Tuesday, October 18, 2011

Suatu Malam Di St. John (1)

Oleh: Nikolai Gogol

[Diambil dari salah satu cerita dalam antologi "Tales at a Farmhouse near Dikanka."]
(Berhubungan dengan Koster Gereja Dikanka)
THOMA GRIGOROVITCH memiliki semacam perilaku yang cukup aneh: sampai pada hari kematiannya ia tidak pernah suka mengatakan hal yang sama dua kali. Ada suatu waktu ketika, jika Anda memintanya untuk bercerita sekali lagi, perhatikanlah, ia akan menambahkannya dengan sesuatu yang baru, atau bahkan mengubahnya sampai-sampai mustahil untuk bisa mengenali cerita itu.
Suatu hari, salah seorang dari mereka (sangat sulit bagi orang sederhana seperti kami memberi nama pada mereka, untuk mengatakan bahwa tulisan nama mereka itu bagus atau tidak; akan tetapi itu sama saja seperti halnya seorang lintah darat di pameran tahunan; mereka menggenggam dan mengemis dan mencuri baju pajangan, dan mengeluarkan sedikit terbitan yang berarti, yang tak lebih tebal ketimbang buku ABC, setiap bulan, atau bahkan setiap minggu,) –salah satu dari mereka memancing cerita yang sama dari Thoma Grogorovitch, dan ia benar-benar lupa tentang cerita itu.
Tapi seorang muda yang sama dengan jubah berwarna hijau kacang polong, seperti yang tadi saya sebut, dan yang kisahnya telah Anda baca, mungkin, datang dari Poltava membawa buku kecil dan membuka halaman tengahnya lantas memperlihatkannya pada kami. Thoma Grigorovitch baru saja akan mengenakan kacamatanya di atas hidungnya. Tapi ingat bahwa ia telah lupa memasang pengikatnya, hingga akhirnya menempelkan dua bilah kacanya dengan lilin, lalu ia menyerahkannya pada saya. Karena saya mengerti soal baca-tulis, dan tidak mengenakan kacamata, saya pun mulai membaca. Saya tidak mengulang apa yang saya baca, ketika tiba-tiba ia menahan dan menghentikan saya.
“Berhenti! Ceritakan dulu apa yang kamu baca.”
Saya mengaku bingung dengan pertanyaan itu.
“Apa? Apa yang saya baca, Thoma Grigorovitch? Ini kan bukumu.”
“Siapa yang bilang itu buku saya?”
“Oh, apa lagi yang kamu tahu? Di sini tertulis: BERHUBUNGAN DENGAN SEORANG KOSTER.
 “Ludahi kepala orang yang menulis itu! Ia berbohong, dasar anjing penjual Moskow! Apakah saya bilang begitu? ‘ITU SAMA SAJA DENGAN PIKIRAN BAHWA IA TIDAK PUNYA PIKIRAN APAPUN TENTANGNYA. Dengar. Saya akan menceritakan padamu sesuatu.”
Kami berpindah ke meja dan memulainya.
* * * *
Kakek saya (semoga surga menaunginya! Mungkin ia yang hanya makan roti gandum dan makovniki dengan madu di lain dunia!) bisa menceritakannya dengan baik. Ketika ia mulai bercerita, kamu tidak ribut kecuali mendengarkanya dengan baik. Ia adalah tukang cerita yang tak ada bandingannya sekarang ini. Ketika ia mulai berbohong, ia seperti tidak makan selama tiga hari. Maka dari itu kamu akan merenggut topimu dan keluar rumah. Sebagaimana yang saya ingat, saat itu ibu masih hidup, di malam musim dingin yang panjang ketika beku es pecah di pintu, karena itu kaca jendela ditutup dengan sangat rapat. Ia biasa duduk sebelum sisiran, mengambil benang panjang di tangannya, mengayunkan buaian dengan kakinya, dan bernyanyi gumam, yang sampai sekarang masih bisa saya dengar.  
Lampu besar yang bergetar dan menyala seperti tengah ketakutan, menerangi kami di pondok; katupnya bergumam; dan semua anak-anak kami yang tengah berkumpul, mendengarkan cerita Kakeknya yang tak lagi bisa berjalan menuju tungku selama lima tahun menerima usianya yang renta.     
Tapi cerita menakjubkan sepert halnya Zaporozhian Kosak, Galah, Si Pemberani Podkova, atau Poltor-Kozukh dan Sagaidatchnii, tidak semenarik cerita tua tentang keberanian yang selalu menggetarkan pikiran kami, sampai-sampai bulu tengkuk pun berdiri. Kadang-kadang terror semacam itu seakan-akan menguasai diri kami, yang semenjak malam itu, betapa surga tahu bagaimana keajaiban itu tampak bagi kami. Jika kamu berkesempatan untuk keluar pondok untuk melakukan sesuatu setelah malam tiba, bayangkanlah seorang tamu dari dunia lain sudah berbaring tidur di ranjangmu; dan saya seharusnya tak bisa menceritakannya lagi untuk kedua kali jika saja saya tidak sering merokok, dalam jangka waktu yang dekat, sebagaimana cerita itu berbaring di kepala-kasurku, ibarat Iblis bergulung dalam bola! Tapi hal utama dari cerita Kakek adalah, bahwa ia tidak pernah berbohong selama hidupnya; dan apa yang dikatakan, itulah yang ia katakan.
