Sunday, January 28, 2018

Karakter Orang Kota (Yang Katanya) Istimewa

Akhir-akhir ini aku sering memikirkan tentang karakter orang kota ini. Kota yang katanya istimewa ini. Hal itu sering aku lakukan khususnya ketika aku berada di mesjid dekat rumah setiap kali aku melaksanakan solat Magrib. Sehabis solat, sering aku bertanya, apakah karakter orang kotaku ini pada hakikatnya memang tak punya bakat untuk memiliki rasa kepedulian dan solidaritas yang erat, punya bakat untuk bekerja sama alih-alih berkata “masing-masing” saja?  
Tak hanya pengalaman hidup memperlihatkan bukti-buktinya, akan tetapi justru orang kotaku ini sendiri, tetanggaku sendiri yang berkata demikian. Dengan lantang dia berkata demikian ketika aku tengah memarahi anak-anak yang ributnya minta ampun ketika aku dan jamaah yang lain sedang melaksanakan solat Magrib. Aku marah bukan hanya anak-anak itu sudah menjadi sangat keterlaluan dengan tingkahnya dan seperti tak lagi menganggap saranku agar mereka segera masuk mesjid ketika iqomat sudah diserukan. Berulang-ulang kali sampai aku sendiri bosan jadinya. Aku marah karena tak ada jamaah lain yang “mengurus” dan mewanti-wanti anak-anak itu, tak terkecuali Ustaz bahkan RT sekalipun. Mereka punya mata dan telinga tapi seolah tak dipergunakannya, dan mengetahui kelakuan anak-anak itu mereka pun tak memedulikannya. Dengan entengnya mereka berkata jika “anak-anak memang seperti itu. Nakal, susah dikasih tahu.” Hanya itu yang mereka ucapkan, tak lebih.



