Wednesday, October 26, 2011

Bahasa Kuliner

Konvensi bahasa memang tidaklah dimiliki oleh kaum intelektual atau ahli bahasa saja. Ia dimiliki oleh para penggunanya, tanpa kecuali, meski tidak dimulai dari pemahaman awal atas bahasa itu sendiri. Konvensi bahasa acapkali tidak taat aturan sebagaimana EYD telah menyempurnakannya. Karena memang, geliat evolusi bahasa lebih cepat tinimbang pembakuan bahasa itu sendiri. Percis sekali dengan teori yang memang selalu datang belakangan. Dan fenomena ini, dapat dilihat salah satunya dari penggunaan bahasa di dalam ranah kuliner.

Di dalam dunia makanan atau kuliner, ada banyak sekali kata-kata yang telah menjadi konvensional atau kesepakatan bersama. Contohnya saja, ‘batagor’. Kata ini berasal dari akronim yang berarti baso-tahu-goreng. Barangkali seperti bahasa, makanan pun adakalanya “berevolusi”. Kreativitas manusialah sumbernya. Sayangnya, realitas bahasanya tidak sejalan dengan realitas kulinernya. Kita dapat mengetahui langsung manakala disebutkan kreasi dari menu yang satu ini, yaitu batagor kuah.

Kita tahu bahwa ‘gor’ dalam kata ‘batagor’ berarti goreng, namun penggunaanya dengan kata ‘kuah’ masih saja disertakan. Sangat kontras bukan? Jika saja mereka mau berkreasi tidak hanya saja pada makanan, tetapi juga pada bahasanya---(dalam dunia kuliner, dikenal adanya inovasi dan kreasi. Inovasi adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan nama dari sebuah menu kuliner baru. Sedang, kreasi digunakan untuk menu yang berasal dari hasil modifikasi sebuah kuliner. Contohnya, ya, batagor-kuah ini), barangkali kita akan mendapatkan banyak variasi bahasa kuliner, semisal ‘bataku‘ atau ‘batakah’ untuk menyebut menu yang terbuat dari baso-tahu-kuah. Meski, memang asing terdengarnya. Tapi, meski begitu, bahasanya tidak lantas menjadi kontras. Lagi pula, dalam penciptaan bahasa baru, tidak ada siapapun yang bisa melarang kemunculannya.   

Beberapa kata –selain akronim—juga muncul ‘bubur ayam’ dan ‘bubur kacang’. Penulis pernah juga merasa tersadarkan dengan kata ini. Suatu hari di saat tengah menikmati ‘bubur kacang’, seorang bapak berumur sekira 40 tahun memesan bubur ayam. Tetapi ketika memesan, dia berkata bubur sangu (nasi). Terasa geli dan aneh memang jika didengar, namun jika dipikir-pikir ada benarnya juga. Apabila ‘bubur kacang’ terbuat dari kacang hijau, maka sudah sepantasnya bubur yang dibuat dari nasi disebut bubur nasi, bukan bubur ayam. Mengingat, ayam hanya salah satu komponen menu yang sebagian besar didominasi oleh nasi atau beras.

Kuliner lain yang sebutannya seperti tidak terlalu dipertimbangkan adalah ‘cuanki’ (baca: cuangki). Penulis sempat bertanya kepada salah seorang pedagangnya, dari mana cuanki itu berasal? Pedagang itu hanya senyum dan berkata bahwa itu adalah makanan dari Cina. Entah benar atau tidak. Tapi penulis sendiri mengira jika kata ‘cuanki’ itu adalah akronim yang berarti cari-uang-jalan-kaki. Pedagang itu pun hanya bisa tersenyum, seolah membenarkan.

Sebenarnya, banyak sekali kuliner yang dengan namanya masing-masing, memiliki kata-kata yang tidak tepat baik itu berupa panggilan atau hanya sebatas akronim. Namun seperti sebuah konvensi bahwa, yang disebutkan itu sesuai dengan makanannya dan bukan dilandaskan pada ketepatan bahasa atau kelogisan asal usulnya.

Mungkin ada baiknya negara ini memiliki semacam lembaga konsultasi bahasa agar para pengguna yang membutuhkannya bisa mendapatkan saran atau masukan yang tepat dalam penggunaan bahasanya. Dan kiranya hal ini juga berlaku untuk insistusi, apalagi yang memang bergerak di bidang pendidikan dimana intelektualitas menjadi alat ukur kemapanan berbahasanya. Hingga tak ada lagi kesalahan berbahasa dengan menyebutkan kata ‘universal’ namun menyandingkan kata ‘pendidikan’ di depannya. (Firman Nugraha/"Saswaloka")

 


Cara Mengutip:
Nugraha,  Firman.  (2011).  Bahasa Kuliner.  Dalam Saswaloka.  Diambil  <sesuaikan tgl, 
       bln,thn,> dari http://upacarausia.blogspot.com/2011/10/bahasa-kuliner.html

No comments:

Post a Comment