Sekarang akan saya ceritakan salah satu kisahnya yang luar biasa. Saya tahu bahwa ada banyak sekali orang bijak di lapangan kota yang meniru dan mampu membaca surat-surat perdata, yang, jika saja kau memberinya buku doa-doa sederhana, tidak akan bisa menceritakan satu huruf pun di dalamnya, malah akan memperlihatkan giginya sebagai olok-olok –dan itu bijaksana. Orang-orang ini akan tertawa untuk apapun yang kauceritakan. Ketidakpercayaan semacam itu sudah menyebar di seluruh dunia! Lalu bagaimana?
(Oh, semoga Tuhan dan Bunda Maria berhenti mencintai saya meski bukan tak mungkin jika kamu pun tidak percaya dengan saya!) Suatu hari ia berkata sesuatu tentang para penyihir; …. Bagaimana selanjutnya? Kira-kira ada datang salah seorang keras kepala yang tidak percaya dengan penyihir! Ya, puji Tuhan karena aku sudah hidup lama di dunia ini! Saya sudah pernah melihat orang bid’ah, yang padanya akan lebih mudah untuk mengakui kebohongan ketimbang kepada sanak saudara kita untuk merokok, dan kepada orang-orang yang menolak keberadaa tukang sihir itu! Tetapi, biarkan saja mereka membayangkan tentang sesuatu, karena tidak akan bisa berkata apa itu sesungguhnya! Tak ada gunanya membicarakan mereka!
* * * *
Suatu Malam di St. John
Tak ada satu orang pun yang mengenali desa kami ini selama hampir ratusan tahun yang lalu: sebuah desa kecil. Desa kecil yang miskin. Separuh jumlah burung bangau yang menyedihkan, sempoyongan dan sekarat, berserakan di sana-sini di tanah lapang. Tidak ada bangsal yang layak di sekitarnya untuk menaungi binatang-bintang atau kereta kuda. Itulah cara bagaimana orang kaya hidup; dan jika kamu melihat saudara kami yang miskin, oh, sebuah lubang di tanah, maka di situlah kamarmu! Hanya dengan asap kamu bisa tahu bahwa ada ciptaan Tuhan hidup di sana.
Mungkin kau bertanya mengapa mereka hidup seperti itu? Hal Itu sebenarnya bukan semata-mata karena kemelaratan; hampir semua orang dalam kehidupan Kosak mengembara dan berkumpul di tanah yang asing dengan barang jarahan yang tidak sedikit; hal itu lebih diakibatkan tak ada alasan untuk membangun khata (rumah kayu) yang layak. Berapa banyak orang yang mengembara di seluruh kota –orang-orang Krimean, Poles, Lithuania! Sangatlah mungkin jika mereka yang merupakan rakyat suatu bangsa, punya keturunan, dan menjarah apa saja. Semua bisa terjadi.
Di desa kecil ini seorang pria, atau lebih tepatnya setan berwujud manusia, seringkali terlihat. Tidak ada yang tahu mengapa dan kapan dia datang. Sambil mabuk dia berkeliling dan tiba-tiba saja hilang seperti udara. Tak ada satu jejak pun mengenai keberadaannya. Lalu, perhatikan, tampaknya dia seperti jatuh dari langit dan terbang di jalan-jalan desa yang tak sampai seratus langkah dari Dikanka. Tidak ada jejaknya tertinggal sekarang. Lantas dia akan mengumpulkan orang-orang Kosak yang ia pernah temui, lalu ada nyanyian, tertawaan, uang yang melimpah, dan vodka yang mengalir seperti air di sana….
Dia akan memanggil wanita-wanita cantik dan memberi mereka pita, anting-anting, kalung manik-manik—mereka lebih tahu apa yang harus dilakukan dengannya. Memang benar jika wanita-wanita cantik itu ragu menerima pemberiannya. Tuhan Maha Tahu, barangkali sebelumnya mereka pernah berbuat dosa. Bibi kakek saya yang bernama Basavriuk, yang kala itu punya kedai minuman dan sering berpesta sampai mabuk (sebagaimana orang-orang memanggilnya manusia bejat), berkata bahwa tak ada alasan apa pun yang bisa membujuk mereka untuk menerima hadiah darinya. Lantas, katanya, bagaimana cara untuk menolaknya?
