Wednesday, September 19, 2012

The Sickmind


Entah akan kau bawa lagi ke mana aku. Jujur, aku sudah lelah. Baru saja kau bawa aku lari ke tempat kerjamu, membayangkan orang-orang dengan pikirannya yang sakit sebagaimana kau membayangkan jawaban apa yang akan kau berikan untuk pertanyaan yang akan mereka tanyakan, kau sudah membawaku lagi terbang ke rumah di lembah itu. Rumah yang kau anggap akan menjadi jawaban terbaik untuk menyelesaikan permasalahanmu mengenai jarak, akses, atau apalah namanya.
Barangkali karena aku tidur terlalu lama hingga tiba-tiba saja kau bangunkan aku dan—bukan sebuah prestasi yang bisa dibanggakan—hanya dalam hitungan detik kau sudah menyuruhku berlari. Kau hantam aku bertubi-tubi dengan segala macam hipotesis, angan-angan ini-itu, dan segala bayangan yang kau sendiri belum tahu bakal seperti apa jadinya. Seandainya saat itu kau tak membawaku menemui Si Tua yang bercerita tentang sumur berhantu dan tentang bagaimana dia hidup di zaman penjajahan seraya kau membenahi barang-barangmu, mungkin aku takkan selamat. Mungkin aku sudah sekarat. 

