Tuesday, February 26, 2013

Islam Pandang Pluralisme Agama: Sebuah Wacana Persfektif



Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S. 109: 2-6)




PENDAHULUAN

Pluralisme Agama, atau yang kini biasa disebut pluralisme saja, merupakan istilah yang berbung-bunga dan penuh dengan janji-janji. Janji tentang kehidupan yang damai dan rukun antar masyarakat yang berbeda-beda, terutama agama, kepercayaan, etnik, ras, kelas sosial dan kelas ekonomi. Tentu saja, bagi masyarakat Indonesia ini adalah sesuatu yang baru. Namun yang baru itu sendiri dapat berubah menjadi sebuah titik tolak berkembangnya pluralisme di negara kita terlebih setelah eksperimen membuktikan lebih dari 50 tahun Indonesia berakhir dengan krisis di segala sisi kehidupan berbangsa.

Sebuah wacana persfektif pemikiran pluralisme akan diangkat dalam makalah ini dengan mengedepankan pemahaman yang sungguh-sungguh atas makna yang terkandung di dalamnya. Pun akan dibahas tentang tren-tren pemikiran pluralisme yang menjadi induk berbagai tren pemikiran tentang pluralisme yang berkembang dewasa ini. 
Menjadi sebuah indikasi bahwasannya pluralisme agama semakin hari justru berkarakter menjadi sebuah agama baru. Baik di level pemikiran maupun di level implementasinya. Bagaimana tidak pluralisme agama kini memiliki semua syarat untuk disebut sebagai agama, yaitu: totalitas, absolutisme, komprehensif, dan eksklusivisme. Alih-alih menjadi wasit bagi semua agama dan kepercayaan. Pluralisme semakin menunjukkan tanda-tanda bahwa pada akhirnya keadaan yang hendak dicapainya tak lain dan tak bukan ialah terminasi agama-agama.
Secara garis besar penyusunan penulisan makalah ini dipaparakan dalam tiga bagian. Pertama adalah Pendahuluan, merupakan latar belakang atau pokok permasalahan tentang Pluralisme Agama. Bagian kedua merupakan isi dari makalah yang terkompilasikan dalam tiga poin: poin A memaparkan tentang definisi pluralisme yang di dalamnya terkandung perumusan masalah, poin B membahas tinjuan atas bahasan yang direfleksikan dalam empat item yang komprehensif. Poin C adalah solusi atau penyikapan permasalahan yang diejawantahkan dalam tiga item. Dan terakhir adalah penutup atau simpulan dari yang dapat diambil dari pokok bahasan serta refleksi diri.

ISLAM PANDANG PLURALISME AGAMA: SEBUAH WACANA PERSFEKTIF

A.    ‘Makhluk’ yang Disebut Sebagai Pluralisme

Jika kita lihat dari berbagai tinjauan, ada banyak sekali definisi tentang pluralisme. Secara epistemologi, Pluralisme Agama, berasal dari dua kata, yaitu kata ‘pluralisme’ dan ‘agama’. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al ta’addudiyyah al dìniyyah” dan dalam bahasa Inggris “religious pluralism”. Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada bahasa tersebut. Dalam kamus bahasa Inggris, pluralisme mengandung tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan  (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan baik sifat kegerejaan maupun non- kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mengaku adanya landasan pemikiran yang mendasari lebih dari satu. Sedangkan Ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut1). Sehingga Pluralisme Agama dapat diartikan sebagai kondisi hidup beragama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing.
Kata pluralisme sendiri harus dibedakan dengan pluralitas. Pluralitas adalah suatu kenyataan. Kenyataan dimana kita sebagai komunitas masyarakat hidup dalam suatu kemajemukan, seperti agama, kepercayaan, suku, ras, dan lain sebagainya. Bahkan jika pun kita telaah, pada dasarnya Islam tumbuh karena sebuah lingkungan yang plural (pluralitas). Sungguh tepat kiranya MUI menggunakan kata pluralitas dengan pluralisme. Menurut mereka pluralitas itu tidak ada masalah. Akan tetapi, bahawa pluralisme itulah yang justru jadi masalah.
Walau sudah ada semacam clear-cut antara definisi pluralitas dan pluralisme, tetapi sampai saat ini makna pluralisme masih ada dalam kesimpangsiuran atau masih dalam kerancuan. Tak urung menjadi sebuah perdebatan yang alot diantara pemuka-pemuka agama. Serta penyikapan yang masih dicari solusinya.
Seperti yang sudah dituliskan di atas, Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng] pluralism adalah : "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/pembiasan)."
Dalam bukunya yang berjudul Tren Pluralisme Agama, Dr. Anis mengutip definisi populer dari Pluralisme Agama yang dirumuskan John Hick lewat buku ‘Religious Pluralism’:

