Sunday, March 4, 2012

Alusio

"INTERMEZO" by FA
Cerpen: Fim Anugrah 

Aku membaca Taufik Ismail sambil ngemil. Aku membaca sebuah tragedi yang ditulisnya lewat anak kecil yang membawa karangan bunga. Aku membaca dua ratus juta manusia dengan mulut menganga. Aku membaca seseorang yang malu menjadi warga negaranya sendiri. Aku membaca Indonesia yang di dalamnya tinggal seorang penduduk yang malu dengan negaranya. Aku membaca kemaluan yang kosong seperti tong tapi nyaring bunyinya. Cukup menghibur sebagai pengantar sarapan.
Setelah itu, kusimpan buku dan nyalakan radio. Kuputar pemutar gelombang frekuensi yang berkejaran. Suara-suara terdengar mulai dari berita sampai suara Bang Haji yang masih saja mendendangkan Ani. “Ani, sungguh aku tahu kau rindu padaku. Ani, engkau juga tahu kurindu padamu. Tetapi untuk sementara, biarlah berpisah. Kupergi karena terpaksa demi cita-cita,” begitu katanya. Seperti aku yang juga pergi meninggalkan kampung halama dan diam di kota. Belajar dan mencari ilmu –ilmu memang seperti binatang liar, begitu kata Syafi’i, dan aku harus mencari dan mengejarnya. Satu hal yang menjadi pertanyaanku adalah apakah Bang Haji kembali untuk Ani setelah menggapai cita-citanya? Yang aku tahu, Bang Haji sudah duduk di kusinya yang empuk membaca dirinya yang sempat nongkrong di layar lebar di tahun 80-an. Kubiarkan Bang Haji menyala di dalam radio itu.

