Monday, November 19, 2012

Berpikir Tidak Harus Menggunakan Bahasa

Kenyataan bahwa saya senang berpikir, itu penting. Akan tetapi kenyataan untuk mengungkapkan pikiran, itu lebih penting. Mungkin hanya berupa bunyi dari suara yang hanya sebatas lewat mulut dan semua anggota alat ucap yang melancarkan buah pikiran itu. Atau hanya sebatas kata-kata imajiner dalam kepala yang bersliweran, yang kadang tidak sistematis dan lebih sering abai dengan EYD. Sekalipun yang kedua ini lebih baik mengingat tak ada alat ucap yang mampu menghambat lalu lintas pikiran berupa kata-kata itu. Hanya dibutuhkan kinerja syaraf yang lebih hingga pada akhirnya kata-kata itu bisa membentuk sebuah rangkaian kalimat yang etis dan logis meski tidak fisis.

Akan tetapi permasalahannya adalah, apakah harus dengan bahasa? Maksud saya, apakah jalan pikiran harus selalu membutuhkan bahasa sebagai alatnya? Hampir setengah tahun semenjak saya mempelajari logika. Lewat sebuah buku dengan judul yang sama, diungkapkan jika bahasa adalah buah dari pikiran, karena dia adalah bentuk paling wujud (baca: konkret) dari pikiran. Seiring itu pula, saya pun mempelajari serta lebih mendalami perihal bahasa. Sungguh sebuah paduan yang harmonis! Namun demikian, dalam buku itu, termasuk buku-buku yang membahas tentang logika, tidak disebutkan apakah ada pikiran yang tidak membutuhkan bahasa sebagai alat(ungkap)nya.

Kenyataan sesungguhnya adalah, bahwa logika benar-benar sulit untuk dipelajari. Seperti halnya bahasa, saya mendapati fakta bahwa ia adalah alat yang tidak mumpuni untuk mengungkapkan semua pengalaman empiris manusia di dunia ini, apa lagi transendenstal. Di tengah keinginan saya untuk mengetahui lebih dalam soal bahasa, pernyataan ini sempat menumbangkan semangat untuk melanjutkan keinginan-tahuan saya itu. Bahasa yang tidak adekuat, melingkar-lingkar bagai labirin yang menghubungkan yang satu dan membutuhkan yang lain, percis sebuah kata yang diterjemahkan dan terjemahannya itu membutuhkan definisi lain untuk mendukungnya. Walau, ini pun menjadi cambuk untuk menangkap bahasa yang seperti binatang liar itu.

Bahasa tidak bisa mampu mengungkapkan bagaimana rasa galau atau senang yang tengah saya rasakan. Bahasa tidak bisa mengungkapkan peristiwa dimana awan mendung dan seperti apa bentuk awan itu secara detil. Tidak juga bisa menerjemahkan bagaimana pengkondensasian awan menciptakan air yang jatuh ke bumi. Bahasa tidak bisa merekam proses bagaimana air hujan itu jatuh, melayang, jatuh ke tanah kering dan meruapkan baunya—sebuah fenomena yang sangat saya gemari. Hingga akhirnya bahasa tidak juga bisa mengungkapkan bagaimana bau kering tanah itu menyeruak ke udara, mengabut, dan masuk ke sela-seal rambut di hidung saya. Yang lebih fantastis, bahasa tidak bisa menyatakan bagaimana kenikmatan saya mencium keringnya tanah basah yang terhirup itu. Bagaimana saya bisa mengungkapkannya? Pertanyaan klise pun muncul: “Susah diungkapkan dengan kata-kata.”

Terlepas dari ketidakadekuatan bahasa, justru ada pernyataan yang mengganggu yang saya temukan yang berkata bahwa berpikir tidak harus selalu menggunakan bahasa.  Jika tanpa bahasa lalu dengan apa akal bisa melakukan pekerjaannya: berpikir?

Beberapa bulan saya terdiam tanpa bahasa, kecuali memang sedang dibutuhkan. Diam saya ini pun acapkali membuat apa yang saya katakan tidak beraturan, seperti dalam kalimat:  “Tolong, pintu gerah saya buka.” Maksudnya, “saya gerah. Tolong pintunya dibuka!” Atau kalimat yang berputar-putar: “Bapak ingin seperti yang kalian tadi perhatikan berpartisipasi dalam pelajaran agar mudah untuk nilai remedial tidak ada pengganti karena dengan begitu mudah buat Bapak untuk memberi pada nilai kalian.” Yang mestinya: "Seperti yang sudah kalian perhatikan tadi, Bapak ingin kalian berpartisipasi dalam pelajaran untuk mengganti nilai remedial. Dengan begitu Bapak bisa lebih mudah memberi nilai pada kalian.” Bukan sulap bukan sihir, tapi mereka yang mendengarkan sempat bingung apa yang sebenarnya saya katakan. Sungguh dosa yang tak termaafkan, batin saya berkata.

