari kewajiban yang aku lakukan selama ini. Pengangguran terselubung, itulah judul pekerjaanku.
Mau tak mau, aku harus hidup dengan uang tabungan dan uang yang kupinjam dari saudara-saudaraku. Dengan itu aku bertahan dan entah sampai kapan. Hanya saja dan walau demikian, tak berarti aku harus merenggut kebahagiaan keluargaku. Dengan gila aku memporak-porandakan lemari dan laci-laci rumahku semata agar anakku bisa membeli buku. Agar istriku bisa jalan-jalan dan jajan makanan kesukaannya. Tiba-tiba pikiranku berkata: Kota ini mungkin istimewa, tapi apa artinya jika aku masih pengangguran? Tetanggaku tak bisa melanjutkan sekolahnya. Para pemuda di kampungku masih saja mengandalkan pemasukannya dengan menjadi tukang ojeg.
Kota ditata-tata, ruang dibenah-benah, gapura, air mancur, hiasan di mana-mana, apa artinya semua itu jika kenyataannya masih banyak warga pribuminya jauh dari kata sejahtera. Sisi lain kota yang mungkin tak banyak orang tahu, karena publikasi hanya menuntut dan menginginkan hal-hal yang indah-indah dan bahagia saja. Sedang semiskinan dan penderitaan, seolah jadi barang haram untuk ditayangkan sebagai komoditi. Seandainya aku jadi pemimpin kota ini. Jadi bupati. Sungguh pikiran yang konyol
Rokokku habis sebatang, minumanku juga. Maka kuhisap rokok kedua dan sebuah permen rasa asam. Minggu menjelang siang, dan hiruk-pikuk pun menjadi-jadi. Kembali aku memikirkan diriku dan keluargaku. Memikirkan rutinitas ini.
Sekiranya harus jujur, ada alasan lain mengapa aku memilih merokok sendiri di trotoar ketimbang menemani istri dan anakku menikmati jajanannya. Jujur, dua hari ini adalah dua hari yang menyebalkan bagiku, termasuk ketika tadi pagi kami memutuskan jalan-jalan ke pusat kota.
Dari dulu aku selalu ingin tahu bagaimana rasanya hidup di usia 30-an dan berkeluarga. Kenyataannya, berkeluarga tak lantas mengubahku. Bagaimana seseorang bisa tahan berjalan di jalan yang sama dengan dua pikiran yang berbeda? Istriku mungkin bukan navigator yang baik. Tak kreatif dan tanpa inisiatif. Seakan-akan semua urusan keluarga hanya ada di pundakku.
Ketika aku mulai mengubah sifat dan sikapku pada anggota keluargaku, khususnya anakku, aku justru tidak melihat itu pada istriku. Sungguh peristiwa yang sepele sebenarnya, peristiwa yang aku pikir semua keluarga sempat mengalaminya.
Kemarin, ketika aku membetulkan dua dispenser orangtuaku yang bocor dan milikku yang korselt, aku harus mengerjakannya sendiri ditemani kesal terpendam. Aku tak meminta banyak dari istriku. Malah, aku berpikir mungkin dia bisa menyediakanku sebatang rokok dan segelas kopi. Akan tetapi, secangkir air pun tak kutemukan ada di dekatku. Setengah hari kuhabiskan untuk membetulkan dispenser sampai bisa dipergunakan lagi. Dan aku menyaksikan bagaimana istriku dengan enaknya tidur-tiduran dengan smartphone-ku bermain facebook dan toko online. Siapa yang tidak berang?
Pada malam harinya, masih saja aku bertanya apakah jadi besok (hari ini) jalan-jalan ke kota. Peristiwa yang sama terulang lagi. Ketika aku memeriksa dan membersihkan motor, istriku mengulangi hal yang sama. Sekiranya dia memang ingin jalan-jalan, pikirku, minimal dia bisa menyiapkan apa yang aku butuhkan: sarapanku, pakaianku, dan lainnya. Tapi kenyataannya? Lagi aku dibuat kesal.
Jadi ingat aku dengan nenek temanku yang berkata bahwa pintar dan cerdas itu tak ada artinya jika seseorang tak pengertian. Dan itulah yang sedang aku hadapi sekarang. Jangan tanya apakah aku sudah memberi tahu soal ngerti-mengerti ini. Cara halus sudah, kasar pun juga. Bahkan sampai bosan aku dibuatnya. Tapi kenyataannya, istriku masih saja manusia yang dulu. Yang manja, ingin enaknya sendiri, dan selalu minta dimengerti.      
 Mau sampai kapan ini harus terjadi? Haruskan aku membuat rencana? Membuat janji sekiranya istriku tidak juga berubah sampai batas waktu tertentu, maka lebih baik aku pulangkan saja pada orang tuanya lagi? Jalan ini jalan kita. Kitalah yang mestinya merencanakannya dan bekerja bersama.
Kuhisap asap terakhir rokokku yang tinggal setengah batang. Kutatap keramaian. Kudongakan kepala melihat langit berawan. Langit minggu yang menggelisahkn dan menyebalkan. [FN/"Saswaloka"]

Udug-udug, 26 Februari 2017

No comments:

Post a Comment