"refers to a particular theory of the relation between … traditions, with their different and competing claims. This is the theory that the great world religions constitute variant conceptions and perceptions of, and responses to, the one ultimate, mysterious divine reality." (Pluralisme agama mengacu pada sebuah teori khusus tentang hubungan antara tradisi-tradisi -agama-agama-, dengan klaim-klaimnya yang berbeda dan bersaing. Ini adalah teori bahwa agama-agama besar dunia merupakan konsepsi-konsepsi dan persepsi-persepsi tentang, dan respon-respon terhadap, realitas ketuhanan yang mutlak dan misterius yang satu).

Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Pluralisme adalah paham religius artifisial, yang berkembang di Indonesia, dan merupakan bentuk lain dari asimilasi tetapi menyerap nama pluralism. Jika teori, atau lebih tepatnya: paham, "persamaan agama" di era modern ini lahir dan berkembang di belahan dunia bagian barat -sebagai konsekwensi logis dari proses demokratisasi, maka paham ini secara tak terhindarkan segera merambah ke bagian-bagian belahan dunia yang lain yang mentaklidi sistem demokrasi ini, seperti Indonesia.
Dari banyaknya definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwasannya Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Oleh karena tujuan semua agama itu sama yaitu untuk menyembah The Real, Yang Maha Agung, maka atas dasar itu pula cara yang dipakai pun sah-sah saja walau merujuk kepada satu agama atau mengadaptasinya. Pluralisme dalam pengertian di atas dikatakan telah menjadi semacam `aqidah. Di kalangan kaum pluralis sendiri memang telah ada yang mengatakan demikian.2)
Pluralisme (agama) dalam konteks pembicaraan ini merujuk faham menyamakan semua agama dalam artian:
a.      Kebenaran ada dalam semua agama, dan
b.      Keselamatan boleh dicapai melalui agama yang lain.
Pluralisme dalam pengertian ini harus dibedakan dengan toleransi antara agama dalam sebuah masyarakat majmuk. Selain itu ia juga harus dibedakan dengan sinkritisme yang selalu diartikan sebagai faham campur-aduk pelbagai agama.

B.    Pluralisme Agama dan Sebuah Tinjauan

1. Sejarah dan Perkembangannya

Pluralisme muncul pada masa yang disebut Pencerahan (Enlightment) Eropa, tepatnya abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titk permulaan bangkitnya pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana pergolakan pemikiran yang terorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan agama. Ia berkembang dalam setting sosial-politik humanisme sekuler Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal atau paham liberlisme yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.
Oleh karena paham “liberalisme” pada awalnya muncul sebagai sebagai mazhab sosial politis, maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya termasuk gagasan pluralisme agama juga kental dengan nuansa dan aroma politik. Di sini pluralisme ingin tampil sebagai klaim kebenaran yang humanis, ramah, santun, toleran, cerdas, mencerahkan, demokratis, dan promising. Hal ini antara lain dikatakan oleh tokoh pluralis yang paling bertanggung jawab, John Hick.
Seiring waktu berjalan, pluralisme pun berkembang dengan pemikiran-pemikiran baru dari pakar-pakar yang sebelumnya berkontribusi mencuatkan “metamorfosa” ini di dunia. Pada abad ke-15 cikal bakak pluralisme ini muncul di India dalam gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya Guru Nanak (1469-1538) pendiri agama “Shikisme”. Di abad ke-19 pluralisme agama mulai dikenal di Amerika sebagai upaya peletakan landasan teoretis dalam teologi kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Pelopor gerakan reformasi pemikiran agama ini adalah Friedrich Schleiermacher. Di mana itu pun berkembang dari lingkungan gereja kristen yang mana banyak pemuka-pemukanya yang memang sudah mengenal dasar-dasar atas pemikiran yang melandai pluralisme itu (red: liberlisme). Di abad ke-20 ini seyogianya Pluralisme Agama telah menjadi sangat kokoh.
Jika pun kita meilhat sebab-sebabnya, di sini sedikit disisipkan. Sebab-sebab timbulnya teori pluralisme sebenarnya amat banyak dan beragam. Namun dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal. Untuk yang pertama, faktor internal atau ideologis merupakan faktor yang timbul sebagai akibat adanya tuntutan akan kebenaran yang mutlak (absolue truth-claim) di agama-agama itu sendiri, baik masalah aqidah, sejarah maupun keyakinan atau doktrin. Sedangkan Faktor eksternal atau biasa dikenal dengan faktor sosio-politis, rupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial dan politis yang berkembang di kalangan masyarakat.

