Wednesday, September 19, 2012

Di Bawah Pusara


Tak lama setelah Jailani mendengar kebenaran berita itu, dia pun menangis sejadi-jadinya. Dia tak menyangka bagaimana bisa anak-anaknya, keturunannya, justru menjadi manusia yang tamak, rakus dan malah mengagung-agungkan keduniawian. Padahal, tidak sedikit bekal agama dititipkannya dan pengertian akan hidup diberikan padanya.
Masih terngiang di kepalanya bagaimana dia membesarkan anak-anaknya dalam bimbingan agama di pondok pesantren yang memang sengaja didirikannya. Dengan ponspes dibawah naungan yayasan itu pula dia bisa menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi, baik yang ada di dalam maupun luar negeri. Dan bagai sebuah ketentuan yang tidak tertulis di buku manapun, tentunyalah ponpes itu bakal pula dipimpin oleh anak-anaknya sepeninggal dirinya.

Mengingat anak-anaknya belum besar dan masih menuntut ilmu, ponpes dan beberapa sumber usaha yayasannya sempat dipimpin oleh orang lain yang tak lain adalah muridnya sendiri, tangan kanannya. Beberapa generasi datang dan pergi silih berganti, dan di bawah pusara, Jailani masih bisa tersenyum bangga dan bahagia. Syukur yang tak ada habisnya. Derap-derap langkah dibarengi dengan perbincangan soal keagamaan seringkali didengarnya dari orang-orang yang melintasi kuburannya. Bahkan tak sedikit para jamaah merindukan kehadirannya. Jalinai yang soleh dan pintar yang menjadi tumpuan orang-orang bertanya, bagaimana menjalani hidup yang bermanfaat berpegang pada agama yang selamat.
Saking terlenanya Jailani dengan berita bahagia, dia pun tak ambil pusing. Dengan tenang dan nyaman Jailani menikmati kenikmatan surga atas jerih payah yang telah dilakukannya di dunia. Dan Jailani pun berjalan-jalan. Meneguk air susu surga yang tak ada surutnya ditemani para bidadari yang tetap perawan. Setelah merasa puas, dia pun pergi untuk beristirahat di bawah pohon rindang surga. Akan tetapi, baru saja Jalinai hendak memejamkan mata, tiba-tiba saja seseorang datang padanya dan berkata:
“Pak Kiai, Pak Kiai… apa Bapak sudah mendengar kabar terbaru dari ponpes?” napasnya terengah-engah.
“Kabar? Kabar apa, wahai Pemuda?” tanyanya kepada pemuda yang kebetulan muridnya ketika di dunia, dan yang kebetulan juga mati muda karena penyakit diabetes.
“Memangnya Bapak belum tahu? Bapak belum dengar kabar lagi? Memang, sudah berapa lama Bapak istirahat di sini?” tanyanya bertubi-tubi.
“Saya… belum pun satu menit duduk di sini.”
“Ya, seperti yang bapak tahu, satu detik di surga saja sudah 100 tahun di  dunia. Dan dunia sekarang memang lebih cepat dari biasanya. Semua serba instan.”
“Ya, ya… jadi berita apa yang hendak kau beritahukan padaku sebenarnya?”
“Apakah Bapak tahu jika ponpes bapak akan berulang tahun? Putra Bapak sendiri yang menyelenggarakannya.”
“Ya. Lalu, memang, ada masalah apa dengan itu?”
“Sebenarnya, masalahnya bukan ulang tahunnya, tapi….” pemuda itu terdiam. Ragu berbicara. Kehilangan kata.
“Hai, anakku, bicaralah. Tidak apa. Bapak mendengarkan,” pintanya.
“Mmm… sebaiknya, Bapak dengar langsung sendiri saja,” sarannya, “barangkali jika Bapak mendengar langsung, Bapak akan mendapatkan berita pastinya.”
Jailani terdiam, bukan karena pemuda itu, tapi karena kepenasaran tentang berita yang sesungguhnya bakal dia dengar.
Jailani pun beranjak dari tempatnya, berjalan seraya mengucapkan salam perpisahan pada pemuda itu. Pemuda yang saat ini wajahnya memperlihatkan nada kegelisahan.
Dengan langkah sedikit terburu-buru, dia menyusuri jalan setapak dengan rumput dan ilalang di kanan kirinya. Beberapa orang yang beristirahat di rumah-rumah emas, di taman-taman bunga dan di pinggir-pinggir kolam susu, menjatuhkan tatapannya pada Jailani. Bukan senyum dan sapaan ramah yang didapat Jaliani seperti biasa, melainkan ucapan: “Semoga engkau baik-baik saja wahai Kiai! Semoga!”
Bingung bukan mainan Jailani dibuatnya. Sungguh tidak biasa apa yang dia dapat di sepanjang jalan menuju bawah pusaranya itu. Ada apa gerangan sebenarnya? Hatinya terus bertanya-tanya dalam kemelut kepenasaran.
Setibanya Jailani di bawah pusara, dia pun berdiri tegak sambil mendongak. Ditangkap-tangkapnya suara-suara di dunia-atas yang melintasi kuburannya. Ingin sekali dia tahu apa yang sedang terjadi dengan ponpesnya, pun dengan orang-orangnya. Tak berapa lama, terdengar suara samar yang makin lama makin jelas kata-katanya.
