Wednesday, March 14, 2018

Segudang Permasalahan Menerbitkan Buku (2)

literary-agents.com
Pada bagian pertama tulisan telah digambarkan beberapa macam cara menerbitkan sebuah buku. Untuk mengafirmasi cara tersebut, bagian kedua ini akan menjelaskannya lebih lanjut. Tapi sebelumnya, barangkali ada baiknya untuk menjawab pertanyaan ini lebih dulu: Pertama, mengapa seorang harus menerbitkan buku? Kedua, mengapa menerbitkan buku harus lewat penerbit? Silakan simpan jawaban Anda. Selanjutnya, saya akan berbicara soal hal-hal lain yang belum sempat saya jelaskan di bagian pertama.

Pertama, menerbitkan buku secara self-publishing. Cara yang satu ini sebenarnya terbilang ekstrem. Mengapa? Karena tak pernah sepanjang sejarah ada manusia yang menuliskan dan menerbitkan pemikirannya dalam bentuk buku sendirian. Pasalnya terlebih buku, kitab suci pun tak pernah ditulis langsung oleh nabi, meski demikian hal ini jelas tidak bisa dijadikan perbandingan. Cara swadaya seperti ini saya sebut dengan istilah (maaf) "onani". Seperti yang dijelaskan di bagian pertama bahwa hanya dengan bermodal uang sendiri seseorang bisa menerbitkan bukunya sendiri. Suka-suka. Anda ketik naskah Anda, lalu membawanya ke percetakan yang akan membuatkan plat bagi lembar demi lembar naskah Anda lantas mencetaknya dalam jumlah yang besar. Mengusahakan ISBN untuk buku Anda ini ke Perpusnas RI tentu akan lebih baik. (Sayangnya, pemberian ISBN buku zaman now hanya bisa dilakukan oleh penerbit, tidak bisa perseorangan. Akan tetapi ini bisa terjawab jika Anda menggunakan sistem Pod). Dengan cara ini Anda akan mengetahui dari awal sampai akhir proses penerbitan buku Anda.

Apakah hanya sampai situ? Jelas tidak, karena yang harus Anda hadapi setelahnya adalah distribusi dan marketing. Tapi ini soal pilihan. Jika Anda meniatkan buku itu sebatas untuk bacaan komunitas, hal ini tidak lantas menjadi masalah. Pun kalau buku yang sudah Anda cetak itu hanya untuk disimpan di rumah Anda sendiri. Tapi jika kita berbicara buku sebagai produk, ini lain cerita. Seorang motivator bisnis berkata jika 90% keberhasilan sebuah produk berada di "tangan" marketing atau pemasaran. Produk apa pun percuma jika marketingnya tidak bagus. (Catat bahwa saya saat ini sedang berbicara buku sebagai produk yang menghasilkan uang (money-oriented) berbasiskan konsep waralaba dan bukan cuma bagi-bagi buku alias nirlaba.)

Jika niat Anda adalah agar buku Anda dibeli dan dibaca oleh konsumen, sudah tentu Anda harus memasarkannya. Anda harus mendistribusikannya seluas yang Anda bisa. Anda bisa menawarkannya kepada keluarga atau teman-teman terdekat Anda; pergi ke toko-toko buku dan melakukan konsinyasi pemasaran buku; buka lapak di stand-stand pameran; jual secara online sambil jor-joran mempromosikannya ke sana sini. Ketika Dee mencetak Supernova, kota Bandung dipenuhi oleh pamflet di setiap dindingnya. Sempat saya melihat dinding di sepanjang Jalan Cihampelas tertempel pamflet yang mempromosolan novelnya itu. (Betapa ramahnya penulis ini pada lingkungan, begitu pikir saya dulu.). Orang-orang melirik, orang-orang penasaran hingga akhirnya mereka pun membeli dan membaca novelnya itu. Sukses luar biasa karena novelnya memang bisa memuaskan para pembaca. Baru setelah itu, banyak penerbit yang menawarkan penerbitan naskah-naskahnya yang lain. Sekiranya Dee bisa bertahan untuk itu, akan tetapi anggota RSD ini memilih jalan penerbitan agar ga usah repot-repot mikiran distribusi dan marketing. Alasannya saya pikir, ya apa lagi kalau bukan efektivitas dan efesiensi. Memang ga cape apa mempromosikan buku sendirian?