2. Tren-Tren Pluralisme dan Dasar-Dasarnya

Dalam perkembangannya, ternyata diketemukan tren-tren pemikiran yang menjadi induk akan tumbuhnya pluralisme yang tengah marak saat ini. Tren-tren itu antara lain: tren humanisme sekuler, teologi global, sinkritisme dan hikmah abadi (Sophia Perennis).
1.       Secara umum, konsep Humanisem Sekuler bercirikan “antroposentris”, yaitu menganggap manusia sebagai hakikat setral kosmos (center of cosmos) atau menempatkan manusis di titik sentral. Intinya, manusia adalah satu-satunya standar bagi segala sesuatu.
2.      Selanjutnya teologi global. Teologi ini luar biasa dahsyat dan komleks karena dapat mengubah tatanan hidup manusia dalam segala aspek. Ia telah menyebabkan luntur, dan bahkan lenyapnya jati-diri dan nilai-nilai suatu kultur dan budaya. Inti ajarannya bahwa tidak perlu bersikap resisten  dan menentang globalisasi dan globalisem yang sudah nyta-nyata menjadi kenyataan dan tak mungkin untuk bisa menghindarinya.
3.      Tren Sinkretisme adalah suatu kecenderungan pemikiran yang berusaha mencampuradukkan dan merekonsiliasi berbagai unsuryang berbeda-beda (bahkan mungkin bertolak belakang) yang diseleksidari berbagai agama dan tradisi, dalam suatu wadah tertenu dan dalam suatu agama yang ada (berwujud suatu aliran baru)
4.      Hikmah Abadi justru muncul sebagai respon kritis terhadap tren-tren tersebut di atas. Tesis himha abadi ini berambisi dan mengklaim ingin mengembalikan agama ke habitat asal-kesucian dan kesakralannya yang sempurna lagi absolut, serta ingin memperlakukan semuanya secara adil dan sama rata sepenuhnya.3)

