Tuesday, July 8, 2014

Hadiah Lebaran

"Perempuan Cikopi" Oleh FA
Cerpen Fim Anugrah

“Mau hadiah apa, Pin, nanti buat lebaran?” begitu tanya Amah suatu waktu pada Pipin, anaknya. Pertanyaan itu belum sempat dijawabnya. Karena bahkan sebelum dijawab pun, hal itu justru malah membuat Pipin bingung sampai-sampai seringkali ia bertanya pada dirinya sendiri: “Mau apa, ya, buat lebaran nanti?”

Sebenarnya cukup aneh juga jika pertanyaan seperti itu bisa keluar dari mulut Amah. Dalam tengah kondisi keluarganya yang pas-pasan, terlebih untuk membeli hadiah atau keperluan sampingan lainnya, membeli keperluan sehari-hari pun ada kalanya minta ampun susahnya. Kondisi itu, betapa Pipin telah menyadari dan memakluminya.

Namun yang lebih mengherankan tentunya adalah Pipin. Di usianya yang kesepuluh, tak pernah ia mendapatkan atau meminta hadiah atau semacamnya. Setidaknya itu yang Yadi, bapak Pipin, ajarkan padanya. “Kalau mengerjakan sesuatu, kerjakanlah dengan ikhlas, tanpa mengharap imbalan. Gusti Allah itu Maha Adil. Kamu pasti mendapatkan apa yang kamu butuhkan tanpa harus kamu memintanya,” ucap Yadi suatu hari.

Maka, Pipin pun mengerjakan apa yang anak-anak sebayanya kerjakan, yaitu berpuasa. Tentunya, keluarga Yadi adalah keluarga yang soleh. Mereka melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bahkan Yadi dan Amah pun tak sampai hati menyuruh Pipin untuk berpuasa jika Pipin memang belum siap. “Jika belum kuat, boleh tidak puasa. Kalau kamu mau, setengah hari pun tidak apa-apa. Tapi Gusti Allah sangat suka pada anak-anak yang full puasanya. Ingat, yang penting niat yang lurus dan kerjakan dengan ikhlas,” pesan Amah di awal bulan.

Dan ternyata, Pipin pun berpuasa. Bukan hanya full puasanya, tapi juga ia rajin ikut dengan bapaknya solat tarawih berjamaah di mesjid yang letaknya tak jauh dari rumah.   
   
Selain sebagai ibu rumah tangga, sehari-hari Amah bekerja sebagai pedagang keliling. Ia menawarkan gorengan dan tajil untuk berbuka. Dikunjunginya rumah-rumah di lingkungannya, terkadang dimasukinya juga kompleks di perbatasan desa tempat Amah tinggal. Beruntungnya Amah; cukup banyak juga keluarga di kompleks itu yang memesan tajil partai besar padanya. Ada kalanya batin Amah berkata: “bulan puasa memang bulan pembawa berkah.”

Sedang Yadi, ia berkerja sebagai penjaga toko material milik Baba Ahong. Setiap hari Yadi datang dan bekerja di sana. Sempat Yadi bertanya pada Baba: “Mengapa tidak ada hari libur, Ba?” Baba hanya menjawab dengan logat Cinanya yang kental:” Jika libul, bagaimana Oe bisa sukses kalau begitu, Yadi?” Mendengar jawaban itu Yadi hanya terangguk-angguk. Pikirnya, tidak aneh kalau banyak orang Cina yang sukses, yang kaya. Dan, benar juga ternyata peribahasa ‘belajarlah sampai ke negeri Cina’ itu. Karena menurut sepengetahuan dia, yang juga ia dapat dari Baba Ahong, Cina itu negara maju. Boro-boro pensil, peniti yang biasa digunakan untuk menyemat sarung milik istrinya saja dibuat oleh Cina. Made in Cina; merek itu, ada saja di mana-mana, Yadi tersenyum.  

Namun di tengah keharmonisan keluarga itu, ada saja cobaan yang diterimanya. Dua tahun berlalu dan masih harus mereka rasakan. Bahkan Amah acapkali merasa sangat sedih di setiap kali ia melihat cobaan itu, sampai-sampai menitikan air mata. Yadi yang tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menabahkannya seraya berkata: “Yang sabar. Pasti ada jalan keluarnya.”

