Friday, September 9, 2011

Puisi

Di Depan: Tungku

Siapa lagi yang mesti kutemui selain engkau
Ketika hari membawa gelembung-gelembung pagi?
Aku pun diam di depanmu tungku penuh abu
Menciptakan anak panah memecahkan gelembung itu
Sedang, betapa tabah kau menjaga merah kayu
untuk tetap nyala bagai matahari, dan di belakangmu
anyaman-anyaman bambu pasrah endapkan dosa
Purbapun menjadi waktu yang tak kenal usia
Dalam gairah batu angkuh tubuhmu
kesetiaan tak lagi punya malu

2011


Di Belakang: Sumur

Ketika seekor kodok hijau marah
kau tetap diam tanpa gelisah
Mungkin seperti bunga bakung itu
Bingung memeram muram
pada cuaca yang lagi tak kenal arah
Tapi di sini matahari tak lantas jadi berita
meski garangnya seperti bara
Diam di ujung jariku di atas kepalamu

Lantas kukunjungi dirimu di sudut itu
Ngangamu yang dulu lubang mata
kini telah berubah menjadi naga
Di samping kiri air merayap tak peduli
Di kanannya pohon cermai menaungi
Kusatukan telapak tangan ciptakan bahtera
Kujatuhkan bola mata dan terkejut
Lubangmu ternyata Goa Kiskenda
Dan Hanoman tengah bertapa di dalamnya

2011


Di Kiri: Kayu

Seorang kakek meringkuk di tengah hutan
Tubuhnya terbangun karena detak jarum jam:
Pangkal hari yang dianggapnya ancaman
Tanpa permisi tangannya ditarik seorang bujang
Urat leherpun regang saat sebilah golok menciumnya
Pagi berdarah, atau darahkah yang mesti diselamatkan?
Tapi di sini asap mesti diciptakan pada kecil kepundan
Tanda bahwa bumi berputar dan nyawa tetap berharga
Maka tubuh kakek pun derit korban di depan pintu
Bukan air mata yang tumpah, tetapi usapan tangan
di kepala bujang disertai mantra dan doa

2011


Di Kanan: Cucian

Hantamkan basah tubuhnya di atas batu
di pinggir sungai dengan airnya menderu
Lalu kelantanglah tak jauh dari rumah
Begitulah hari mengajarkan padanya
Pagi pun berubah jadi doa
Terus diterbangkan ke langit tanpa jenuh
Tapi doa itu justru ditanam sebagai benih
Disiram dan dirawatnya di halaman
Halaman yang di luar sana menjelma rubah
atau kurs rupiah yang merangkak di kolong meja
Tapi sekarang di kolong mejanya tak ada apa
selain sobekan koran memuat berita tikus:
Hama yang mesti dibakar jika perlu disate saja
Di koran itu juga para bidadari melambai
menggodanya masuk pintu yang selalu tertutup
Padahal pintunya selalu terbuka sambut sesiapa
hingga senyum tetap abadi meski sebatas lengkung
Lengkung harap yang tetap layak dihormati
sebagai janji seperti cucian yang menggantung
Digelayuti harap dan doa serta sebongkah ragu
Dihempas angin pagi ditampar matahari

2011


Gadis Apar

Karena langit telah meninggi di atas sana
besi mempertemukannya dengan api
Lengan baju disingsingkan dan bahu disangga
Bukan oleh bambu yang menopang kaki
Tapi oleh keringat yang basahnya tak pernah pergi
Belati, pantaskah kau mendapat murkanya?
Ditempa dan diruncingkannya matamu sekadar
untuk menghunus masa kecilnya yang agung
Diarak perburuan dan diludahinya bayangan
Sayang, kata tak lantas jadi berharga baginya
hanya karena tak boleh ada kelam
untuk menyambung bilahmu yang karat
Karat penuh pelajaran tentang bagaimana dirimu
dijaga dari musim penghujan atau
barangkali hujan itu adalah air matanya
yang tak sudi jatuh di paron bahkan pelabangan

2011

No comments:

Post a Comment