Permasalahan lain adalah masalah legalitas. Sebuah buku biasanya harus memiliki ISBN (International Standar Book Number), semacam identitas berupa nomor buku yang dikeluarkan oleh Perpusnas RI. Satu nomor untuk satu buku di dunia. Apakah harus? Jika mau terdaftar dan diakui, ya harus. Tidak pun tidak masalah. Buku-buku stensilan yang harganya cuma lima ribu atau sepuluh ribu perak tak pernah punya ISBN. Dipermasalahkan oleh Perpusnas RI, tidak sama sekali. Permasalahan akan muncul jika buku Anda ternyata terkenal dan jadi sorotan. Yang kedua adalah masalah kelembagaan. Beberapa waktu lalu wara-wiri dibahas soal buku yang harus diterbitkan oleh penerbitan berbadan hukum, entah itu PT, CV atau komunitas sekalipun. Ini berimbas pada pertanggung jawaban berupa pajak buku yang harus dibayarkan pada pemerintah. Secara ekspilit hal ini diatur oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Namun demikian, sekalipun UU ini telah diberlakukan, praktek buku tak berbadan hukum dan tak berlisensi ISBN masih marak di pasaran, tak terkecuali buku bajakan yang mudah-mudahan akan saya dibahas di lain tulisan. Kita tunggu saja masa percobaan dua tahun ini sebelum UU itu benar-benar diberlakukan. Bakal seperti apa nantinya dunia perbukuan di negeri ini.

Cara ini bisa diakomodir dengan cara yang kedua (Pod), di mana Anda, dengan modal sendiri, menggunakan jasa penerbitan buku yang sah dan legal. Anda hanya cukup mengirimkan naskah sekaligus uang Anda kepada penerbit untuk dicetak. Ada keuntungan lain sekiranya kita memakai jasa ini. Selain, kita mendapatkan editor untuk buku kita, kita pun mendapatkan jasa layouter dan designer untuk sampul buku. Dalam artian, kerja penerbitan benar-benar diberlakukan pada buku yang Anda ingin terbitkan, walau dari segi kualitas hal ini bisa menjadi debatable. Meski demikian, lagi-lagi soal distribusi atau marketing kembali Anda harus memikiran ulang. Kecuali, jika ada pembicaraan lebih lanjut antara Anda dan penerbit masalah ini. 

Begitu banyak praktek penerbitan semacam ini yang barangkali tak semua orang tahu, hanya karena masalah terbit-menerbitkan buku hanya terjadi di belakang meja. Masyarakat awam hanya tahu film yang ditontonnya saja, tak pernah mereka tahu seperti apa prosesnya: orang-orang yang bekerja dalam pembuatan filmnya, dan lain-lainnya. Tidak terkecuali buku. Masih banyak orang yang menganggap bahwa keberhasilan sebuah buku hanya pada penulisnya semata. Padahal ada editor di sana yang bekerja edan-edaan, layouter yang memantas-mantaskan penampilan buku, designer sampul yang bikin buku bisa dilirik mata, tukang cetak, tukang nge-pack, distrubutor yang nglor-ngidur masarin buku ke toko-toko atau kios buku. Semua ini tak sebentar. Prosesnya panjang.

Saya jadi ingat bagaimana saya harus mengerjakan tiga naskah buku dalam waktu satu bulan. Naskah yang sangat mentah sampai-sampai saya harus memangkas 40% konten untuk setiap naskahnya dan mengganti dengan materi yang sama sekali baru. Beberapa orang berkata jika nama saya harus dicantumkan di buku karena jika diakumulasikan pekerjaan saya itu tidak jauh beda dengan penulisnya. Tapi saya bilang biar saja. Toh dari awal saya memang seorang editor. Jika Anda ingin tahu seperti apa kerja editor, cobalah tonton film Genius (2016) yang diperankan oleh Jude Law dan Colin Firth atau The Great Passage (2013) yang diperankan Ryuhei Matsuda. Sebuah naskah bisa dikerjakan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya. Ini, orang-orang dan pekerjaannya, yang barangkali membuat harga buku menjadi mahal. Sebabnya, apa lagi kalau bukan tuntutan hidup?