Ya, dua tahun lalu entah kapan tepatnya, sebuah peristiwa menimpa Pipin. Setiap kali Amah bertanya pada Pipin tentang bagaimana hal itu terjadi, Pipin selalu menjawab bahwa itu terjadi ketika ia bermain bola, atau ketika ia mengaji. Entahlah. Pipin memang selalu ragu setiap kali harus menjawab pertanyaan Amah. Sempat suatu waktu dia berkata bahwa peristiwa itu terjadi ketika mengaji. Pipin yakin itu. Pipin berkata bahwa dulu ada seorang senior yang memukul pahanya dengan sebuah bambu yang dibuat sedemikian rupa. Bambu itu digunakan untuk memukul anak-anak yang suka bercanda atau main-main di saat sedang mengaji.

Pipin masih ingat bagaimana perstiwa itu terjadi. Saat itu Pipin dan Ade, temannya,  tengah menunggu giliran tes hafalan surat-surat pendek. Satu persatu anak-anak dipanggil oleh Ustad Aceng untuk dites hafalannya. Pipin yang saat itu tengah menghafal digodanya oleh Ade, anak yang bisa dibilang selalu saja bercanda dan mencandai teman-temannya, tak terkecuali Pipin. Sempat Pipin memarahinya agar tidak mengganggunya. Tapi, setiap kali ia berkata demikian, perbuatan Ade malah makin menjadi. Walhasil, Pipin mengejar Ade untuk mencubitnya, begitupun sebaliknya.

Tiba-tiba, ‘buk’, suara bambu bersarang di paha kiri Pipin. Dan seketika itu juga Pipin mengerang kesakitan mendapatkan pukulan bambu dari seseorang yang ia tahu ternyata kakaknya Ade. Apip namanya. Orangnya tinggi besar, mengenakan kopiah rajutan di kepalanya sambil berkata: “Main saja! Bukannya menghafal!” dengan marah yang tertahan sedang gigi-giginya terkatup dengan kuat. Tak henti-hentinya Pipin menangis sambil terus berkata bahwa Ade-lah yang bersalah. Tangisannya itu tak juga reda sampai pengajian selesai. Malah saking sakitnya, beberapa senior harus menuntun Pipin sampai ke rumah.

Walau Pipin sudah teramat yakin dan menceritakan hal itu, tetap saja Amah tidak percaya. Ia malah berkilah, “bagaimana bisa cuma karena pukulan, kakimu jadi begini?” Tapi, apa mau dikata? Yang sudah, ya sudahlah. Pipin sekarang harus mendapatkan akibat dari persitiwa itu. Ia yang dulu bisa berlari, sekarang tak lagi. Ia harus mendapatkan kenyataan bahwa kakinya panjang sebelah –kaki kanan yang lebih panjang dari kaki kirinya. Pipin sekarang adalah Pipin yang pincang, yang harus selalu terseok-seok ketika harus berjalan.

Sempat suatu hari Amah mengajak Pipin ke Puskesmas dekat kantor kecamatan. Dengan nada yang miris, ia bertanya kepada dokter apakah kaki Pipin bisa disembuhkan. Dokter pun memberi saran agar Pipin dibawa saja ke rumah sakit, dan karenanya ia akan membuat surat rujukan.

Tak lama setelah itu, Amah pun membawa Pipin ke rumah rakit. Satu-satunya rumah sakit milik pemerintah di kota tempat mereka tinggal. Kaget tak dinyana, dokter yang mendiagnosa Pipin berkata bahwa Pipin harus dioperasi. Hal itu membuat dada Amah sesak, karena Amah pun dulu sempat merasakan bagaimana rasanya dioperasi. Tidak sakit memang, hanya bekas jahitan yang sampai hayat pun takkah pernah bisa hilang. Dan Amah tak ingin Pipin mendapatkan hal serupa sebagaimana dirinya. Keputusan itu belum seberapa ketimbang apa yang Amah dapatkan sesudahnya. Hal ini terkait dengan biaya yang harus dikeluarkan Amah untuk operasi itu. Ketika Amah bertanya berapa biaya yang harus disediakan untuk operasi, dokter menjawab: “sepuluh juta rupiah.” Sontak tubuh Amah makin lemah saja, sementara Pipin kaget mendengar uang yang begitu banyaknya.

