Wednesday, January 27, 2021

Segudang Permasalahan Menerbitkan Buku (1)

hugeorange.com
Semacam Pengantar 

Sudah lama saya ingin menuliskan soal terbit-menerbitkan buku ini sebenarnya. Hanya saja saya kadang bingung sendiri, mesti dari mana saya harus memulai. Bahkan untuk membuat judul terkait permasalahan ini pun saya gagal, percis judul tulisan di atas itu. Masalahnya memang tidak cukup mudah, terlebih di sini saya memang tidak hendak berbicara soal "Cara Menerbitkan Buku" itu. Ada ratusan situs atau blog lain yang membahas soal itu. Mbah Google lewat search engine-nya sudah pasti akan memuaskan Anda yang memang ingin mencari tahu bagaimana cara menerbitkan buku. Sebagian berupa tips dan trik, sebagiannya lagi promosi. Hampir semuanya berupa propaganda tentang betapa mudahnya menerbitkan buku, termasuk janji-janji manis bagaimana rasanya buku sendiri terbit. Benarkah demikian? Untuk tahu, lebih baik coba sendiri, dapatkan pengalaman dari usaha Anda itu dan rasakan sendiri.

Maka dari itu saya memutusakan untuk berbicara soal terbit-menerbitkan buku dari perspektif yang lain, dengan berdasarkan pada pengamatan dan pengalaman saya menjadi seorang editor dan pelaku industri perbukuan. Semoga saya bisa objektif dalam berbicara. Dan satu hal lagi, tulisan ini ditengarai oleh sebuah peristiwa yang kemudian mematangkan pandangan saya tentang apa yang bakal saya bahas ini. Peristiwa di mana beberapa hari yang lalu, saya mengikuti sebuah acara bedah buku milik seorang penulis prematur dengan buku yang tak kurang prematurnya. Penulis yang cukup serampangan untuk menerbitkan bukunya di saat di mana dia belum bisa dibilang pantas untuk menerbitkan buku. Hak dia, betul. Tapi ketika buku menjadi milik publik, adalah hak pembaca juga mendapatkan "suplemen" yang baik dari sebuah buku. Nantilah saya ceritakan. Saya ingin membuat tulisan ini dengan mengalir saja.
Dunia berubah, tapi kita tidak pernah cukup tahu ke arah mana perubahan itu terjadi. Apakah positif atau negatif. Hanya waktu yang bakal membuktikan. Tidak seperti dulu, zaman now--begitu kata manusia sekarang--menerbitkan buku bisa sangat mudah untuk dilakukan. Mengapa? Ini faktanya: Setiap orang bisa menerbitkan buku segampang dia membuat mie instan! Gampang dalam artian bahwa semua ada prosesnya.  Seinstan apa pun mie-nya, tetap saja kan dia butuh proses? Entah itu diolah sendiri atau diolah oleh penjual mie instan yang ada di warung-warung kopi.

Saya kurang tahu apakah orang sudah banyak tahu soal ini. Tidak saya temukan data statistiknya! Yang saya tahu, jika Anda punya naskah buku, baik buku bergenre umum atau fiksi, dan Anda punya uang, maka Anda bisa menerbitkan buku Anda sendiri. Anda bisa lari ke percetakan bersama naskah Anda itu dan menyerahkan sejumlah uang semata agar nasakah Anda itu bisa dicetak menjadi buku. Jika sudah, maka selamat, Anda pun jadi seorang penulis buku!

Beberapa tahun ke belakang, yang saya tahu, seseorang bisa menerbitkan naskah bukunya sendiri jika mengantongi uang sebanyak empat juta rupiah. Mengapa harus empat juta? Karena percetakan (penerbitan) hanya akan mencetak naskah Anda dalam partai besar. Sebut saja 2000-4000 eksemplar. Sebanyak itu? Benar, karena mesin percetakan terlalu sayang digunakan hanya untuk mencetak puluhan atau ratusan eksemplar. Namun demikian, akhir-akhir ini, ada juga penerbitan (& percetakan) yang bersedia mencetak naskah buku Anda, sekalipun hanya satu eksemplar saja (PoD). Jika untuk koleksi pribadi sih tidak masalah. Tapi kembali lagi ke masalah esensial,  untuk apa sebuah buku dicetak? Karena dia punya potensi untuk dibaca banyak orang. Sekiranya punya naskah buku tapi Anda hanya mencetak satu eksemplar saja, lebih baik ngeprint di rumah saja deh. Kembali saya akan bertanya: Apa tidak sayang tenaga, waktu dan pikiran yang Anda curahkan dengan sangat besar itu jika naskah buku Anda hanya dicetak satu eksemplar? Sebenarnya, itu hak Anda. Saya tidak bisa melarang. Hanya saja, saya tidak kebayang bagaimana Anda menghargai jerih payah Anda sendiri.

