Tuesday, July 8, 2014

Kampung Janda


Cerpen Fim Anugrah
"Menunggu Kakek Yang Tiada " oleh FA

Pada hakikatnya, jika tidak dipuji, maka seseorang akan memuji dirinya sendiri. Tapi pujian ini tidak cukup pantas diterima oleh kampung itu, termasuk orang-orangnya. Mereka ingat bagaimana sebuah desa mendapatkan pujian lewat sebuah gelar “Desa Layak Anak” yang tertera dengan huruf besar di gapura perbatasan. Alih-alih berpikiran bahwa penduduk desa itu memang kurang anak, orang-orang  justru beranggapan bahwa orang tua-orang tuanya adalah manusia-manusia impoten.
Memang sudah lebih dari dua puluh tahun ini pemerintah di kota S itu menyelenggarakan program pemerian gelar atau “pujian” bagi kecamatan dan desa yang ada di kota tersebut. Ada kecamatan yang punya gelar “Kecamatan Pesawahan”, “Kecamatan Pegunungan”, dan banyak lagi. Tapi itu belum seberapa jika dibandingkan dengan gelar yang dimiliki desa-desanya. 

Ada  desa punya gelar “Desa Wajib Senyum”, “Desa Pelarian” dan “Desa Kesiangan”. Yang terakhir disebutkan itu dikarenakan penduduknya baru bangun jam delapan pagi ketika mereka memulai aktivitasnya. Barangkali letaknya yang dikelilingi pegunungan  membuat desa itu terlambat mendapat sinar matahari. Maka dari itu pemerintah kota memberi gelar “Desa Kesiangan”. Selebihnya, desa-desa lain dengan gelar yang lain pula yang tentunya merepresentasikan keadaan sebenarnya dari desa itu sendiri.
Mendengar pemerintah kota akan memberikan gelar lagi yang untuk entah ke berapa kalinya, Karlan merasa perlu berbicara dengan ketua RT-nya, Warta.
“Seperti yang Bapak dengar sendiri, bahwa tahun ini pemkot akan memberi gelar lagi untuk beberapa desa dan kampung. Dan yang saya dengar, salah satu kampung itu adalah kampung kita, Pak,” ucap Karlan serius. Matanya tajam menatap RT-nya yang bersandar seraya mengembuskan asap rokok ke udara.
“Ya, ya.. saya pikir itu bagus,” jawabnya mengangguk-angguk kepala.
“Bagus bagaimana, Pak?” tubuh Karlan menegak; keningnya berkerut lebih dalam dari biasanya.
“Ya, bagus. Itu kan artinya kampung kita ini akan tambak dikenal, apa lagi kalau sudah punya gelar. Kamu coba saja lihat, kampung-kampung di desa yang lain. Dengan bergelar “Kampung Adat,” “Kampung Tani”, bahkan “Kampung Ikan”, membuat kampung-kampung itu semakin terkenal. Orang-orang jadi penasran dan bahkan menjadikan kampung itu sebagai tujuan wisata mereka.”
“Kalau untuk masalah itu saya tidak khawatir, Pak. Kampung-kampung itu memang pantas punya gelar itu karena masyarakatnya juga seperti gelarnya itu,” Karlan gelagapan berkata-kata, “disebut “Kampung Adat” karena mereka masih memegang adat istiadat yang masih dijaga dan dilestarikan; disebut “Kampung Tani” juga masyarakatnya memang hampir semuanya bekerja sebagai petani, dan begitu juga kampung-kampung lainya. Tapi kampung kita ini? Punya gelar apa coba, Pak?”
Karlan terdiam sejenak. Sementara, Warta meraih cangkir kopi di atas meja seraya pikirannya berusaha menangkap maksud perkataan lawan bicaranya.
“Disebut “Kampung Tani” tidak mungkin karena sekalipun ada, petani di kampung ini hanya segelintir saja. Pak RT tahu sendiri, hampir semua tanah yang ada kampung ini semuanya sudah dimiliki oleh orang-orang luar, mulai dari orang Bandung sampai orang Jakarta,” Karlan meraih kopi seolah ingin melancarkan tenggorokannya.
“Disebut “Kampung Ikan” juga tidak, karena penduduk di sini tidak punya kolam ikan, dan juga tidak beternak ikan. Apa lagi “Kampung Adat”, punya adat apa kita, Pak?” Karlan menelan ludah; kata-kata selanjutnya seakan menjadi beban yang berat untuk diucapkannya, “apa mesti kampung kita ini diberi gelar “Kampung Janda” hanya karena hampir kebanyakan penduduknya adalah istri-istri yang ditinggal oleh para suaminya?”