Aku heran, bagaimana mungkin orang-orang bisa menerima keadaan semacam itu? Membiarkan yang sudah menjadi sangat biasa sekalipun kebiasaan itu bukan merupakan sesuatu yang bisa dibanggakan; bukan tidak mungkin keadaan itu tak ubahnya bom waktu yang disulut hingga suatu hari nanti meledak dan semua orang jadi korbannya? Mereka berbicara perubahaan dan keadaan yang lebih baik. Untuk hal kecil yang sejatinya tak bisa dianggap sepele saja mereka tak melakukan apa-apa. Tatanan masyarakat seperti inikah yang pantas dibanggakan? Aku rasa tidak.
Mendengar tetanggaku berkata “masaing-masing saja” itu, aku terkejut bukan main. Sendirian aku geleng-geleng kepala sambil bertanya dalam hati: Apakah itu artinya apa yang aku sangkakan sebelumnya itu memang benar, jika orang kota ini itu egois? Tak pedulian? Masing-masing? Tidak punya bakat kerja sama dan hal-hal egostis lainnya? Makin sering aku memikirkannya makin sering aku ingin keluar dari kota ini. Pindah ke kota lain yang masyarakatnya punya jiwa sosial yang tinggi, yang tidak egois dan “masing-masing saja” itu. Lebih jauh, aku pun berpikir untuk menjadikan masalah ini sebagai ide cerita untuk sebuah novel. Novel tentang asal muasal kota P yang orang-orangnya egois. Jika benar, entah harus mulai dari mana aku menulis.
Isu ini sebenarnya muncul pertama kali ketika aku kuliah di Bandung. Tak seperti mahasiswa kota lain yang senang ketika bertemu orang sekampung, mahasiswa asal kotaku ini tidaklah demikian. Aku ingat bagaimana aku tahu jika di kelasku ada juga mahasiswa yang berasal dari P. Saat itu, dengan impulsifnya, aku mengenalkan diri dan bertanya banyak hal padanya. Mungkin karena merasa jauh dari kampung halaman, dan mengetahui ada juga yang berasal dari kampung halaman yang sama, maka aku pun merasa cukup senang. Akan tetapi sikapku ini dihadapinya dengan biasa-biasa saja. Pada saat itulah aku mulai membaca karakter manusia kota. Ada Tasik dengan himpunan mahasiswanya. Ada Cianjur dengan forumnya. Ada Subang dengan balad-baladnya. Tapi tidak dengan kota P. Kalaupun ada, keberadaan dan kekerabatannya tak ubahnya menyeruput kopi panas. Enak di awal namun lekas hilang kemudian. Kami hanya saling tahu, tapi tidak saling kenal. Hal ini terjadi bahkan ketika kami lulus dari kampus secara masing-masing dan tanpa ada kepedulian.
Andai saja sampai itu. Tapi, kenyataan ini muncul berulang ketika aku berada di komunitas kampus hingga pada akhirnya aku lulus, merantau ke kota yang menjadi cikal bakal P (Subang) dan kembali pulang ke kampung halaman dan bekerja di salah satu sekolah berbasis pondok pesantren. Seperti ketika aku di rantau dulu, sekolah semacam ini bukan hal yang baru. Orang-orang boleh belajar dan mengajar agama di lingkungan yang agamis, akan tetapi manusia tetap saja makhuk yang tak ada bedanya. Apakah hanya karena dia lebih banyak tahu masalah agama maka artinya dia juga lebih tahu soal hidup dan kehidupan? Seorang santri bisa belajar agama siang harinya dan nyolong nasi tetangga ketika subuh harinya, atau nyolong uang temannya sendiri. Seorang ustaz bisa mengajar ilmu agama setiap harinya, tapi dia juga bisa menjadi pemimpin yang otoriter dan kolot pada bawahannya. Menghakimi mereka tanpa klarifikasi dan kebijaksanaan seenak udelnya. Semakin aku sering menyaksikan kenyataan yang bertolak belakang ini, semakin aku sakit dibuatnya. Lagi pula, sudah menjadi prinsipku untuk tidak menilai seseorang dari latar belakang agamanya. Buat apa? Manusia di mana pun sama saja kok.
Sekolah mestinya jadi tempat untuk mencerdaskan anak-anak. Akan tetapi, bagaimana mungkin itu terjadi jika para pengajar dan pimpinannya saja tidak cerdas? Alih-alih menjadi tempat mencari dan mengajarkan ilmu, sekolah-sekolah itu malah jadi tempat di mana tradisi kolot dijunjung tinggi, tempat antikritik, dan tempat mencari duit. Alih-alih untuk bisa menyamakan visi dan misi di antar semua stakeholder, tempat yang mulia ini justru harus dicederai oleh segelintir orang yang punya kepentingan pribadi. Yang dikejar, apa lagi kalau bukan pangkat dan kekayaan? Jadi, apa pantas kita masih saja percaya pada bungkus. Di P sendiri ada sekolah berbasis pondok pesantren yang terkenal seantero dunia, katanya. Tapi, apakah keterkenalan itu berbanding lurus dengan kualitas dan pelayanannya? Orang-orang tahunya cuma bungkus doang, ga tahu seperti apa dalemannya. Bagi orang yang punya idealisme dan prinsip, jangan harap bisa bertahan di tempat ini. Sejenius apa pun ide dan semulia apa pun tujuannya, orang-orang semacam ini akan dianggap tak ubahnya ancaman. Duri yang kemudian harus disingkirkan.