3. Implikasi Pluralisme Terhadap Agama

Fenomena pluralisme agama pada kenyatannya sangat kompleks dan tidak sesederhana yang kita bayangkan. Apabila kita memperhatikan peta fenomena pluralisme agama sebagaimana yang telah termanifestasi dalam tren-trennya –bahwa semua agama itu sama- secara serius, seksama, kritis dan obyektif, maka kita akan segera dikagetkan dengan berbagai masalah dan isu mendasar yang berimplikasi sangat berbahaya bagi manusia dan kehidupan keagamaannya. Sebagian implikasi teori atau faham ini erat kaitannya dengan isu-isu yang bersifat teoritis, epistemologi dan metodologis, serta berhubungan dengan isu HAM (Hak Asasi Manusia)- khususnya kebebasan beragama. Ini mengantarkan gagasan pluralisme pada posisi yng sulit untuk menjawa petanyaan yang krusial, apakah gagasan ini benar-benar mampu memberikan solusi yang ramah terhadap konflik-konflik antar agama, seperti yang diklaim oleh para penggaagasnya, atau malah menimbulkan problem barudalan fenomena pluralisme agama?
Implikasi nyata yang muncul atas konsekuensi logis munculnya pluralisme agamad di antaranya adalah terminasi agama-agama. Sebagaimana yang kita tahu bahwa di beberapa negara Barat koeksistensi antar berbagai penganut agama, Kristen, Judaisme, Islam, Hinduisme, ateisme, sekelerisme seudah “tampak” hidup berdampingan dalam suasana penuh kedamaian, keramahan, toleransi, kebebasan dan saling menghargai. Namun kenyataannya tidak seperti itu, realita membuktikan bahwa Islam dan kaum Muslimin di negara-negara tersebut sebenarnya ‘dipaksa’ untuk bisa menyelaraskan diri dengan, untuk tidak mengatakan ‘tunduk’  kepada Barat sepenuhnya dan harus melepaskan diri dari keberpihakan dan hak-hak keagamaan mereka, meskipun dalam bentuk paling sederhana: seperti mengenakan hijab.
Fenomena “Americanization” (Amerikanisasi) mengindikasikan tiga hal: pertama,  bahwa teori pluralisme agama secara meyakinkan telah terbukti tidak ramah, intoleran terhadap agama-agama, bahkan dalam beberapa kasus cenderung menghilangkan suatu agama. Kedua kebalikan dari ke-netral-annya telah menjadi falsafah hidup (worldview) bahkan memiliki karakteristik sebuah agama pada umumnya.Ketiga, pluralisme yang tidak mampu menjamu kultur tetamu (host culture4) telah mendatangkan bencana dan petaka yang dahsyat bagi agama-agama lain serta membawa akibat yang luar biasa, yakni sekulerisme, ateisme, agnostisisme, skeptisme, yang kesemuanya itu berakhir pada satu muara, yaitu terminasi agama-agama.  
Pada intinya, dalam pandangan puralisme, semua agama dapat dianggap sebagai ruang atau jalan yang bisa memberi keselamatan, kebebasan, dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya merupakan respons otentik yang beragam terhadap The Real (hakikat ketuhanan) yang sama. Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sebagai berikut : - pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural - pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama - pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain. Bahkan jika kita melihat objektif kondisi masyarakat Indonesia saat ini, banyak sekali penyimpangan-penyimpangan ajaran yang tidak semestinya. Dengan dalih bahwa inti semua ajaran  agama sebenarnya sama, maka dalam hal ini umat dituntut untuk saling menghormati dan menghargai antar umat beragama. Namun pada kenyataan tidak seperti itu jadinya. 
Kasus ajaran-ajaran yang sempat mencuat akhir-akhir ini di Indonesia telah membuat heboh para ulama dan seluruh masyarakat. Tak bisa disangkal bahwa ini bisa jadi ‘titisan’ dari berkembangnya pluralisme agama di Indonesia. Dengan ‘sewenang-wenang’ mereka memutar balikkan fakta atas ayat-ayat Allah dan mencari-cari kebenaran yang sebetulnya salah. Mereka menafsirkan ayat-ayat Allah dengan tafsiran yang tidak di dukung dengan sumber-sumber yang dapat dipercaya.
Dalam kenyataannya sayang sekali tidak banyak para ulama dan cendekiawan muslim yang memiliki perhatian utama untuk coba menyelesaikan masalah tersebut, baik dengan cara memperbarui penafsiran ayat-ayat maupun dengan menyusun sebuah metodologi tafsir yang baru. Hingga sekarang, sekelompok pemikir Islam yang concern pada gagasan pluralisme agama biasanya hanya mengutip satu-dua ayat yang mendukung pluralisme agama dan sering kali melakukan pengabaian bahkan terkesan “lari” dari ayat-ayat yang menghambat jalan pendaratan pluralisme agama. Demikian juga sebaliknya. Sembari merayakan ayat-ayat yang problematis dari sudut pluralisme agama, para ulama eksklusif kerap menafikan ayat-ayat yang secara literal jelas-jelas mendukung pluralisme agama.
Di tambah lagi belakangan ini, muncul fatwa dari MUI yang melarang pluralisme. Dalam fatwa tersebut, didefinisikan bahwa pluralisme yang dilarang adalah yang "menganggap semua agama yg berbeda adalah sama". Sementara salah satu konsekuensi dari penyamaan itu adalah berubahnya aspek-aspek baku dari suatu ajaran mengikuti ajaran yang lain, yang merupakan hal yang tidak dikehendaki ajaran manapun.
4. Islam Pun Berlirih
Sebuah fakta mengatakan bahwa terminologi pluralisme, atau dalam bahasa Arabnya ‘al ta’addudiyyah’,  tidaklah dikenal secara populer di kalangan kecuali semenjak kurang dari dua dekadi terakhir abad ke-20 yang lalu. Yakni ketika Barat berupaya menjajakan ideologi modernnya yang dianggap universal, seperti demokrasi, pluralisme, HAM dan pasar bebas. Namun ketika adanya peremehan dan penghinaan segala sesuatunya yang bukan Barat khususnya Islam, maka Islam pun bangkit dan merespon perkembangan politis ini  dan menjadi concern di kalangan cendikia-cendiki Islam.
Jika kita dudukan, permasalahan pluralisme sebenarnya lebih merupakan masalah aplikatif, praktis, administrtif dan historis, daripada masalah keimanan atau teologi, dimana wahyu telah menuntaskan secara finaldan menyerahkan kepada kebebasan dan kemantapan individu dalam memilih agama, sebagaimana firman Allah Swt:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), seseungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (AL-Baqarah: 256)
Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan teori-teori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis tentang isu dan fenomena pluralisme agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine yang tidak mungkin dinafikan. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis –oleh karenanya lebih bersifat fiqiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan solusi teologis epistemologi.
Pandangan dasar Islam terhadap agama pada dasarnya berngkat dari aqidah tawhìd yang dituangkan dalam kalimat “laa ilaaha illallaah” (tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), yang merupakan esensi dasar agama Islam dan realitas fundamental aqidah Islam. Pluralitas adalah merupakan “hukum” ilahi dan “sunnah” ilahiyah yang abadi dalam semua bidang kehidupan, sehingga pluralitas telah menjadi karakteristik utama makhluk Allah.
Secara epistemologi sebenarnya sudah sangat jelas bahwa istilah pluralisme yang di pelopori oleh Jhon Hick merupakan sebuah alih-alih untuk coba menggulingkan kekuatan agama dengan meleburkannya menjadi satu, entah dalam tataran teologis maupun metodologis yang pada akhirnya membentuk suatu tatanan kehidupan beragama yang tidak lagi dilandasi oleh prinsip dasar yang dijunjung oleh sebuah keyakinan atau kepercayaan atas komitmen suatu agama. Dengan kata lain fundamen-fundamen agama, dalam hal ini Islam, berusaha digoyahkan atau bila perlu membuat fundamen yang baru sehingga terbentuk “isme” baru akan sebuah ajaran.
C.    KEMBALI PADA HANIFÌYYAH