Mungkin aku tidur terlalu nyenyak karena selain pekerjaan, kau tak benar-benar menemuiku, menghiburku dengan kebiasaanmu membaca puisi, cerita pendek, menggumamkan syair yang diulang -ulang, atau pun membawaku ke puncak gunung melihat pemandangan terbentang begitu hijaunya. Betapa rutinitas telah membuatmu seperti robot, seperti mesin, dan aku, harus rela mendapatkan hal yang sama setiap harinya. Hanya pada saat itu aku sendiri merasa kasihan untukmu. Tak saja karena kau tak memiliki diri sendiri, tapi juga kau tak memilikiku seutuhnya. Bagimu, aku sekadar urat syaraf yang harus memikirkan kebiasaan yang biasa kaupikirkan. Rutinitas itu. Tapi kau tak permah memikirkanku. Memikirkan pikiranmu sendiri.
Ada suatu saat ketika kau membaringkan diri dan seperti halnya aku meredakan ketegangan-ketegangan neuron-neuron di saraf tulang belakang yang tertutup, kau menemuiku dengan sangat ramah. Mengetuk pintuku dengan ucapan salam seraya berkata: “Selamat malam, pikiran! Apa kabarmu? Mungkinkah kita bisa berbicara soal kegiatan apa yang bagus untuk mengisi liburan akhir pecan?” aku begitu sangat senang. Akhirnya, setelah satu minggu kau perbudak aku dengan pekerjaanmu, aku bisa juga mendapatkan hiburan, kesenangan.
Kau membawaku di sepanjang jalan menuju perbukitan teh sedang sepeda balapmu tersenyum riang memandangku. Akhirnya aku bisa merasakan bagaimana angin menerpa wajahmu, menyejukkanku, dan segala kebaikan alam terasa benar-benar menyelimutiku. Tentu saja, pemandangan, gunung-gunung hijau yang terpancang sebagai ciptaan Tuhan, selalu menjadi penghiburku, penenangku. Dan aku bersyukur untuk itu, untukmu. Aku berterima kasih bahkan pada malam hari sebelum akhirnya kita bisa benar-benar melaksanakan rencana ini. Seandainya.         
Tapi belum pun matahari berjalan setengah lingkaran bumi, tiba-tiba aku merasa menggigil. Di tengah keramaian sekaligus kelelahan yang kau istirahatkan setelah kita melewati perbukitan teh dimana gunung-gunung tegak berdiri mengelilinginya, kau tarik aku ke lubang hitam persoalan. Sungguh tidak adilnya kau! Di tengah kesenangan kita ini, tiba-tiba saja kau memberikan keringat tubuhmu itu padaku. Dalam lemas kau peras aku. Kau kosongkan matamu walau di depanmu kawan-kawanku terlihat senang mengikuti acara bersepeda bersama itu. Aku pikir kau setangguh itu menghadapi masalah yang pada suatu saat kau menitipkannya dengan enteng padaku. Aku salah jika mengganggapmu bisa jumawa dan tabah mengusap dada meski persoalan itu acapkali menarik ekor sarafku. Bibirmu mungkin tersenyum pada saat itu. Tapi kenyataannya…? Sudah kubilang, jangan kaubicarakan lagi masalah itu!
Sekarang, aku telah benar-benar sakit. Dua hari dua malam kauperkosa aku sebagaimana persoalan itu memperkosamu. Kau pikir itu baik? Kau pikir itu adil? Tidak sama sekali! Tidak untukmu terlebih untukku. Awalnya aku pikir aku bisa enyah dari persoalan itu, darimu yang mempersoalkan soal itu. Buktinya, sekalipun kau tinggalkan pekerjaan terkutuk itu sebagaimana pikiran terkutuk yang menjahatimu, aku tetap saja jadi korban. Dan entah kapan, tapi kau melakukan kegalauanmu lagi. Kau berjalan di sepanjang jalan yang entah tanpa tujuan yang jelas. Sedang aku? Terusan-terusan kau suruh aku berlari. Dan kau baru tersadar ketika tubuhmu lelah, dan aku sendiri tersungkur tak berdaya. Megap-megap mulutmu mengantarkan udara yang tersendat-sendat masuk ke tubuhku. Aku sakit. Parah! Aku butuh oksigen!
Kau sering berkata padaku jika kita mestinya membuat jarak dengan masalah. Jadikan masalah itu sebagai objek agar tak ada emosi memancingku. Karena kau yakin bahwa ada yang lebih besar dari masalah itu. Yang Maha Besar. Kau rasionalkan pesoalan itu, kau kuat-kuatkan dadamu menerimanya. Akan tetapi bawah sadarmu lebih besar ketimbang manifestasi lahiriah yang kau punya. Dengan kata lain, kau bisa mempekerjakanku, mempekerjakan korteks untuk mengubahku sehingga aku tak harus tersulut emosi. Tapi apa yang bisa dikata? Bukannya kau mengendalikanku, menjalankan fungsi-fungsi eksekutifku, kau malah menimbun dan terus menimbun kecemasan dan kegelisahan itu padaku. Emosi negatif–jijik, takut, marah, rasa muak—pun menjadi milikku seutuhnya. Tak hanya cuping depan kananku yang jadi korban, tapi juga bagian kiri, tempat dimana kebahagian mestinya hidup. Jika sudah seperti ini, apalagi yang kau punya, yang aku punya?
 Aku tak menyangkal jika emosi memang tidak bertolak belakang dengan akal sehat. Maksudku, aku tak berkata jika hanya karena emosi negatif itu kau lantas kusebut gila, atau aku yang gila (?) Hanya saja kau masih belum bisa mengendalikan diri. Kau terlalu membenamkan dan menenggelamkanku dengan persoalan dan emosi negatif  itu. Cuping depan kanan benar-benar telah membelengguku. Dan cuping kiri? Oh cuping kiri, barangkali hanya kebahagiaan yang saat ini sudah benar-benar tenggelam bahkan hilang. Berhenti menggigiti kuku jari tanganmu. Lihat! Di sini aku sedang memikirkanmu, memikirkan diriku sendiri bagaimana caranya agar kau tak secemas ini. Seandainya aku bisa keluar dari kepalamu lantas menamparmu agar kau sadar dan menyadariku.
Cobalah untuk sejenak saja membuatku sehat walau hanya satu menit. Jangan tekankan masalahnya,  melainkan cari solusinya. Sungguh, aku butuh keputusan. Dan kau! Ya, kau harus dengan segera melaksanakannya. Mari kita lihat sekali lagi duduk persoalannya.
Mmm…
Hhm….
Hmmm…
Ya, ya. Bagus begitu.
Aku harap kau dan aku sudah benar-benar membulatkan tekad ini, menguatkan niatan kita untuk rencana itu. Tapi ingat, kita tak bisa menjamin kalau yang kita putuskan ini bakal bakal baik pada akhirnya. Tak satu pun. Tapi setidaknya, kita telah benar-benar menetapkan keputusan, dan aku tak harus kau buat sakit lagi.  
Sekarang, aku benar-benar lelah. Kau pun begitu, bukan? Saat ini aku hanya butuh REM dan sedikit senyumanmu. Ketika tidur nanti, aku pun berharap bisa mendapatkan kolinergik. Tapi jangan berlebihan! Aku tak mau menjadi seorang skizofrenia! (FA)

Babakankondang-Subang, 18.09. 2012

Catatan:
1.       REM = Rapid Eye Movement (suatu fase dalam tidur normal dengan bola mata bergerak cepat di balik kelopak mata yang tertutup)
2.      Kolinergik = zat kimia dalam otak yang berinteraksi dengan reseptor asetilkolin yang dapat merangsang syaraf otak (neuron) untuk memaknai citra-citra yang dihasilkan oleh mimpi, membuat seseorang bisa mendapatkan pengalaman mimpi yang berkaitan dengan erotisme, kemarahan, dan kegembiran yang meningkat.

Pic: http://www.getthedream.com/more_info.php 

No comments:

Post a Comment