Tubuh Warta seketika berbalik. Matanya dengan tajam menatap Karlan yang justru malah tampak rileks bersandar di sofa setelah melemparkan pertanyaan itu.
“Kampung Janda?” jari-jemari Warta bermain-main dengan janggutnya, setelah sebelumnya mematikan putung rokoknya. Karlan mendongakkan kepalanya, mulutnya terjulur ke depan mengembuskan asap rokok yang dihirupnya dalam-dalam.
“Bagaimana bisa kampung kita punya gelar “Kampung Janda”, Lan?”
“Tidak bisa bagaimana, Pak RT? Pemkot bisa-bisa saja memberi gelar itu sejauh mereka tahu kalau kenyataan di lapangan memang sama dengan gelar yang mereka akan berikan itu,” telunjuk Karlan yang mengempit rokok teraung-acung ke arah Pak RT.
Seperti telah menjadi watak Warta, ketua RT itu tak lantas setuju apa lagi menyimpulkan permasalahan yang diangkat oleh warganya itu. Hanya saja, setelah pada akhirnya Karlan pamit dari rumahnya, Warta memikirkan matang-matang kata-katanya itu.
Cukup beralasan juga sebenarnya apa yang diungkapkan Karlan. Sejauh dirinya memimpin kampungnya, memang hampir sebagian penduduknya berstatus janda. Dari 168 kepala keluarga yang ada, sepertiga darinya adalah ibu-ibu tanpa kepala: suami. Sebagian ada yang ditinggalkan karena faktor usia alias meninggal dunia, sebagian lagi ada keluar kampung bekerja di luar kota dan tak kembali lagi. Sebagian lagi, kebanyakan pasutri yang baru memiliki satu anak, cerai secara tidak resmi.
Untuk dua bulan terakhir ini saja, setidaknya ada lima keluarga yang kehilangan suaminya. Keluarga Dudi, contohnya, ia meninggal dunia karena TBC di usia yang masih muda, 38 tahun; dan meninggalkan istri dan anaknya yang baru berusia 10 tahun. Belum lagi Imam; kepala keluarga yang satu ini berpisah dengan istrinya gara-gara istrinya merasa kurang perhatian darinya. Lalu ada Asep yang meninggal karena kecelakaan motor; kepalanya pecah dengan kedua bola mata yang tak pernah bisa ditemukan. Dia meninggalkan seorang istri dengan dua orang anaknya yang baru berusia dua dan lima tahun. Selebihnya, Ki Jundi dan Ki Ajun. Keduanya meninggal dunia karena memang usianya sudah sangat lanjut.
Dengan kenyataan ini, maka bertambah pula janda-janda yang ada desanya. Kebanyakan penduduk kampungnya sekarang tak lebih dari ibu-ibu dan anak-anak berusia SD, SMP dan sedikit SMA/SMK. Sisanya adalah pemuda-pemuda nanggung bau kencur yang bingung dengan masa depannya sendiri. Mereka lebih suka nongkrong di pinggir jalan ketimbang mencari kerja. “Jika sudah seperti ini, lalu aku bisa apa?” kata Warta dalam batinnya.
Di lain pihak, Karlan yang merasa bahwa predikat gelar itu tak ingin diterima oleh kampungnya, justru mulai sering bertanya. Ia bertanya kepada Ni Juarsih, seorang janda tua berusia 97 tahun, tentang sejarah kampungnya. Dengan kata-kata terbata-bata Ni Juarsih bercerita pada Karlan.
“Dulu, kampung ini, adanya di bawah sana,” Nu Juarsih mengacungkan tangannya ke arah entah; Karlan memahaminya. Maksud Ni Juarsih adalah pesawahan di sebelah bawah pemakaman yang tanahnya sudah menjadi milik orang Jakarta.
“Tapi, orang-orang berbaju putih itu—maksudnya adalah demang—menyuruh nenek, dan yang lain, pindah kemari. Mereka bilang, kalau tidak pindah,” Ni Juarsih menelan ludah, “kampung bakal kena longsor. Warga kampung bisa terkubur hidup-hidup,” begitu cerita Ni Juarsih, salah seorang nenek yang sudah sangat tua di antara nenek-nenek lainnya.