1. Dalil Para Penganut Faham Pluralisme

Untuk mengesahkan faham pluralisme tersebut para pendukungnya merujuk Al-Qur’an dan membuat tafsiran-tafsiran “se-enaknya” yang sejalan dengan pola fikir pluralis. Antara ayat-ayat yang dirujuk termasuk di dalamnya:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (Al-Hujurat:13)
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui."(Al-Rum:22)

Ayat tentang perbedaan-perbedaan tersebut di atas dipersepsikan sebagai dasar pluralisme. Perbedaan adalah suatu kenyataan yang positif dan harus disikapi secara positif -- saling mengenal dan saling menghargai.

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Thaghut, ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t." Al-Baqarah: 256)

Ayat tersebut dipakai untuk menjustifikasikan pluralisme dengan memberinya pengertian bahawa tidak ada paksaan dalam memilih satu agama. Pengertian seperti itu membawa implikasi bahawa manusia boleh memilih agama mana saja karena pada hakikatnya semuanya sama.

"Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin5) , siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah6) , hari kemudian dan beramal saleh7) , mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al-Baqarah:62)

Ayat di atas merupakan sandaran utama kaum pluralis untuk menjustifikasikan pendirian inklusif bahwa semua agama -- asal menyerah kepada Tuhan -- adalah benar dan dapat mencapai keselamatan abadi. Ternyata mereka memahami ayat tersebut secara harfiah, terlepas dari kaitannya dengan zaman keabsahan agama-agama yang berkenaan, dan terlepas dari syarat menganut Islam (setelah pengutusan Muhammad SAW) sebagaimana yang biasa ditafsirkan oleh para ulama mukta
Untuk membuktikan keabsahan fahamnya kaum pluralis harus mampu melaksanakan suatu projek besar: mendobrak dan membongkar konsep-konsep dasar yang telah mapan dan mantap termasuk konsep Islam dan konsep ahli Kitab. Tampaknya mereka mengeksploitasi dengan leluasa sekali pendekatan deconstruction (pembongkaran) tajaan kaum pascamodenis untuk mempersoalkan pemikiran dan faham yang telah mapan.
Konsep Islam di tangan kaum pluralis telah mengalami pelonggaran makna sehingga meliputi siapa saja asalkan menganut agama “Islam” dalam arti agama yang tunduk dan menyerah kepada Tuhan. Tentang bagaimana cara tunduk dan menyerahnya tidak menjadi persoalan. Dengan demikian “Islam” menjadi begitu inklusif setelah dilonggarkan menjadi sekedar kata kerja dan kata terbitan yang bermakna tunduk dan menyerah.
Al-Islam sebenarnya bukan sekadar nama terbitan dari kata kerja aslama dengan makna tunduk dan menyerah, tetapi ia adalah nama agama yang diturunkan Allah kepada Rasul terakhirnya Muhammad SAW. Al-Islam dalam pengertian inilah yang mengandungi cara tunduk dan menyerah sebagaimana yang diperkenan dan dirdhai oleh Allah Swt. Hanya -- Al-Islam: `aqidah dan syariat Muhammadiyah -- itulah satu-satunya cara tunduk dan menyerah yang sah dan diterima Allah. Demikianlah makna al-Islam apabila ia disebut dalam al-Qur’an.