Bukan tanpa alasan keadaan saya seperti itu. Tapi pada saat saya tengah bergelut dengan pikiran (sku memikirkan pikiran saya), saya memikirkan bahasa yang akan dipakai untuk membahasakan pikiran itu. Kenyataannya, bahasa tak bisa saya tangkap melainkan pikiran yang kosong bagai lorong gelap dan tak satu pun ada yang mengalir. Sampai pada suatu waktu, di saat saya tengah terdiam, berkontemplasi dalam ruang tak berujung tak berkata dengan masalah yang tengah saya hadapi, tiba-tiba  slide demi slide memenuhi pikiran. Percis sebuah layar putih yang ditimpah gambar-gambar dari sebuah bayangan maya lewat sebuah proyektor. Entah seperti apa cara kerjanya, tapi yang saya tahu, gambar-gambar itu berjejalan di kepala sedang proyektor yang terbentuk dari syaraf otak terus berputar menghidangkan gambar demi gambar: bayangan sebuah kamar hitam di sebuah kota yang padat; jalan raya yang panjang dengan kebun teh di kanan kiri yang menyampaikan saya ke kota lain; tempat tinggal baru dengan cat dindingnya yang biru; langit biru dengan panas matahari yang terik saat saya terduduk di depan lanskap sawah dengan air sungai mengalir di bawah kaki; pengalaman pertama melintasi sebuah plang menuju tempat kerja di kota yang saya singgahi ini; dan masih banyak gambar-gambar berjejalan silih berganti  mengisi kepala.

Tanpa sadar, sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan pikiran saya itu sesungguhnya sudah teramat biasa saya lakukan, dulu ketika saya masih di kota Bandung. Dan kebiasaan ini ternyata masih ada dan saya  bawa di kota yang baru ini, Subang. Dari dulu, memang sudah menjadi kebiasaan saya membayangkan setiap pengalaman yang sempat aku lalui berupa gambar-gambar baik itu tempat maupun kejadian yang terekam dalam neuron-neuron syaraf. Gambar-gambar itu seakan berbicara dengan bahasa yang berbeda tanpa harus menggunakan kata-kata. Tak hanya itu, saya pun sempat punya kebiasaan membayangkan apa yang akan terjadi untuk apa yang bakal saya hadapi di hadapan, seperti bagaimana saya membayangkan berjalan ke kampus dengan gagah menggunakan jas dan dasi seraya terempit di ketiak saya berkas-berkas skripsi yang bakal disidangkan, dan bayangan lainnya sampai pada akhirnya saya lulus ujian sidang. Sayang, bayangan seringkali tak selaras dengan kenyataan. Dan itulah yang paling menyakitkan.

Sesaat menginjakkan kaki di kota ini (Subang), kebiasaan itu saya hapus. Saya tidak lagi (mau) membayangkan apa yang bakal terjadi di kemudian—sesuatu yang memang muskil untuk terjadi. (Sebuah analog yang indah ketika suatu hari saya sempat berkata pada kawan-kawan ormawa di sebuah rapat persiapan pemilihan bakal calon presiden himpunan jika hidup seperti menatap gelas bening berisi air. Kau tak bisa mengetahui apa yang bakal terjadi nanti. Kita tidak pernah tahu apa yang bakal kita alami kemudian. Jangan sebut satu tahun, satu bulan atau satu hari. Untuk lima menit saja pun kita tidak tahu apa yang akan sedang kita lakukan). Di kota ini, saya tidak lagi bergelut dengan angan-angan atau fantasi, bayang-bayang semu yang hanya sebatas jadi penghibur meski kenyataan sebenarnya bisa jadi tak cukup bisa dibanggakan. Sebaliknya, justru kekecewaan yang didapat dari kebiasaan itu. Pada saat yang sama, saya tak lagi berdoa, meminta, dan berharap terlalu penuh pada apa dan pada siapa pun. Hemat kata, saya hanya menjalani apa yang tengah saya jalani saat itu juga tanpa tahu dan tak juga mau tahu apa yang bakal saya dapat dan alami nanti. Begitulah.

Karena realita adalah apa yang tengah saya lakukan, alami dan rasakan sekarang, bukan besok atau nanti. Selebihnya, hanya sejarah dari apa yang ada di ingatan, yang masih menjadi sebuah puzzle hidup besar yang harus saya susun. Ya, pada saat itu, tak berapa lama ketika tulisan ini dibuat, saya mendapati sebuah temuan bahwa ternyata, pikiran bisa “berbicara” tanpa bahasa sekalipun. Tanpa harus dengan kata-kata. Pikiran bisa berbuat apa saja dan bisa mengungkapkan apa saja, meski tanpa bahasa. Dan gambar-gambar ingatan itu, semua pengalaman empiris yang sudah lalu dan rekaman-rekaman gambar atas ruang dan waktu yang masih bertalian dengan keadaan saya sekarang ini adalah “bahasa” yang cukup (untuk tidak menyebutnya mumpuni) untuk bisa dijadikan sebagai alat berpikir. Tak perlu ada kalimat atau subtitle  di setiap gambar yang tersorot di layar pikiran. Karena gambar saja sudah cukup untuk bisa berbicara tentang dirinya sendiri. Sementara, saya tinggal menjadi penonton dari slide-slide yang ditayangkan oleh pikiran saya sendiri. Selebihnya, sikap atas kesimpulan yang saya ambil setelah menontonnya.

Maka, saya tetap senang bisa berpikir. Dan, saya juga senang jika ternyata pikiran tak harus selalu menggunakan bahasa sebagai alatnya; karena gambar ingatan, berbicara lebih banyak dari kata-kata yang justru dibutuhkan lebih banyak lagi untuk menerjamahkan gambar-gambar yang berlarian di layar pikiran lewat akal proyektor saya itu. [FA]   

No comments:

Post a Comment