Di kesempatan lain, Karlan pun bertanya pada Ki Tardi. Berbeda dengan cerita Ni Juarsih, Ki Tardi justru menceritakan tentang bagaimana kampung yang awalnya berada di area pesawaan ini, sebenarnya didirikan oleh lima orang bromocorah. Mereka adalah para begal yang dikejar-kejar tentara Belanda di masa penjajahan. Hampir setiap hari para begal itu menghadang iring-iringan dari Kota Krawan ke kota Pajajaran ataupun sebaliknya.
Mereka mengambil barang-barang dan bahan-bahan makanan yang dibawa oleh iring-iringan itu, termasuk koloni Belanda yang pada saat itu memang sedang memperlebar rute jalan. Tanpa ampun, para begal menghadang kawanan Belanda yang menjelajah melewati kampung itu dengan cara kekerasan. Tak sedikit darah tumpah oleh tangan para pembegal itu.
“Menjelajah” begitulah Ki Tadri menyebut koloni Belanda itu, dan bukan menjajah. “Kalau tidak ada mereka, mana mungkin sekarang kita punya jalan aspal, kereta api bahkan motor dan mobil. Merekalah yang telah memberikan itu semua!” begitu ucap Ki Tardi kepada Karlan.
Lama-kelamaan kampung ini pun hidup dengan penduduk yang makin bertambah. Empat orang begal menjadi orang-orang biasa yang hidup dan bersatu dengan orang yang lainnya.
“Hanya saja,” Ki Tardi terdiam sejenak; matanya menerawang, “setelah pertempuran terakhir antara kaum pribumi dan Belanda di kampung Ciseupan sana, seorang demang berkata bahwa penduduk kampung harus pindah ke tempat yang lebih tinggi, yang dekat dengan jalan besar ini,” Ki Tardi menunjuk ke arah jalan raya di seberang sana yang tak terlihat karena terhalang beberapa rumah.
“Waktu itu, kebetulan tiga dari orang pendiri kampung ini sudah meninggal. Selebihnya, Ki…” Ki Tardi menunduk seakan berusaha untuk mengingat nama yang akan disebutkannya, “…Ki… Satya dan Ki…. Ki… ck,” Ki Tardi kecewa tak bisa menyebutkan nama yang satunya lagi. Dia pun mengirup rokok tembakaunya dengan sangat dalam. “Oh, ya, Ki Parta… ya, hanya dua orang itu saja yang masih hidup,” Ki Tardi terbata-bata, lupa dengan apa yang sebenarnya akan diucapkannya.
“Keduanya bertengkar. Ki Satya merasa bahwa dia dan penduduk memang harus pindah dari tempat itu menuju ke tempat yang lebih tinggi. Tapi, tidak dengan Ki Parta. Dia menentang keras saran demang itu. Dia pikir bahwa penduduk harus tetap di tempat itu. Jika tidak…” Ki Tardi menghentikan ucapannya.
“Jika tidak, kenapa Ki?”
“Jika tidak… warga kampung tidak akan bahagia,” begitulah Ki Tardi mengakhiri.
Kenyataannya, warga kampung memilih untuk pindah ke tempat kampung ini berada sekarang. Mereka takut jika mereka harus mati konyol gara-gara longsor akibat tanah lembah yang curam. Begitu juga Ki Satya, tapi tidak Ki Parta. Dia memilih untuk menyingkir lebih dalam ke tengah hutan dan hidup di sana. Pada saat itu, kedua pendiri itu memang hidup sendiri tanpa istri.
Namun sedikit yang Karlan tahu bahwa keduanya merupakan orang-orang sakti yang punya ilmu kanurgan. Dan sedikit pula yang Karlan tahu bahwa pada suatu waktu, Ki Parta telah membuat kutuk pastu karena pendapatnya tidak didengar oleh warga, termasuk Ki Satya.
Beberapa hari kemudian, di sore yang temaram, suara terdengar dari kejauhan sebelum sampai ke telinga Warta.
 “Pak RT, Pak Danang… meninggal dunia, Pak!” ucap Toni terengah-engah. Pak RT yang sedari tadi sedang duduk santai dengan Karlan mendadak pucat wajahnya.
Innalillaahi wa innaailaihi roojiuun,” ucap RT.
“Bertambah lagi janda di jampung ini,” batin Karlan berkata.
“Jadi bagaimana Pak RT?” Karlan bertanya.
“Bagaimana bagaimana?” Warta bertanya balik. 
“Apa harus kampung ini punya gelar “Kampung Janda?”
“Ya, mau bagaimana lagi?” Warta mengangkat bahunya sedang pikirannya membayangkan setumpuk uang yang bakal diterima dari orang-orang pemkot untuk gelar yang bakal disematkannya pada kampungnya itu.[]

Subang, 22 Juni 2014

No comments:

Post a Comment