2. Kekeliruan Pluralisme Agama

  • Anggapan bahawa manusia dapat sampai kepada Tuhan yang sama lewat jalan-jalan (agama-agama) yang berlainan adalah bertentangan dengan penegasan Al-Qur’an tentang jalan Allah yang satu-satunya, jalan lurus (agama Islam) yang haris diikuti, bukan jalan-jalan lain yang menyimpang seperti yang dinyatakan dalam ayat 153 surah Al-An`am.
  • Andaikata agama-agama lain juga benar dan dapat membawa umat masing-masing mencapai keselamatan hakiki dan abadi, lalu apa perlunya Allah mengutus Muhammad SAW. sebagai rasul terakhir?
  • Andaikata semua agama sama, semuanya benar, lalu apa artinya pernyataan Tuhan bahwa “Bahwa Dia-lah yang mengutus rasul-Nya (Muhammad) dengan membawa petunjuk dan agama yang benar (Al-Islam), untuk dimenangkan dan ditinggikan atas segala agama yang lain, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya” sebagaimana yang disebut dalam surat Al-Taubah:33.
  • Andai kata semua agama benar, lalu apa artinya kewajiban mendakwah atau mengislamkan orang yang belum/tidak menganut Islam?
Kemajemukan (agama) bukan fenomena baru. Ia telah menampakan wujudnya semenjak zaman Nabi SAW. dan sejak itu pula telah diletakkan asas formula menanganinya seperti yang terumus pada ungkapan Qur’ani “lakum dinukum wa liya din” (untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku) tanpa saling menyembah tuhan masing-masing, tanpa saling mengakui kebenaran agama masing-masing.

3. Penyelesaian Metodologis

Terhadap sejumlah kontradiksi antara satu ayat yang mendukung pluralisme agama di satu pihak dan ayat yang menolaknya di pihak yang lain tentu saja harus ada penanganan dan penyelesaian metodologis. Sebab, sebagai teks yang memiliki otoritas mutlak yang tak terbantahkan, Alquran adalah kunci untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam Islam. Pembacaan terhadap kitab Alquran sendiri secara cermat menyangkut tema pluralisme agama bukan saja sangat berguna, melainkan terasa sangat mendesak di tengah semarak kekerasan di Indonesia yang sering kali berbasiskan sejumlah teks agama, termasuk Alquran.
Untuk kepentingan itu, pada hemat kajiannya, Alquran kiranya perlu dipecah ke dalam dua macam kategori.
Pertama, adalah ayat-ayat yang bersifat universal, ushul, ghayat (tujuan) dan lintas-batas yang meliputi batas historis, ideologi, etnis, suku, bahkan agama. Ayat-ayat seperti ini biasanya lebih banyak menjelaskan prinsip-prinsip dasar ajaran dalam Islam, seperti kemaslahatan, keadilan, kesetaraan (termasuk kesetaraan gender), pluralisme (termasuk pluralisme agama), dan penegakan hak asasi manusia (iqamah huquq al-insan). Dalam lanskap ini, maka ayat-ayat yang mendukung pluralisme adalah ayat-ayat ushul yang derajat relevansinya tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Kedua, adalah ayat-ayat Alquran yang tergolong sebagai ayat partikular, juz`iy, fushul, dan wasilah. Yaitu, ayat-ayat yang biasanya berbicara tentang hal-hal yang teknis-operasional dengan demikian ia terikat oleh konteks spasial. Masuk dalam kategori model ayat kedua ini, di antaranya, adalah ayat-ayat yang terkait dengan waris, ketidakadilan gender, perintah memerangi orang kafir-musyrik, diskriminasi terhadap perempuan dan non-muslim, dan lain-lain. Dengan mengacu pada ayat yang demikian, maka dapat dimaklumi sekiranya para ulama fikih klasik mempunyai pendirian teologis yang eksklusif. Mayoritas pemikir fikih Islam klasik, misalnya, berpandangan bahwa (1) tidak diperkenankan bagi orang kafir dzimmi untuk tampil lebih unggul dari orang Islam; (2) non-muslim tidak boleh menjadi kepala negara bagi umat Islam; (3) non-muslim adalah warga negara kelas dua, dan sebagainya.
Menghadapi ayat-ayat partikular yang cenderung eksklusif bahkan diskriminatif itu, maka pada hematnya tidak bisa lain kecuali harus segera ditundukkan ke dalam pengertian ayat dalam kategori pertama. Ayat partikular mesti ditaklukkan ke dalam sinaran ayat-ayat universal. Ayat yang fushul dapat direvisi oleh ayat-ayat yang ushul. Dengan demikian, ayat yang mendukung pluralisme agama dapat menganulir ayat yang tidak mendukungnya. Inilah yang dimaksud oleh kaidah ushul fikih sebagai naskh al-ayat bi al-ayat. Satu ayat dapat dianulir oleh ayat yang lain. Menurut Ibnu al-Muqaffa, sayangnya umat Islam telah lama terlena oleh ayat-ayat yang fushul (partikular) dengan pengabaian yang nyaris sempurna terhadap ayat-ayat yang ushul (universal). Ia menyatakan, I'rif al-ushul wa al-fushul; fa inna katsiran min al-nas yathlubuna al-fushul ma'a idha'at al-ushul. Ketahuilah olehmu yang terperinci dan yang prinsip. Karena sebagian besar dari manusia, mencari yang ayat-ayat terperinci, sambil menggabaikan ayat-ayat yang prinsip.
Padahal, dalam konteks masyarakat yang semakin mengarah pada kehidupan demokratis dan pluralistik, maka mengacu pada model ayat kedua tadi kiranya tidak cukup menolong. Sebaliknya, dengan berpegangan pada prinsip dasar ajaran seperti yang tertuang di dalam model ayat pertama, diharapkan dapat membantu terciptanya masyarakat yang rukun-damai. Terlebih dalam kasus Indonesia. Bahwa Indonesia bukanlah negara yang hanya didirikan oleh komunitas muslim saja, melainkan oleh seluruh warga negara, baik yang beragama Hindu, Buddha, Kristen, maupun Islam. Indonesia berdiri di atas seluruh jerih payah seluruh warga negara Indonesia. Dengan demikian, memperlakukan umat non-muslim persis seperti yang ada di dalam ayat-ayat partikular yang kemudian ditegaskan di dalam fikih Islam, bukan hanya tidak bijak bestari melainkan juga bertentangan dengan logika ayat-ayat universal yang mendukung pluralisme agama.
Kembali pada hanifiyyah atau berpaling dari kesesatan dan menuju ke jalan kebenaran, sesungguhnya islam adalah agama fitrah,