Praktek penerbitan memang banyak macamnya, bahkan lebih dinamis dari yang orang tahu. Seperti yang disebutkan di bagian pertama tulisan bahwa jantungnya penerbitan adalah naskah. Maka dari itu cara apa pun bakal dilakukan oleh penerbitan. Ketika Anda mengirimkan naskah kepada penerbit, tidak berarti bahwa setelah diterima maka naskah itu langsung akan dicetak, yang artinya Anda dan penerbit akan dengan segera melakukan perjanjian. Tidak! Ada banyak cerita penerbit yang barangkali tidak pernah tercatat di halaman buku atau laman internet manapun yang "bermain" dengan penulis, atau sebaliknya. Di tahap inilah, biasanya penerbit "bermain".

Seperti pada cara yang disebutkan sebelumnya, yakni Pod, bahwa sebenarnya bahkan sebelum penulis bermaksud untuk menerbitkan buku, tak sedikit penerbit yang menawarkan jasa Pod. Ada banyak situs yang dengan gencar melakukan praktek semacam ini bisa Anda temukan dengan mudah. Dengan iming-iming bahwa Anda tidak harus repot-repot menunggu penerbit yang mau menerbitkan naskah buku Anda, mereka bisa dengan mudah melakukannya. Saya yakin Anda akan puas, walau saya tidak cukup bisa menjamin buku yang sudah terbit bisa juga memuaskan hal-hal lain, seperti finansial Anda, atau mungkin pembaca buku Anda. 

Untuk masalah ini saya jadi ingat soal cerita di awal tulisan di bagian satu. Di sana saya berbicara soal seorang penulis yang cukup tergesa-gesa ingin menerbitkan buku. Walhasil, konten bukunya tampak sangat prematur tak ubahnya pemikiran penulisnya. Saran saya kepada calon penulis pemula, lebih baik gunakan waktu untuk mencari banyak ilmu, menambah wawasan dan pengetahuan, dibarengi pengalaman menerbitkan tulisan Anda di media temporal seperti surat kabar, majalah, situs online, lomba-lomba menulis, dan banyak lagi. Makin banyak pengalaman maka makin bagus. Tidak hanya Anda, tulisan Anda pun menjadi lebih matang hingga akhirnya Anda telah benar-benar siap terjun ke dunia penerbitan untuk menerbitkan naskah buku Anda. 

Jika mungkin, jadikan "menerbitkan buku" bukan sebagai tujuan, tapi konsekuensi logis dari kebiasaan Anda menulis. Saya pikir dunia takkan  menutup mata sekiranya pemikiran Anda memang pantas untuk dilayangkan dan diketahui ke publik. Namun demikian, saya tidak melarang jika Anda punya tujuan lain, semisal dakwah, ingin menjadi kaya dari menulis, atau ingin terkenal. Itu sah-sah saja. Namun, akan lebih baik jika Anda punya tujuan yang lebih langgeng. Tujuan yang tak lantas membuat Anda berhenti hanya apa yang Anda tuju di awal sudah tercapai. Karena jika benar-benar seperti itu, kerja mulia Anda untuk kemudian hanya akan tinggal kenangan. Kaya sudah, terkenal juga, terus mau apa lagi? Ya sudah. Semoga hal ini tidak terjadi pada Anda.

