Wednesday, February 6, 2013

Bahasa Tulisan Yang Aneh (?)

entah apa yg terjadi tapi mungkin guru basa indonesia lupa memberi tahu murid2 SMA-Nya jika stiap hurup pertama di kata pertama dlm sebuah kalimat itu harusnya kapital atau huruf BESAR & bukan huruf kecil seperti tulisan ini termasuk huruf kapital pada kata yg merujuk sebuah nama tempat negara dlsb.
Tentunya tidak hanya masalah hurup kapital saja mereka pun menyingkat kata2 mirip bahasa sms seperti kata yg, dlm, stiap dan & bahkan kata ulang pun ditulis menggunakan angka 2. Entah karena masalah epektipitas atau mungkin semata untuk menghemat enerji (tina). Teramat remeh memang masalah ini tapi apakah harus dibiarkan saja sekalipun guru basa Indonesia tahu kesalahan itu dari tugas-tugas dan PR-PR yang mereka kerjakan dan kumpulkan padahal kita semua tahu jika ketidakpedulian adalah akar kebodohan dan kebodohan adalah benih kemiskinan. (Pantesan negeri ini ga maju-maju atuh!)

Sebenarnya perbuatan mereka ini tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena bisa jadi mereka merupakan murid-murid kaum Atomis atau Newtonian yang punya prinsip jika atom selalu mencari jalan sependek-pendeknya dalam usaha menempati void atawa kehampaan mk dr tu hrf-hrf vkl mnjd tdk pntng utk dtlskn sklpn tdk spnhny (maka dari itu huruf-huruf vokal menjadi tidak penting untuk dituliskan sekalipun tidak sepenuhnya). Begitulah hukum alam berperan dalam bahasa dewasa ini di zaman yang masih kanak-kanak.
Akan tetapi  dengan ini pula bahasa jadi berpenyakit. Virus-virus seperti sinkope, apokope, kliping, bending dan banyak lagi virus lainnya menjangkiti basa tulisan. Apakah salah? Seorang ahli tata bahasa atau sebut saja pakar linguistik bisa jadi mencak-mencak melihat tulisan seperti ini dan langsung berkata kalau tulisannya buruk sebagaimana bahasanya. Banyak salahnya dan tidak berterima(?) sekaligus dia pun berkata: “sudah sana balik lagi ke SD!” Tapi tatabahasawan yang lain yakni kaum Newtonian tadi mungkin menjawab: “Oh tidak! Itu justru sesuai dengan prinsip maximum ease of articulation. Namanya juga bahasa. Makhluk yang satu ini memang susah buat dimengerti. Hahaha….” sambil tertawa dan berkacak pinggang dan pergi meninggalkan sang profesor yang kebingungan karena tidak bisa membuat setiap orang bisa berbahasa (tulisan) dengan baik dan benar.
Belum beres masalah penyakit bahasa entah itu masalah menyingkat kata dengan lugunya dan tanpa merasa salah dan dosa murid-murid menulis kalimat dengan tidak menggunakan tanda baca yang tepat dan sesuai sementara kita tahu tanda baca adalah rambu rambu tulisan yang tidak hanya bisa membedakan arti tapi juga memudahkan pembacaan bagi setiap pembacanya tidak seperti paragraf ini pun paragraf-paragraf yang sebelumnya yang membutuhkan napas yang panjang untuk membacanya dan ini namanya menyusahkan dan dan mmembingungkan.
Cape kan?
Dengan tetap berprasangka positip, mungkin guru-guru bahasa kita lupa mengenalkan muridnya pada koma, titik, cara penulisan yang baik dan lain sebagainya. Maklum, anak-anak harus belajar banyak mata pelajaran dan guru-guru bahasa juga sibuk dengan materi yang harus diberikan pada murid-muridnya sampai-sampai mereka lupa mengenalkan muridnya dengan koma, titik dan kawan-kawannya itu.
Lalu untuk masalah penulisan, seorang ekskyuer yang tidak bisa mengucap dan menuliskan kata excuse dengan tepat dan tidak juga membuat miring katanya mungkin akan berkata: “Namanya juga anak-anak. Maklumlah, mereka kan sedang belajar. Tahu sendiri, kalau “kotor” ga belajar.” Orang-orang yang baik yang sangat sayang dengan anak-anak pun menyepakati perkataan itu seraya berkata: “Jangan terlalu keras pada anak-anak. Namanya juga anak-anak, salah itu wajar,” sambil berlalu tak peduli dengan masalah remeh temeh seperti ini karena yang paling penting bagi mereka bukanlah seperti apa dan bagaimana belajar mereka tetapi bagaimana nilai yang didapatkan anak-anak itu. “Lagipula urusan menyambung hidup itu lebih penting dari sekadar masalah titik dan koma dan yang semacamnya itu,” timpalnya.
Tanpa pikir panjang sekaligus teringat presiden berpeci dan suka menggunakan kursi roda, dia pun berkata: “Gitu aja kok repot! Kata-kata kotor seperti SMA-nya yang ditulis SMA-Nya; energi yang ditulis enerji; efektif yang ditulis epektip; huruf yang ditulis hurup; kata positif ditulis positip; termasuk kata miring yang harus dimiringkan itu, ya, tinggal dibersihkan saja. Buat apa ada guru bahasa kalau begitu?” Seraya memalingkan muka, hatinya menyembunyikan kalimat (“Nanti juga kotor lagi. Hihi.”)
Tiba-tiba seorang guru yang geram berteriak lantang: “Mengapa semua kesalahan anak-anak itu harus dituduhkan pada kami, guru-guru bahasa?” Seorang sinis mencibir: “Soalnya, orang tuanya sibuk kerja mencari uang yang dibayarkannya untuk SPP, untukmu wahai guru-guru pengajar (ga tau deh kalau pendidik mah). Lupa ya tadi sudah dibahas? Oya, maap, saya teh orang daerah yang tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Jadi maap kalau bahasa sayah campur aduk. Semoga ini tidak lantas mengurangi harkat dan derajat bahasa yang besar ini, dan semoga juga bahasa daerah tidak lantas memiliki status yang rendah ketimbang bahasa negeri pemersatu bangsa ini,” (sambil mengusap dada tanda syukurnya terhadap tanda kutip yang menyelamatkan kata-katanya.) Tuh kan, kotor lagi!
Bahasa memang susah sesusah permasalahan yang muncul karenanya. Satu yang pasti, kenyataan memperlihatkan jika pada akhirnya anak-anak kita tumbuh tanpa , tanpa . tanpa cara menulis kata, kalimat, dan paragraf yang baik. Mereka tak mengenal ejaan yang baik dan benar itu sebagaimana mereka tak mengenal dirinya sendiri. Mengapa? Karena persoalan hidup teramat sangat banyak di muka ini ketimbang masalah titik dan koma. Hemat kata, mereka hidup tanpa mengenal bahasa, yang katanya, menjadi alat kesatoean dan persatoean negerinya sendiri. Identitas bangsanya! Akhirnya, bahasa (tulisan) mereka pun tampak seperti badut tak lucu yang seolah-olah mengajak tertawa pembacanya sekalipun pembacanya itu sangat tidak ingin tertawa melihat tulisannya hanya karena ada kata haha, hihi, hehe di dalamnya.
“Sungguh bahasa yang aneh,” tukas seorang bisu yang kebetulan punya bahasanya sendiri. [Fim Anugrah/”Saswaloka]

No comments:

Post a Comment