Aku keluar dari kamarku yang terletak di lantai dua sebuah rumah yang terletak di kaki bukit. Kulihat ke bawah orang-orang berjalan mengunjungi pekerjaannya, mengunjungi kampus dan dosennya. Di seberang, sebuah lapang telentang sedemikian rupa. Sebuah lapang yang kemarin merayakan negaranya yang berulang tahun. Pohon pinang berdiri dengan wajahnya yang coreng moreng. Banyak orang telah melakukan perbuatan tidak senonoh kepadanya. Orang-orang sudah memeluk dan bersetubuh dengannya. Mereka membawa nafsunya dan mendaki menuju ke atas pohon itu. Setelahnya, pohon pinang tinggal permen karet yang sepah dan dibuang. Kuhiraukan.
Di depan kamar, sebuah kamar memiliki kamar mandi terbuka; kusaksikan seorang ibu memegang anaknya yang susah dimandikan. Anak itu mengenakan Superman bersama celana merahnya yang pendek. Kain terjuntai dari bahu yang dipegang ibunya. Setelah anak itu tak kuasa lagi berontak, ibu itu mencopot Superman dan melemparkannya ke tali jemuran. Kuperhatikan. Ibu itu tersenyum dan aku membalasnya. Tak bisa kubayangkan jika ibu itu adalah istriku kelak. Pantas saja kaumnya punya surga di telapak kakinya yang suka dibawa ke mana-mana: ke pasar, ke mall, ke sekolah, ke tempat hiburan, ke… malam, di mana mereka mestinya sudah terlelap diam di dalam kamarnya masing-masing. Tak adakah orang yang bisa menggugat hal itu? Apakah surga masih tetap berada di telapak kakinya kendati pekerjaan malam menjadi nafas hidupnya? Banyak jalan berliku memang, tapi belokan hanya ada dua: ke kanan atau ke kiri. Dan seseorang tinggal memilih antara kedua itu. Banyak yang ke kanan, tapi tak sedikit yang ke kiri. Yang pasti, yang aku tahu, kesusahan ada di dalam keduanya.
Kubuang wajahku ke kiri seraya mengambil Kapal Api. Kuteguk airnya yang mengepul, hangat terasa, manis singgah di lidah. Ah. Tak lama kemudian, kudengar seorang permpuan yang sepertinya, sih, cantik, melagukan SMS dari mulut radio. Perempuan itu cemburu dengan Abangnya karena mendapati SMS yang tak dikenal dari Nokianya, mungkin. “Hi, telepon genggam! Siapa namamu? Namaku.... Lagipula aku tak tahu apa nama telepon genggamnya. Aku hanya berpikir bahwa mestinya perempuan itu senang karena mendapatkan sms sekalipun dari seorang perempuan yang tak dikenal, kecuali mungkin Abangnya. Kemungkinanya hanya ada dua: 1. Abang itu berselingkuh, dan 2. Abang perempuan itu banyak fans-nya. Tapi kemungkinan yang lain, bisa jadi tak terkecuali: 3. Salah kirim, atau 4. Orang iseng. Ah, terlalu banyak kemungkinan yang membuat orang harus berpikir lebih dari satu kali semata hanya untuk mendapatkan satu jawaban.
Tapi, tak perlu sungguh aku berpikir untuk kedua kali, karena aku tahu Ericsson T10-ku tak mengantarkan satu pesan pun padaku. Apa yang bisa dibanggakan dari itu? Aku pun keluar kamar dan duduk di sebuah kursi biru yang kuambil dari dalam kamarku, sedang Kapal Api tak lepas dari jari-jemari kiriku. Kulihat ibu tadi telah selesai membasahi anaknya yang kudengar terus mengerang seperti kesakitan, padahal tidak. Dibawa anaknya itu ke dalam kamar dengan tubuh yang diselimuti handuk. Baru aku sadar bahwa anak itu menangis bukan karena tak mau mandi, tapi karena air di pagi hari itu dingin tak terperi. Jelas sudah mengapa aku tak langsung pergi ke kamar mandi sejurus aku bangun tidur.
Kutegak entah untuk keberapa kalinya Kapal Api di tanganku. Kunyalakan Djarum dengan Zippo-ku, dan Djarum pun terbakar di kempitan bibirku yang basah. Kubertanya-tanya apa artinya kopi berjudul Kapal Api ini. Apakah Kapal itu memang menyemburkan Api? Atau, apakah Kapal itu memang menggunakan Api sebagai bahan bakarnya? Aku tak tahu-menahu mengapa mereka membuat Kapal Api sebagai nama produknya. Terlalu banyak ambiguitas di sana, bahkan di dunia. Sayangnya, kita harus mencari sendiri jawabannya karena memang mereka yang membuat nama dengan kata-kata itu tak pernah memberi tahu alasan dan menjelaskannya. Tapi, apa semua penciptaan memang harus ada alasannya? Kadang, seringkali, kudengar orang mengungkapkan sesuatu bukan berdasarkan pada pikiran yang logis, akan tetapi pada perasaan. Yang penting enak di dengar dan mudah diucapkan, begitu kilah mereka.
Pikiran yang tadi melayang, kembali menangkap lagi Kapal Api. Ya, kemungkinan itu ada, tapi tentunya sangat tak mungkin jika Kapal itu berlayar di atas api atau bahkan dibuat dari api. Sangat tak mungkin! Tiba-tiba aku berpikir, mengapa tak menggunakan nama Kapal Laut saja. Nama itu tak membuat orang seperti aku harus berpikir berlarut-larut untuk menyanyakan alasan namanya yang ambiguitas itu, kan? Seperti halnya kapal udara yang biasa disebut pesawat terbang, kapal laut biasa kita sebut feri dan banyak lagi namanya yang lain. Tapi Kapal Api, apa pula itu? Ah, biarlah saja, toh dunia ini adalah lapangan ekspresi yang sangat luas. Orang bisa menyusun banyak kata yang ambigu, aneh, bahkan eksentrik, yang penting tidak mengganggu orang lain dan menimbulkan SARA. Tak terbayang kiranya jika hanya gara-gara soal Kapal Api yang menimbulkan banyak tafsir, perang dunia ketiga meletus. Jangan sampailah!
Kusimpan teka-teki tadi dan kulihat orang-orang melintas di bawah sana menyusuri jalan kecil di antara rumah-rumah warga. Ah, kota! Bisa memiliki lapangan 4x4 m saja sudah syukur. Di kota ini, orang senang sekali menimbun adonan pasir dan Tiga Roda di dalam dan di atas tanah. Tanah merah seakan hilang dari pandangan. Tak seperti ketika aku kecil dulu di desa, tanah terhampar luas baik yang merah maupun yang diselimuti luas rumput hijau. Alam yang sejuk dan pemandangan yang indah memiliki kata-kata yang masih murni dan suci, belum terkontaminasi. Air masih air, sapi masih sapi, suara seruling pun masih bersahabat. Tapi di kota? Air jadi Aqua, sapi jadi sosis, suara gitar yang meringkik seperti kuda malah jadi memekakan telinga. Dunia yang bising, percis seperti mulut radio itu. Di desa, semua serba seimbang. Warga yang sekalipun tak punya pendidikan tinggi seperti anak kuliahan, paham jika alam harus diperlakukan sama seperti memperlakukan diri sendiri. Tak boleh berlebihan dan tetap menjaga keseimbangan. Di kota? Entahlah, aku tak ingin membahasnya.
Perbedaan selalu ada, tapi, sekali lagi, jangan jadi alasan untuk menumpahkan air mata, apalagi darah. Lagipula, tak penting memikirkan apa yang orang-orang lakukan. Yang penting adalah memikirkan diri sendiri, menjaga dan membentuk diri ini menjadi pribadi yang baik dan tak merugikan bagi orang lain. Pribadi yang sehat fisik dan mental, rohani dan jasmani serta berwawasan luas dan tetap positif di setiap gerak-geriknya. Pribadi yang benar-benar menjadi manusia seutuhnya, seperti yang dicita-citakan semua, juga negara. Pribadi seperti inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya masyarakat yang madani, yang memiliki tepa selira, menghormati dan menghargai antar sesama. Seketika aku tersenyum; pelajaran kewarganegaraan sudah selesai untuk dua sks di beranda ini. Kutatap Casio menunjukkan pukul sembilan, dan sepertinya aku tak harus masuk kuliah untuk materi tambahan di pelajaran yang sama.
Aku teguk lagi Kapal Api yang mulai dingin; Djarum tinggal beberapa hirup lagi. Kembali kuawasi lingkungan sekitar. Ada orang yang berkerumun di lapangan, ada juga yang terlihat terus menyusuri jalan kecil itu, Ibu dan anak tadi dengan kegiatannya yang baru, suara penggorengan di lantai satu terdengar, aroma telor tercium bersama sosis bersamaan. Tiba-tiba, aku serasa Nabi yang tengah membaca, yang baru saja keluar dari Gua Hira. Sayang, tak ada Jibril di sana, melainkan Ismail yang ditinggalkan dan Bang Haji yang entah sedang melakukan apa.(*Saswaloka*)

Bandung, November 2010

No comments:

Post a Comment