Kembali kepada masalah "permainan". Ada yang menggelitik saya ketika saya mendengar cerita beberapa teman penulis ketika mereka harus berhubungan dengan penerbit. Cerita pertama adalah penulis yang dipanggil penerbit atas naskahnya yang diajukannya. Di depan penulis, penerbit yang diwakili beberapa orang redkasi berkata tentang betapa bagusnya naskah bukunya itu. Buku yang bergenre pendidikan itu menggunakan metode yang sangat berbeda dalam mendidik pembelajar/pembaca ketimbang buku-buku yang pernah ada dan terbit umumnya. Saya sendiri tidak cukup tahu seperti apa konten buku itu, hanya saja teman-teman yang sempat membaca naskah buku itu berkata jika buku berisi metode mengajar-nya itu benar-benar unik. One of a kind. Sekalipun bukan seorang guru, tapi buku itu bisa mengajar pembacanya dengan efektif dan efisien. Sayang seribu sayang penerbit meminta jaminan kepada penulis perihal bakal laku atau tidaknya naskah itu sekiranya diterbitkan penerbit tersebut. 

Sekiranya penerbit itu termasuk penerbit kecil yang banyak menggunakan konsep Pod tadi, saya mungkin tidak perlu merasa heran. Akan tetapi, penerbit ini adalah penerbit mayor yang sudah menerbitkan ribuan buku semenjak berdirinya. Mendengar cerita pengalaman teman semacam itu, justru saya kaget. Bagaimana bisa penerbit besar berinisial M bisa-bisanya melakukan transaksi jual beli macam di pasar tumpah saja. Di mana wibawa dan kredibilitasnya? 

Tapi, tidak ada yang lebih miris ketimbang cerita kedua. Cerita teman dari teman saya yang menerbitkan sebuah novel di sebuah penerbitan yang kemudian justru malah membesarkan nama penerbitnya. Teman saya berkata jika sebenarnya si penulis menyerahkan naskah sekaligus dengan uangnya kepada penerbit itu. Saya pikir penerbit tersebut menggunakan sistem Pod. Dengan berat hati si penulis pun memberikan uang yang tak sedikit itu kepada penerbit karena memang selain dia punya uang dia ingin sekali menerbitkan novel yang dikarangnya. Apa yang terjadi? Tidak hanya novelnya itu best-seller, akan tetapi novel itu pun sampai difilmkan segala ke layar lebar. Film berjudul sama dengan novelnya itu menjadi sangat terkenal sampai-sampai menyabet penghargaan Festival Film Indonesia segala di tahun 2004. Kadang saya berpikir, sebuah buku punya takdirnya sendiri. Jika Tuhan menakdirkan terkenal, ya terkenal saja, sekalipun perlakuan awal terhadapnya tak lantas cukup menyenangkan.

Begitu banyak praktek yang dilakukan penerbit yang kesannya elegan di mata penulis, tak terkecuali dengan menadakan lomba-lomba atau sayembara menulis. Entah itu novel, puisi atau cerpen. Apa pun bentuk tulisannya, sekiranya tulisan itu terpilih maka penerbit bisa menerbitkan bukunya itu dalam bentuk antologi tunggal atau bersama. Yang jadi masalah adalah apresiasi yang didapat penulis setelah itu. Sebetulanya fair-fair saja jika antara penulis dan penerbit sudah punya kesepakatan. Hanya saja, bagi saya pribadi, menulis bukanlah pekerjaan gampang. Ini bukan semata menyusun kata-kata dalam bentuk paragraf, lebih dari itu mengejawantahkan pohon pemikiran hingga akhirnya menjadi buah tulisan yang benar-benar koheren dan komprehensif dan sebagainya dan sebagainya. 

Tulisan itu ibarat pohon. Ada benih yang ditanam, lalu disiram dengan sangat sabar, diberi pupuk agar tumbuh kuat dan menghasilkan, dipantas-pantaskan bentuknya, dipotong daun dan rantingnya, dijaga dari hama atau bencana, disayangi dan dikasihi sepenuh hati. Betapa panjang proses ini hingga akhirnya kita bisa menuai hasilnya. Pertanyannya adalah, relakan Anda menjual murah buah yang dihasilkan dari pohon yang anda rawat itu, atau Anda beri kepada orang lain dengan percuma? Atau yang lebih parah lagi, Anda memberi uang kepada pembeli yang mestinya memberi uang pada buah pohon Anda? Dimana logikanya? Di mana apresiasinya? Di mana kerja keras dan kekayaan intelektual yang katanya mesti dihargai itu berada? Atau apakah itu hanya omong kosong belaka? Anda sendiri yang menentukan. Saya tak lagi bisa membayangkan lebih lanjut kengerian yang terjadi dari praktek semacam ini kecuali tiga kata yang mengakhiri sistem menerbitkan naskah buku lewat penerbit ini, yakni jual-beli dan royalti. 

