Tuesday, January 31, 2017

Perbedaan Itu Berkah (?)

Ada yang salah dengan otak kita, atau tepatnya cara berpikir kita. Tak bisa dimungkiri jika otak adalah alat ukur manusia dalam melihat, memetakan, menilai, menimbang, mengevalusi, dan menyimpulkan sesuatu. Dia menjadi tempat bagi mengalirnya buah pikiran yang deras, tak bisa dihambat, dan ada kalanya digunakan semena-mena, sedang kata-kata menjadi wujud nyata dari pikiran itu sendiri. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah akal pikiran—cara bekerjanya otak—sudah digunakan dengan cara yang baik dan benar?

Pertanyaan di atas mungkin takkan muncul sekiranya otak kita sudah beres. Kenyataannya, fakta membuktikan bagaimana otak kita ini teramat sering menerima proposisi yang telah menjadi sangat umum dibicarakan meski tanpa pertimbangan dan pemikiran lebih lanjut. Salah satu contohnya adalah proposisi yang berbunyi: Perbedaan itu berkah—sebuah kalimat yang begitu popular di abad milenium ini.

Ditengarai oleh kenyataan hidup dan kehidupan berbudaya yang banyak ragamnya, termasuk pemikiran dan hasilnya, tak sedikit dari kita yang memiliki sikap berseberangan atau bertolak belakang atas satu atau lain hal. Tentu sikap ini sendiri tak lantas sekonyong-konyong ada tanpa adanya pengaruh, baik itu internal maupun eksternal. Bagaimanapun, setiap sikap pasti punya landasan se-nonsense apa pun itu. Hanya saja, dan ini yang paling penting, atas nama kerukunan, kebaikan dan ketentraman, kita acapkali tak memperuncing sikap kita atas permasalahan itu, perbedaan itu, dan kebanyakan dari kita menjadikan kalimat ajaib “perbedaan itu berkah”—alih-alih dipahami—sebagai tedeng aling-aling—untuk tak berkata bahwa memang tak ada lagi penyelamat lain selain kalimat ini. Dan permasalahan pun selesai, tanpa harus kita besar-besarkan.

Akan tetapi, apa artinya? Apa arti dari proposisi itu sebenarnya? Berkata bahwa perbedaan itu berkah?


Sejatinya perbedaan akan selalu ada di muka bumi ini, tidak bisa tidak. Sebagian berkata bahwa ia benar adanya; sebagian lagi—mereka berbicara lebih lantang—berkata bahwa ia adalah musuh bersama yang harus dihancurkan. Pasalnya, sampai saat ini pun perbedaan masih saja menjadi biang keladi, kambing hitam dan sumber pertikaian di belahan bumi mana pun. Jika memang benar demikian—berkata bahwa perbedaan itu berkah, akankah kita juga setuju dengan kalimat yang berbunyi bahwa kejahatan juga berkah? Jika tidak, bukan tak mungkin, dan bisa jadi, kita tidak benar-benar paham maksud dari judul tulisan ini—untuk tidak berkata bohong sama sekali. Kita hanya pura-pura tahu, menjadikannya sebagai kawan tapi tak pernah mengenalnya secara mendalam.

Di dunia yang kacau sekacau pikiran penghuninya, manusia masih menempatkan kebaikan pada derajat yang tinggi. Tak seperti kejahatan yang dianggap rendah dan hina, dan jika perlu ditumpas saja. Akan tetapi mungkin kita khilaf bagaimana kebaikan dan kejahatan atau keburukan, sebagai dirinya sendiri, pada hakikatnya memiliki derajat yang sama. Bukan hanya karena kitab suci berkata bahwa selalu ada oposisi biner untuk apa pun yang ada di alam semesta.




Tapi karena tanpa keduanya, hidup dan kehidupan takkan berjalan dengan seimbang. Lagi pula, bagaimana mungkin kebaikan akan ada tanpa ada kejahatan yang menjadi lawannya?

Sayangnya, kita terlanjur meyakini bahwa kebaikan itu baik untuk kita, dan harus berasal dari hal-hal yang baik saja. Kita lupa menyebutkan kejahatan atau keburukan yang juga punya peranan penting bagi terciptanya kebaikan di muka bumi. Begitu pun manusia sebagai tokoh utama yang menjadi “pelaksana teknis” akan keduanya. Berkata bahwa kebaikan lebih penting dari pada kejahatan, sama saja artinya dengan berkata bahwa perbedaan itu tidak berkah. Sementara berkah, karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia (KBBI), kebanyakan tak berasal dari hal-hal dan pengaruh yang baik saja. Bukankah kita mendapat pelajaran dan pada akhirnya berbuat baik dan menegakkan kebaikan justru kebanyakan dari kejahatan, keburukan, luka, derita, musibah, bencana atau kata-kata lain yang senada dengan itu semua?

Analoginya, jika tidak ada koruptor mana mungkin ada KPK? Jika tidak ada penjahat mana mungkin ada polisi? Jika Amerika tidak melakukan kejahatan dengan cara menjatuhkan bom atom di Nagasaki dan Hirshoma, mana mungkin Jepang bangkit dan berjaya? Jika Indonesia tidak dijajah, mana mungkin negara ini merdeka? Jika tidak ada peperangan, mana mungkin ada perdamaian. Dengan kata lain, jika tidak ada kejahatan, mana mungkin ada kebaikan? Artinya, mana mungkin kita bisa mendapatkan berkah hidup dan kehidupan sekiranya perbedaan itu tak ada—kebaikan dan kejahatan?

Penjelasan akan arti “pentingnya” kejahatan  di sini tidak berarti bahwa kita harus melakukan kejahatan. Tanpa dilakukan pun kejahatan akan selalu ada, pun kebaikan. Masalahnya sekarang adalah, sejauh mana kita, manusia, tokoh yang diganjar-ganjar menjadi pelaku utama hidup dan kehidupan ini punya peranan untuk melakukan dan mewujudkan rasa aman dan selamat sebagai wujud dari kebaikan?

Kenyataannya, betapa banyak orang yang mencaci kejahatan dan keburukan tapi sedikit dari mereka yang melakukan perbaikan, kebaikan hingga tercipta rasa aman dan tentram. Dan, betapa banyak orang yang ingin dan berani dan terus menerus melakukan kebaikan. Sayangnya, tidak sedikit dari mereka yang tidak berani untuk menghentikan keburukan, kerusakan dan kejahatan. Sementara, hanya dengan berbuat baik seseorang bisa disebut sebagai manusia baik, dan itu—menjadi baik—adalah proses, bukan hasil. Lebih dari itu, hanya dengan mengakui perbedaan akan yang baik dan yang buruk, seorang manusia memahami apa arti berkah hidup dan kehidupan. Maka dari itu, masihkah kita menolak kejahatan yang menjadi salah satu munculnya kebaikan, yang menjadi berkah atas adanya perbedaan? [FA]

No comments:

Post a Comment