Amah pun pulang dengan tangan terkulai. Dadanya sesak. Raut wajahnya muram, bahkan lebih muram dari biasanya. Pipin yang berjalan terpincang-pincang hanya bisa menyaksikan kegetiran Amah dari matanya yang penuh dengan air mata. Seraya berjalan di lorong rumah sakit, Pipin memegang tangan Amah dan berkata: “Tidak apa-apa, Bu, tidak dioperasi juga. Pipin masih bisa berjalan kok, malah sekarang lari juga bisa,” begitu Pipin berkata untuk membesarkan hati Amah. Dan Amah hanya bisa  tersenyum. Senyum yang tertahan di ujung pipinya.

Dua tahun berlalu dan kondisi Pipin masih seperti itu, malah seakan telah menjadi sangat biasa. Walau begitu, Amah tidak akan lupa. Selalu saja, setiap kali Amah melihat Pipin berjalan begitu rupa, kesedihannya muncul. Pun rasa bersalah bergejolak di dadanya, karena tak bisa menyembuhkan luka Pipin. Tentunya hal ini disebabkan rasa sayang Amah yang begitu besar pada Pipin, anak yang baik, soleh dan dari hari ke hari tumbuh besar. Maka, laiknya orang tua yang sayang pada anaknya, bagaimanapun, tak bisa hal itu benar-benar dilupakan. Takkan pernah.

Terkadang Pipin juga diintai rasa bersalah jika Amah berbuat seperti itu –memandang dalam-dalam Pipin yang sedang bermain. Hingga ketika Amah tak lagi kuasa membendung kesedihannya, ia pergi ke kamar dan menangis di sana. Pada saat itu, Yadilah yang turun tangan.

Di lain pihak, Pipin masih menyimpan pertanyaan Amah dalam benaknya. Semakin ia pikirkan pertanyaan itu, semakin tak bisa ia mendapatkan jawabannya. “Mau apa buat lebaran nanti?” batinnya. Pertanyaan itu dibawanya ke mana-mana: ke sekolah, ke kamar mandi, ke tempat tidur, ke dalam permainannya. Karena pertanyaan itu pula Pipin jadi sering terlihat melamun, duduk di teras rumah, atau di halaman pada malam hari sambil memandang bulan purnama. Sementara itu, lebaran makin dekat saja.

Suatu hari, beberapa hari sebelum lebaran dirayakan, Pipin pun mendapatkan jawabannya. Ia bertekad mengungkapkan ini ketika nanti sore berbuka. Awalnya ia ragu-ragu apakah harus diberitahukannya atau tidak. Tapi, melihat teman-temannya yang sudah mendapatkan baju baru, tas sekolah baru, dan banyak lagi yang lainnya, tak ada salahnya jika ia mencoba.

Beberapa menit sebelum berbuka, Pipin sudah duduk di meja makan sekaligus meja tamu yang berada di ruang tengah rumah. Yadi yang sebelumnya mencari-cari frekuensi radio dan menemukan progam ceramah menjelang magrib pun, akhirnya turut serta. “Sebentar lagi buka,” katanya pada Pipin, “Bu, ayo sini duduk. Kita buka bersama.” Tak lama kemudian suara azan pun terdengar, baik dari radio maupun dari speaker di mesjid sana. “Alhamdulillah,” ucap mereka bersamaan.

Ketika hendak memakan tajil, Amah terheran-heran melihat Pipin yang masih diam tak bergerak di kursinya. Ia pun berkata, “Kenapa, Pin? Ayo dimakan tajilnya. Sudah azan.” Pipin hanya menggumam saja seraya menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Kenapa ini anak Bapak? Ayo dimakan!?” tambah Yadi.

Pipin pun akhirnya memberanikan diri setelah sebelumnya mengangkat kepala dan membusungkan dadanya.

“Bu, boleh tidak Pipin minta sesuatu buat lebaran nanti? “
“Oh, tentu saja. Ibu juga kan sudah janji mau memberi Pipin hadiah buat lebaran nanti,” seraya mengambi nasi untuk Yadi dan Pipin, “memangnya, mau apa hadianya?”
“Pipin mau... mmm….?”
“Mau apa?” sela ibunya.
“Pipin mau… kaki baru.”

Seketika itu Amah pun diam tak bergeming. Air matanya jatuh di atas piring.[]

No comments:

Post a Comment