Terakhir, untuk tulisan yang panjang ini adalah, menerbitkan buku melalui agensi. Sebelumnya, saya bertanya-tanya, sejak kapan Timur menjadi Barat? Pasalnya, di media sosial sekarang ini ada beberapa--untuk tidak menyebut banyak--agen-agen buku yang "mengundang" para penulis menerbitkan bukunya. Macam lowongan pekerjaan, mereka menawarkan judul-judul buku yang dibutuhkan pada para penulis yang berniat dan berminat untuk dibuatkan bukunya. Loker ini biasanya diiringi dengan ketentuan dan praysarat hingga pada akhirnya para penulis terpilih pun melakukan interaksi lebih lanjut dengan perwakilan agen lewat media yang lain. 

Cara kerjanya sama percis dengan agen buku (literary agent) yang ada di Barat (baca: Amerika). Agen bekerja pada penerbit yang butuh naskah dan menjadi garda depan penulis bagi buku yang ditulisnya. Dia memoles naskah buku si penulis sesuai keinginan penerbit, yang artinya akan banyak orang yang bekerja di agensi untuk buku yang diajukan pada penerbit, bahkan kerjanya tak jauh beda dengan orang-orang penerbitan. Ada editor, layouter dan sebagainya. Dengan kata lain, agen adalah manajer penulis dan bukunya.

Di satu sisi keberadaan agen baik bagi para penulis, apa lagi yang masuk golongan penulis pemula. Mereka bisa menjadi pembimbing sekaligus penasehat bagi tulisan kita. Tidak seperti ketika si penulis secara personal mengirimkan sendiri naskahnya pada penerbit via editor, menggunakan jasa agen penulis bisa mengirimkan naskahnya secara bertahap. Di Amerika sendiri, hampir 80% persen buku yang diterbitkan penerbit, semunya lewat agen. Saya sendiri pernah berhubungan dengan salah satu agen macam ini. Untuk gambaran lebih jelas Anda bisa membacanya di sini.

Permasalahan muncul ketika penulis harus mendapatkan honor minim karena sudah barang tentu sebagian jatahnya harus lebih dulu dipotong oleh agen. Sayangnya, beban penulis tak lantas berkurang. Lebih dari itu, mereka harus pula dikejar deadline. Jika kita berpatokan pada latar belakang sosial dan budaya, masalah buku masih jadi kendala di negeri ini. Tidak seperti Amerika di mana profesi penulis benar-benar dihargai dan produknya pun telah menjadi salah satu dari kebutuhan pokok manusia. Hemat kata, tingginya budaya membaca berbanding lurus dengan budaya menulis. Belum lagi berkata prestasi, prestise dan persentase (baca: kesejahteraan). Di sini? Seorang penulis masih harus megap-megap sekalipun bukunya sudah terbit. Dia yang paling akhir menikmati hasilnya. Bahkan penulis profesional sekaliber Sapardi Djoko Damono saja masih saja dikadali oleh penerbit besar seperti yang diceritakan di sini. Penulis yang lain malah dicatut namanya. Tapi, semoga itu lain cerita.

Memilih agen untuk menerbitkan buku adalah masalah pilihan. Siapa saja, entah itu penulis bahkan agen sendiri punya hak-nya masing masing pun dengan tanggung jawabnya. Selama saling menguntungkan dan saling merugikan, kenapa tidak. Hanya saja, seperti yang saya sebut di atas tadi, sudah siapkah Indonesia punya agensi penerbitan (literary agen). Apakah keberadaannya akan menyelesaikan permasalahan penerbitan-perbukuan yang ada di negeri itu, atau malah menjadi masalah baru hingga akhirnya seluk beluk dunia ini tak ubahnya lingkaran setan? Hanya waktu yang bakal membuktikan. (FA)

No comments:

Post a Comment