Ada banyak penerbitan yang menawarkan jasa semacam ini, tak hanya penerbit kecil, tapi juga penerbit besar yang biasa orang sebut penerbit mayor. Dengan bahasa yang gaya mereka menyebutnya Print On Demand (PoD). "Anda punya naskah, Anda punya uang, biar kami yang cetak," begitulah kira-kira mereka berkata. Dan buku pun terbit, Anda girang bukan kepalang. Memasuki abad ke-21 ini trend PoD lumayan menjadi-jadi. Saya pikir teori simbiosis mutualisme berlaku di sini. Setiap calon penulis butuh menerbitkan naskah bukunya, sedangkan penerbit butuh duit agar perusahaannya tetap jalan. Bagaimanapun, tidak bisa tidak, naskah adalah jantungnya penerbitan. Tanpa naskah, apa yang bisa diterbitkan oleh mereka?

Tren yang lain adalah, Anda menerbitkan naskah buku anda sen-di-ri! Anda tidak perlu penerbit. Tinggal bawa saja naskah Anda ke percetakan, dan cetak di sana. Untuk yang satu ini, mau tidak mau Anda harus keluar modal besar, seperti yang saya sebutkan di atas. ESQ 165 WAY-nya Ary Ginanjar dan Supernova-nya Dewi Lestari cukup untuk membilang salah dua contohnya. Buku mereka bagus, berkualitas dan populer. Setelah itu, barulah penerbit melirik para penulis ini. Malah lebih baik dari itu, omzet penjualan, Anda sendiri yang mendapatkan dan merasakannya langsung. Tidak ada istilah potong sini-sana yang lumayan besar seperti halnya di penerbitan, untuk biaya operasional, distribusi, promosi dan tetek bengek lainnya yang seringkali berakhir mengecewakan bagi penulis. Betapa tidak? Penulis adalah orang terakhir yang justru mendapat bagian dari omzet yang dihasilkan penerbit. Buku Anda sendiri! Mengapa, karena bagaimanapun, penerbit akan berpikir untuk dirinya sendiri ketimbang orang lain. Ada perut yang harus dikasih makan. Perut Anda? Ah, saya tidak berani berkata apa-apa soal ini.

Perlu diperhatikan bahwa tidak setiap penerbitan itu punya percetakan, pun sebaliknya. Ada kalanya percetakan, baik yang berbadan hukum atau tidak, tidak punya basis penerbitan buku. Tapi, siapa bilang Anda tidak bisa menerbitkan buku di percatakan semacam percetakan undangan. Bisa kok? Konsepnya sama saja. Hanya masalah format saja yang berbeda. Dan soal badan hukum, ini yang menarik. Ada yang berkata jika setiap penerbitan wajib berbadan hukum. Tapi ada juga yang berkata jika itu tidak perlu. Kalau pun dia harus berbadan hukum, kira-kira sekuat apa penerbitan ini bisa bertahan? Ingat, jantungnya penerbitan itu adalah naskah. Tanpa naskah, bisa apa? Saya pikir masalah ini tidak hanya menjadi bahan pikiran penerbit kecil atau independen, penerbit mayor juga. Yang saya tahu, belum ada data valid yang menggambarkan dengan jelas mana penerbit yang berbadan hukum dan mana yang tidak. Pemerintah tidak punya pengawas untuk ini. Perlu anggaran besar sekiranya mereka harus melakukan pendataan.

Data valid penerbit berbadan hukum bisa Anda temukan di situs Perpusnas RI secara legitimate, tapi secara pratek di lapangan, siapa yang tahu? Tapi ah, terlebih masalah ini, untuk masalah ISBN saja pemerintah, dalam hal ini Perpusnas RI, belum bisa mengatasi ISBN yang berpotensi ganda. Jika Anda teliti, buku-buku murah dengan prelim minim, bahkan tak pernah punya ISBN sama sekali. Dipermasalahkan? Tidak sama sekali!  Mereka bertahan dan tetap melenggang dari zaman ke zaman. Lihat kurang terkenal bagaiman MB. Rahimsyah penulis buku Si Kancil itu. Tidak hanya buku-buku dongeng, doa anak-anak, buku dewasa berjudul "Obat Perkasa Lelaki" pun mencatut namanya. Sampai detik ini, tidak ada yang tahu siapa sosok MB Rahimsyah ini sebenarnya. Tapi toh, dunia tak lantas ribut.