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perbuatan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Ar-Rum: 30)

Ini semua kembali menegaskan, bahwa agama yang diturunkan oleh Allah Swt. melalui semua rasul dan nabinya adalah satu, Islam, seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah adalah Islam(Ali Imran:19); “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama ini) dan di akhirat termasuk orang-orang yang rugi(Ali Imran:85)
“Agama yang paling dicintai Allah adalah hanìfiyyah (agama yang lurus) yang lapang”8)

PENUTUP

Berbagai telaah telah banyak dipaparkan oleh para cendikiawan Islam yang ingin mengembalikan ajaran Islam kepada sesuatu yang kaffah.

“Hai orang-orang  yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (Al –Baqarah: 208)

Kita mempercayai bahwa syariat Rasulullah SAW. adalah ‘Dinul Islam’, yang di ridhai oleh Allah Swt sebagai agama bagi hamba-hamba-Nya. Dan tidaklak Allah menerima agama selain Islam., sebagaimana firman Allah pada surat Al-Imran ayat 19 yang artinya : “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.
Tampak seperti sudah terjadi proses pengebirian dan “reduksi” akan pengertian agama secara dahsyat. Sesungguhnya, pemahaman agama yang reduksionistik inilah yang merupakan “pangkal permasalahan” sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan “agama” itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehensif, tak reduksionistik,
Yang unik dalam fenomena baru ini adalah bahwa pemikiran “persamaan” agama (religious equality) ini, tidak saja dalam memandang eksistensi riil agama-agama (equality on existence), namun juga dalam memandang aspek esensi dan ajarannya (syariat), sehingga dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu kehidupan bersama antar agama yang harmonis, penuh toleransi, saling menghargai (mutual respect) atau apa yang diimpikan oleh para “pluralis” sebagai "Pluralisme Agama".
Alih-alih menciptakan kerukunan dan toleransi, paham Pluralisme Agama itu sendiri sebenarnya sangat tidak toleran, otoriter, dan kejam, karena menafikan kebenaran semua agama, meskipun dengan jargon menerima kebenaran semua agama.
Pluralisme agama adalah sebuah kenyataan sejarah yang ditarik berdasarkan situasi nyata manusia di muka bumi ini. Agama sudah betul-betul menyadari bahwa ada beragam agama di muka bumi ini. Meskipun ada pergeseran atau perpindahan agama, tetapi skalanya sangat kecil terutama pada agama-agama besar. Terhadap kenyataan ini, agama harus mengambil sikap, dalam mengambil sikap itu muncul fakta yang menarik bahwa sebetulnya kebanyakan agama sudah mengakui pluralisme, barangkali tidak dalam praktik, tapi masih dalam ajaran normatif.
Para pendiri agama kelihatan tidak memaksa pengikutnya. Kalaupun ada panggilan dalam agama untuk melakukan misi atau dakwah, tidak dimaksudkan dengan cara agresif, tapi dengan cara memberikan kesaksian dengan tidak bermaksud mengajak orang lain secara paksa. Secara teologis mungkin relevan apa yang dikatakan Al-quran bahwa segala sesuatu di dunia ini dikehendaki Allah. Bagi Allah tentu gampang mempersatukan kita dalam satu agama, tapi Dia tidak melakukannya.
Pertama dan yang paling penting bahwa umat beragama harus betul-betul bersedia hidup bersama dengan damai. Supaya mereka dapat mengembangkan toleransi positif. Umat agama lain tidak hanya dibiarkan tapi dihargai untuk dapat hidup sesuai dengan ajaran agamanya. Secara tradisional sebenarnya itu sudah ada, tapi sering tertutupi oleh gejolak transformasi sosial dan pengaruh kepentingan politik. Kedua, kita membedakan antara pluralisme dengan kebenaran agama. Maksudnya menerima secara positif dan hormat kepada agama lain bukan berarti harus mengatakan bahwa semua agama sama. Sikap pluralis adalah kita mampu hidup dengan umat beragama yang berbeda dengan kita. Pluralisme juga memerlukan sikap menerima umat yang berbeda. Memang ada persamaan tapi juga ada perbedaan. Ketiga. Jelas, solusi yang diberikan Islam terhadap problem pluralitas agama bertumpu pada penegasan jatidiri atau identitas keagamaan dan pemberdayaan hubungan dengan agama, serta pengakuan terhadap peran agama yang serba meliputi kehidupan beragama.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada ALLAH .”(Al-Imran: 110).