Ketakutan menjalari setiap orang ketika dia mengerutkan keningnya, dan melirik dengan pandangan yang bisa membuatmu ingin menendangnya, Tuhan tahu ke mana arah pembicaraanya. Tapi jika kamu mempercayainya, maka malam selanjutnya setan rawa, dengan tanduk di kepalanya, akan datang memanggil dan mulai mencekik lehermu, jika ada kalung manik-manik di sana. Atau menggigit jarimu jika ada cincinya; atau menjambak rambutmu jika ada jalinan pitanya. Tapi Tuhan Maha Pengampun pada mereka yang memiliki hadiah itu! Tapi ini yang sulit: hampir tak mungkin untuk menyingkirkannya. Karena jika kau membuangnya ke sungai, cincin atau kalung yang kejam itu akan menguliti leher dan tanganmu.   
Ada sebuah gereja di desa St. Pentelei, jika saya ingat pastinya. Di sana hidup seorang pendeta, almarhum Bapak Athanasii. Mengamati bahwa Basavriuk tidak datang ke gereja, bahkan pada Hari Raya Paskah, dia memutuskan untuk memarahinya dan menjatuhkan penebusan dosa padanya. Dan, dia tidak bisa menghindarinya. “Dengar olemu, Tuan!” jawabnya, “belajarlah mengurus urusanmu sendiri ketimbang ikut campur urusan orang lain, jika kau tak mau leher kambingmu itu sama-sama terendam di rebusan kutya.” Apa yang harus dilakukan dengan orang yang tidak kenal sesal itu? Bapak Athanasii puas dengan mengumumkan bahwa siapa pun yang berteman dengan Basavriuk, maka akan dinyatakan sebagai seorang Katolik, musuh gereja Kristen, dan bukan anggota rasa manusia.
Di desa ini ada seorang Kosak bernama Korzh, yang memiliki pegawai yang orang-orang sebut Peter Si Yatim –mungkin karena tidak ada yang ingat siapa bapak atau ibunya.  Penasehat Gereja sungguh berkata bahwa mereka telah meninggal karena wabah di tahun kedua. Tapi Bibi Kakekku itu tidak mau mendengarnya, malah berusaha dengan segala kekuatannya untuk memberinya orang tua. Walaupun, Si Peter yang malang membutuhkannya sebagaimana halnya kami, di musim dingin tahun lalu. Dia berkata jika ayahnya ada di Zaporozhe, menjadi tawanan Turki, mengalami siksaan yang hanya Tuhan yang tahu, dan, dengan keajaiban, menyamar sebagai seorang kasim dan berhasil meloloskan diri.
Masa mudanya tidak keurus dan orang tuanya hanyalah pelayan. Mereka terus berkata bahwa jika saja dia punya mantel baru, sabuk merah, topi hitam berbulu domba, dengan hiasan mahkota biru di kepalanya, sebuah pedang Turki di selempang tubuhnya, pecut di salah satu tangan dan sebuah pipa rokok dengan alat bantu yang menawan di tangan yang lain, pastinya dia akan mengungguli semua anak muda. Tapi yang disayangkan adalah, satu-satunya yang Peter punya hanyalah svitka abu-abu dengan banyak lubang dan tak ada di dalam saku Yahudinya itu tiga keping emas.
Bukan hanya itu saja yang lebih buruk, tapi ini: Korzh memiliki seorang anak perempuan, sungguh sangat cantik sampai-sampai kamu tidak punya kesempatan untuk melihatnya. Almarhumah Bibi Kakek biasa berkata –kamu tahu bahwa lebih mudah untuk seorang wanita untuk mencium Iblis ketimbang memanggil seorang wanita cantik, tanpa rasa dengki tentunya—bahwa perempuan pelayan Kosak ini gemuk dan segar seperti bunga candu merah jambu yang baru saja mandi dengan embun Tuhan. Dia bersinar, merekah daun bunganya, dan bermain mata dengan matahari terbit.
Karena  kejengkelan dan kolotnya, alisnya seperti kawat hitam seperti yang dibeli para pelayan sekarang-sekarang ini dari pedagang Moskow yang mengunjungi desa dengan keranjang, dan bahkan melengkung seperti mengintip ke dalam matanya. Sedang mulut kecilnya, sekilas bibirnya bagai tertonjok anak muda, tampak mendendangkan lagu nina bobo. Rambutnya hitam bak sayap burung gagak, dan lembut seperti linen (pelayan kita bagaimanapun tidak pernah menjalin rambutnya di klab kecantikan, berpitakan warna cerah) keriting sampai kuntush-nya. Hah! Semoga aku tidak pernah melagukan haleluyah dalam paduan suara, jika aku tidak menciumnya, kecuali uban yang membuatnya begitu melewati wol tua yang menutupi piringku, dan wanita tua di sampingku, seperti duri dalam tubuhku. Well, kau tahu apa yang terjadi ketika anak muda dan dan pelayan hidup berdampingan.