“Oya, kau tahu kalau ponpes bakal berulang tahun?”
“Oya?”
“Ya. Aku dengar pihak ponpes akan merayakannya dengan sangat mewah dan meriah.”
“Memang apa saja acaranya?”
“Banyak-lah. Ada lomba keagamaan, makan bersama, dan tentunya ceramah.”
“Apa kita diundang?”
“Diundang? Huh, memangnya kita ini siapa di mata mereka. Terlebih untuk acara-acara besar, untuk acara-acara kecil saja mereka cuek-bebek, sekalipun kita ini tetangganya juga.”
“Betul juga sih. Ponpes sekarang sudah berubah. Tidak seperti dulu ketika ada Kiai Jailani. Dulu ponpes sangat sayang dengan warga sekitar, begitu juga sebaliknya. Kebanggaan jadi milik bersama. Keberadaan ponpes benar-benar terasa manfaatnya bagi kita. Tapi sekarang? Alih-alih untuk bisa hidup bersama, orang-orang di ponpes saja sudah tidak lagi tengok kiri tengok kanan ke warga sekitarnya sendiri.”
“Bagaimana tidak? Lha wong, yang ngurus ponpesnya saja masih anak-anak. Pikiran dan kelakuannya sudah teracuni oleh orang-orang barat yang individualis, yang cuma mikirin diri sendiri. Ya, begitulah kalau orang kampung belajar di kota besar. Dikira bakal bener, eh, malah keblinger.”
Jailani tertunduk malu mendengar percakapan itu. Dia tak menyangka jika keadaan ponpes sudah sebegitu berubahnya. Mending jika berubah ke arah yang lebih baik. Kenyataannya…? Tapi tidak! Jailani tidak secepat itu menyimpulkan perkara. Dia ingin mendengar lagi yang lainnya. Barangkali saja ada berita yang lebih enak didengar olehnya.
Tak berapa lama kemudian, samar-samar suara kembali terdengar.
“Sekarang, gedungnya sudah bagus, Bu. Lebih besar dari yang dulu,” seorang ibu membanggakan ponpes itu.
“Iya sih Bu, bayarannya juga bagus, dan besar!” napas terdesah berat.
“Ada apa, Bu?” seorang ibu muda bertanya.
“Tidak. Hanya saja, saya lagi bingung. Kemarin anak saya bilang kalau dia harus bayar iuran untuk ulang tahun ponpes. Saya pikir uang SPP sudah cukup untuk biaya ulang tahun. Entah ke mana saya harus pinjam uang lagi. Akhir-akhir ini, ada-ada saja pengeluaran buat anak saya itu.”
“Kalau masalah itu, betul juga sih, Bu. Tidak tahu kenapa, ponpes sekarang malah jadi lahan bisnis. Ibu lihat saja, tidak sedikit ponpes yang punya banyak tempat usaha. Mulai dari toko, pertanian, bahkan sekolah. Ya, seperti ponpes itu saja. Kata orang sih banyak proyek. Makin banyak proyeknya, ya makin repot kita,” kata-katanya menepis kebanggaan tadi.
“Saya pikir pendidikan sekarang sudah gratis, tapi nyatanya tetap saja mahal,” ketiga ibu itu pun terdiam, seakan menelan kekecewaan.
Jailani terpekur lagi mendengar percakapan-percakapan soal ponpesnya. Tak pernah dia menyangka kalau ponpes yang didirikannya itu, yang sekarang diurus oleh anak-anaknya itu, malah jadi sumber penyusah rakyat. Agama seperti telah benar-benar hanya jadi kedok belaka. Tapi yang paling menyedihkanya sebenarnya adalah sikap anak-anaknya itu. Sesumbar Jailani berkata: “Kerasukan setan apa anak-anakku itu, ya Tuhan?”
Jailani merasa baru sebentar saja berdiri di bawah pusaranya, tapi terasa benar betapa banyak percakapan-percakapan negatif soal ponpes terdengar dari orang-orang yang lewat di kuburannya. Semakin banyak dia mendengar, semakin pilulah hatinya. Air mata pun menetes, tumpah menderas, dan bedah menjebol bandungan kebanggannya.    
Suatu hari, tepat di hari ponpes berulang tahun, sebuah peristiwa menggemparkan terjadi. Kuburan Jailani sudah dikerubuti oleh hampir seluruh warga. Mereka berdesak-desakan ingin menyaksikan peristiwa yang tak masuk di akal itu.
“Ada apa ini?” seorang ustad berusaha melewati kerubutan warga yang sudah mengelilingi kuburan Jailani.
“Lubang, Pa Ustad!” jawab seorang pemuda.
“Lubang? Lubang apa?” teriaknya. 
“Lubang kuburan Kiai Jailani, Pak!”
Ketika Ustad itu berhasil masuk, nyatalah. Sebuah lubang besar percis sebuah sumur tampak di kuburan Jailani yang sudah tidak lagi berbentuk pusara. Lubang itu terlihat sangat dalam dan hanya menyisakan kain kafan putih yang harum dan bersih menutupi batu nisan Jailani.
Ustad itu terheran-heran melihat peristiwa ini, lalu berkata: “Sudah kau beri tahu anak-anaknya? tanyanya kepada si pemuda.
“Sudah, Pak!” sejenak terdiam, “tapi… mereka sekarang sedang makan-makan di ponpes. Mereka bilang, nanti saja kalau acaranya sudah beres, baru mereka kemari.” (FA)

Babakankondang-Subang, 19.09.2012

Pic: http://www.nisanworld.com/

No comments:

Post a Comment