Berbicara masalah ini, dengan sedih aku menyayangkan, mengapa semua media, entah itu buku, novel atau film sekalipun hanya mengetengahkan yang baik-baik saja dari tempat semacam ini? Sedikit yang orang tahu bahwa ada juga sisi gelap dari tempat dan kehidupan yang terjadi di tempat ini. Sayangnya, tidak ada satu orang pun yang mengeksposnya. Kalau pun ada, mungkin orang-orang takkan percaya. Bagaimana tidak? Mereka lebih terlanjur percaya dengan apa yang mereka saksikan lewat buku, novel dan film itu di awal-awal waktu. Lingkungan sekolah berbasis pondok pesantren memang lingkungan komunitas. Sekiranya ada aib, maka hanya orang-orang di lingkungan itu saja yang tahu. Orang tua yang anaknya mencari ilmu di tempat ini pun takkan percaya. Bagaimana bisa, mereka sudah lebih dulu didoktrin seperti itu kok. Doktrin hitam dan putih yang sulit dicuci oleh detergen semahal dan sebagus apa pun. Mereka takkan pernah percaya jika anaknya mengaji sore hari dan merokok di dalam atap sekolah pada malam harinya. Sekali lagi, takkan percaya! Mengapa, karena sejak dari awal pikiran mereka berkata jika pondok pesantern adalah tempat mencari ilmu agama karenanya tempat ini adalah tempat di mana segala kebaikan berada. Jadi, kalau sandal anaknya hilang setiap hari, mereka hanya bisa berkata “anggap saja sedekah”, dan kalau anaknya distrap di lapang sekolah dengan dada telanjang akibat perbuatanya mengintip santriwati di malam hari seraya mengendap-endap, mereka hanya akan berkata “ini adalah ujian”. Pertanyaannya, ini sabar atau pasrah?
Di luar sana, berita tentang anak yang “disentil” oleh seorang guru bisa sangat viral dan jadi isu besar. Tapi di sekolah berbasis pondok pesantren ini, anak-anak direndam di kolam ikan semalaman, atau dihantam dengan rotan, satu pun berita tak ada. Semua adem ayem saja. Karena, sekali lagi, aib apa pun yang terjadi, ya hanya komunitas ini saja yang tahu!
Tapi itu adalah cerita lalu. Cerita yang ada sekarang adalah cerita di mana, bahkan sekalipun aku sudah berada di instansi pemerintahan, sikap “masing-masing” ini masih saja tampak dan seolah takkan pernah bisa hilang. Masing-masing orang punya masing-masing kepentingan. Masing-masing bidang juga tak jauh beda. Nama bidang atau nama instansi tak lebih dari sekadar tempelan. Kami apel tiap Senin pagi lantas mengerjakan kegiatannya sendiri-sendiri. Setiap orang merasa tak perlu ikut campur dan tak harus ikut kegiatan apa pun jika dirinya tidak terlibat dan dilibatkan, sekalipun berada di bidang yang sama. Melihat kenyataan ini, aku jadi teringat dengan kata-kata tetanggaku, dan aku pikir benar kata dia. “Masing-masing saja!”
Sebenarnya aku bukan tipe orang semacam itu yang egois dan semau gue, apa lagi urusan organisasi. Bukan karena aku memang dididik cara berorganisasi sampai-sampai harus menjadi ketua bidang kaderisasi dan litbang segala di kampus dulu. Akan tetapi karena aku tahu jika kebaikan yang tidak terorganisir akan hancur dengan kejahatan yang terorganisir. Hanya itu. Sederhana saja. Artinya, tak boleh ada kata “aku” dalam sebuah organisasi, termasuk dalam kegiatan yang dilakukannya. Jika tidak, ya ancur minah. Aku tahu jika keegoisan hanya akan memunculkan ketidakpedulian. Dan ketidakpedulian, sekali lagi, ketidakpedulian adalah sumber kehancuran. Ya, ketidakpedulian, dan bukannya kebodohan! Pasalanya adalah, bagaimana jika hanya kau seorang saja yang peduli, yang sibuk mengerjakan ini-itu di organisasi ini sementara yang lain merasa tak punya kepentingan karena tak terlibat, tak dilibatkan, atau lebih parah, tak mau melibatkan diri sekalipun itu adalah tanggung jawabnya? Bagaimana jika seperti itu? Haruskah kau merasa tak peduli dengan semua itu dan terus saja melaksanakan apa yang menurut kau benar dengan menyibukan diri, sekalipun orang-orang sebenarnya hanya memanfaatkan saja dirimu? Aku pikir, entah kau berpikir untuk menjadi superhero atau memang ikhlas dari dalam hati. Tapi jika kau seperti itu saja, maka dengan tanpa sadar kau telah membuat orang malas bertambah malas. Orang yang tidak peduli bertambah tidak peduli. Kenapa? Karena kan ada kau! Kau adalah superhero mereka, orang yang rajin dan bisa diandalkan sampai-sampai mereka sendiri tak perlu kerja, karena semuanya sudah ditangani oleh engkau. Begitu. Paham maksudku?
Nah, jadi kalau pun aku harus menjadi tidak peduli, atau seperti yang disebutkan tetanggaku dengan “masing-masing saja” itu, itu bukan karena aku memang menginginkannya, melainkan aku dipaksa untuk menjadi tidak peduli karena keadaan memang menuntutku seperti itu sekalipun aku tak pernah mau apa lagi menginginkannya. Aku, sekali lagi, bukan orang yang tidak pedulian atau egois dan cukup dengan kata “masing-masing” saja itu. Tidak! Sebaliknya, aku adalah orang yang senang bekerja sama dengan siapa pun. Bekerja dan bersama-sama untuk aktivitas apa pun. Permasalahannya, manakala egois, tidak pedulian dan “masing-masing saja” itu sudah menjadi sangat mengakar sebagai karakter, tradisi bahkan budaya sebuah masyarakat, kau bisa apa? Memaksakan diri? Itu mati konyol namanya? Menjadi egois dan tidak peduli? Itu artinya kau tak jauh beda dengan mereka. Bukan salahmu! Kenyataannya, keadaan memang memaksamu demikian. Dari dulu aku bilang jika budaya itu ada kalanya nonsense, aneh, ga masuk akal. Dan mungkin ini adalah salah satunya.
Jadi, cukuplah kau bilang jika orang kota ini memang egois, tidak-pedulian dan, ini yang menarik , “masing-masing saja”. Tak perlu kau tambah dengan pertanyaan: “Apakah orang P itu pemalas?” Untuk yang satu itu, aku tidak ingin bicara. Cukup pabrik-pabrik yang dipenuhi karyawan dari luar kota ini yang jadi jawabannya. Sejak kecil aku sudah menyaksikannya sendiri. Tapi kalau kau memang tak percaya, lihat, rasakan dan buktikan saja sendiri. Ya, berdoa saja semoga tak ada orang semacam tetanggaku itu yang berkata begitu, juga untuk masalahmu yang satu ini. Semoga.[fa]

19.01.2018 – Rumahduka

No comments:

Post a Comment