Di senjakala, sepatu bot merah bertumit tidak pernah terlihat di tempat dimana Pidorka ngobrol dengan Petrus. Tapi Korzh tidak akan pernah menyangka apapun selain itu, hanya suatu hari –ini adalah bukti bahwa tidak ada siapa pun kecuali Iblis dapat memengaruhinya –Petrus membawa Iblis itu untuk mencium bibir merah pelayan dengan sepenuh hatinya, tanpa terlebih dulu mengenalnya dengan baik; dan Iblis yang sama –semoga anak anjing memimpikan salib suci!—mengakibatkan Si Janggut Tua seperti orang bodoh ketika membuka pintu pondok pada saat yang sama. Korzh membatu, menjatuhkan rahangnya, dan berpegangan pada pintu yang menopangnya. Ciuman tak mujur itu telah benar-benar membuatnya pingsan. Hal itu membuatnya lebih terkejut daripada pukulan sebuah alat penumbuk di dinding, yang dengannya, di masa sekarang, musik pada umumnya telah kehilangan racunnya karena ketiadaan fusi dan hakikatnya.
Seraya membenahi diri, dia ambil pecut berburu kakeknya di dindng. Dan baru akan mencambuk punggung Peter dengannya, ketika adik Pidroka berumur enam tahun Ivas menyerang dari arah entah lantas mencengkeram kaki ayahnya dengan tangan kecilnya, berteriak “Ayah, ayah! Jagan pukul Petrus!” Apa yang harus dilakukan? Hati ayahnya tidaklah terbuat dari batu. Setelah menggantung pecutnya kembali di dinding, dia berjalan ke rumah perlahan. “Jika kau berani memperlihatkan diri lagi di pondokku, atau bahkan di bawah jendela, hati-hati Petro! Demi Surga, kumis hitammu akan hilang; dan rambut hitammu, walau telingamu harus terluka dua kali, akan hilang dari kepalamu. Jika tidak, namaku bukan Terentiy Korzh.” Begitu katanya, seraya memberinya sedikit pukulan di tengkuk lehernya, dan bengkak sebelum hari gelap, lalu dia pun segera pergi.
Begitulah akhir ciuman mereka. Dukacita dibawa burung merpati, dan rumor pun tersebar seantero desa. Dan seorang Pole, yang penampilannya dihiasi emas, kumis, pedang, taji, dan saku bergemerincing seperti tas bel milik Koster Taras yang dengannya pergi ke gereja setiap hari, mulai sering mengunjungi rumah Korzh. Sekarang, diketahui mengapa ayahnya dikunjungi ketika di sana ada anak perempuannya yang beralis hitam. Jadi, suatu hari, Pidorka menangis sejadi-jadinya, dan memegang tangan Ivas. “Ivas, Sayang! Ivas, Adikku! Pergilah ke Petrus seperti anak panah, adikk emasku. Katakan padanya: aku akan menyintai matanya yang cokelat, aku akan mencium wajahnya yang putih, tapi jangan putuskan takdirku.
Lebih dari satu handuk telah kubasahi dengan air mataku. Aku sangat sedih, hatiku berat. Sedang ayahku sendiri adalah musuhku. Aku tidak akan menikah Si Pole itu, yang tidak pernah aku cintai. Katakan padanya bahwa mereka tengah mempersiapkan pernikahan, tapi tidak akan ada musik di pernikahan itu, melainkan rohaniawan sebagai ganti suling dan kobaz. Aku tidak akan menari dengan mempelai priaku: mereka akan membawaku keluar. Gelap, akan gelap pernikahanku, seperti kayu mapel; dan malahan seperti cerobong asap, kayu salib akan berdiri di atas atap.

(Bersambung)

Catatan:

Koster = penjaga atau orang yang bertanggung jawab atas gereja
Makovniki = biji bunga apiun yang dimasak dengan madu dan dikeringkan di atas kue
berbentuk persegi.
Pannotche = (Sir) Tuan
Kutya = hidangan dari beras atau tepung gandum dengan madu dan kismis; biasa dibawa ke gereja untuk upacara peringatan massal.
Kuntush = pakaian penutup bagian atas di negara Rusia Kecil
Kobzas = instrumen musik delapan-dawai

Diterjemahkan dari cerpen berjudul “St. John’s Eve” oleh Firman Nugraha; Subang, Oktober 2011.

No comments:

Post a Comment