Kembali ke masalah menerbitkan buku. Jadi, untuk buku yang diterbitkan sendiri secara swadaya istilahnya adalah self-publishing. Saya pikir ini agalah gerakan akar rumput. Tak tampak di permukaan, tapi gencar dan bertumbuhan. Anda pun bisa melakukannya, sama halnya dengan penulis yang beberapa waktu saya ikuti bedah bukunya. Bukunya itu saya pikir diterbitkan secara self-publishing dengan modal sendiri dan dengan penerbit yang alhamdulillah tak tercatat di Perpusnas RI, kalau mau saya bicara soal legalitas. Pasalnya, saya terkejut melihat bahwa kota yang masih susah untuk berkembang, kota yang menerbitkan buku penulis itu, ternyata punya penerbitan. Lima tahun saya menetap di kota itu, satu toko buku pun tak pernah bisa saya temukan. Ini penerbit pula. Hebat, kan?

Saya lihat prelimnya, saya baca bukunya. Kesedihan saya muncul bukan pada buku dengan cover yang bisa dibilang menjual itu, tapi pada kontennya. Pada editor bahasa yang hanya sekadar tempelan, pada pemikiran penulis yang saya pikir masih prematur untuk mencetak sebuah buku. Setiap orang memang punya hak mencetak buku, tapi ada hak pembaca juga di sana untuk mendapatkan (isi) buku yang berkualitas. Ini prinsip saya, dan saya pikir prinsip semua penerbitan juga. Seorang penulis mestinya punya kematangannya dalam berpikir, dalam menuangkan pikirannya lewat tulisan. Karena sehabat apa pun sebuah buku, jika dia tidak bisa mencerahkan pembaca apalah artinya? Dengan kata lain, ada tanggung jawab moral di sana dari hanya sebatas kata-kata. Semua mata tertuju ke sana.

Belum lagi masalah strategi, kalau kita mau membahas laku tidaknya sebuah buku terbitan. Atau, masalah lain soal popularitas penulisnya. Artinya, menerbitkan buku tidak bisa seadanya apalagi sekadarnya. Sekadar menerbitkan buku setiap orang bahkan setiap penerbit bisa. Tapi menjadikan buku sebagai bentuk tanggung jawab moral penulis, sarana motivasi, media pencerah, atau bahkan wahana dakwah sekalipun, butuh pertimbangan yang matang dan tidak sebentar. Manusia Indonesia sudah cukup bingung dengan segala keanehan hidup dan kehidupan ini, janganlah mereka dibuat bingung dengan menerbitkan buku yang tak menjawab dan memberikan solusi atas permasalahan hidup. Karena jika hal itu dilakukan, penulis tak ubahnya membuat keruh air yang memang sudah keruh. Dan ini petaka namanya!

Bagaimanapun, ada tradisi yang harus tetap dijaga sekalipun dunia memang berubah. Tradisi itu bernama menjaga kualitas buku dengan cara-cara yang memang sudah dibentuk berabad-abad lamanya. Jangan sampai perubahan yang ada yang positif malah justru mengesampingkan konvensi yang memang sudah terbukti kebenarannya. Demikian.

Sebelum saya mengakhiri bagian pertama dari tulisan saya ini, saya ulas apa yang sudah saya sampaikan sebelumnya. Jadi masalah menerbitkan buku, setiap orang bisa:

1. Menerbitkan naskah bukunya sendiri dengan modal sendiri dan mencari percetakan sendiri (self-publishing);
2. Menerbitkan naskah buku sendiri dengan modal sendiri dan mencetaknya lewat penerbitan (Pod);
3. Menerbitkan naskah buku sepenuhnya lewat penerbitan; dan--ini yang akan dibahas kemudian--
4. Menerbitkan naskah buku lewat agen naskah buku, untuk selanjutnya dibawa ke penerbitan.


Selesai Bagian Pertama. (FA)

Bagian 2: 

No comments:

Post a Comment