1 Definisi yang ditulis menurut Dr. Anis Malik Thoha dalam bukunya yang berjudul Tren Plualisme Agama; cetakan pertama, Jakarta 2005; Penerbit Persfektif – Kelompok Gema Insani Press

2 Dr.Siddiq Fadhil mengatakan bahwasannya Aqidah pluralis-inklusif yang secara konsekuensial menghasilkan pula fiqh pluralis (lihat buku Fiqih Lintas Agama) yang dibedakan daripada `aqidah eksklusif dengan fiqh eksklusifnya pula.

3 Seyyed Hossen Nashr telah menjelaskan tesis perennial philosophy atau philoshopi  perennisnya ini secara detail dan panjang lebar dalam berbagai karyanya. Lihat: Nashr, Seyyed Hossein, Knowledge and the Sacred [1988]

4 Marty, Martin E., Religion & Republic: The American Circumstance (Boston: Beacon Press, 1987) hlm. 35

5 Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at Nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.

6 Orang-orang mu'min begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah.

7 Ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak. "

8 H.R. Al Bukhari, Al-Iman: 29; Ahmad 1:246

DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syamsuddin, Apa salahnya Pluralisme Agama?, artikel pada situs Hidayatullah.com (Edisi 03/XVIII/Juli 2005)  
______Et. Al, Pluralisme, laporan harian dari Wikipedia.com  (1 Oktober 2005)
Fadzil, Siddiq, Pluralisme Agama : Perspektif Qur'ani,  artikel pada ABIM Online.com (Kuala Lumpur: 24 April 2005)
Ghazali, Maqsith Abd, Problematika Quranik Pluralisme Agama, artikel dari Media Indonesia (06 Agustus 2004)
Husaini, Adian, Bedah Pluralisme di Bandung, artikel pada situs Hidayatullah.com (Senin, 17 Oktober 2005) 
Husaini, Adian, Selamat Datang Buku Dr. Anis Malik Thoha, artikel pada situs Hidayatullah.com (Senin, 12 September 2005) 
______, Et. Al, Pluralisme, laporan harian dari Wikipedia.com  (1 Oktober 2005)
______, Polemik Pluralisme di Indonesia, dari situs Wikipedia Indonesia-Ensiklopedia (09 September 2005)
Rachman, Munawar Budhy, Teologi Pluralisme di Persimpangan Jalan, artikel dari p3m.com (14 September 2005)
Suseno, Magnis Franz, Sebagian Besar Agama Menerima Pluralisme, artikel pada situs islamlib.com/wawancara (08 September 2002)
Sjadzali, Munawir, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dan PARAMADINA: 1995)      
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Persfektif, Kelompok GEMA INSANI, 2005)
Thoha, Anis Malik, Pluralisme, Klaim Kebenaran Yang Berbahaya, artikel dalam rubrik Tsaqafah majalah Hidayatullah (Jakarta: September 2004) 
Titaley ,John A, Pluralisme dan Kerukuna Hidup Beragama, artikel pada surat kabar Suara Merdeka (Jakarta: 08 Desember 2005)
 
Gambar: http://fahmi-salim.blogspot.com/2011/10/tafsir-ayat-ayat-pluralisme-agama-dalam.html 

No comments:

Post a Comment