Thursday, November 24, 2011

Berbicara Imajinasi

SERINGKALI apa yang saya bayangkan atau imajinasikan justru tak pernah menjadi kenyataan. Maksudnya seperti ini, ada kalanya sebuah peristiwa terjadi tidak sesuai dengan apa yang saya bayangkan sebelumnya. Misalnya saja, saya membayangkan bahwa pada suatu waktu tertentu saya akan bertemu dengan pacar saya. Kita menghabiskan waktu berlama-lama untuk ngobrol sambil bermain mengunjungi tempat-tempat keramaian. Tapi justru apa yang saya bayangkan itu tak pernah terjadi. Walhasil, saya memang tak bertemu dengannya, apalagi jika harus berbincang-bincang dan bermain bersama dengannya. Nah, itu yang saya maksudkan.

Peribahasa berkata bahwa apa yang kita inginkan tak selamanya menjadi kenyataan. Atau mungkin dalam konteks yang berbeda, bahwa terkadang apa yang kita anggap baik justru tidak baik buat kita dan sebaliknya. Dalam hal ini, dengan tetap mengambil contoh di atas, saya bisa berpendapat itu baik, tapi juga ada kemungkinan itu tidak baik. Yang pasti, hanya setelah peristiwa itu terlewati saja saya dapat berkata bahwa: “Oh, ternyata itu tidak baik untuk saya.” Dan, baru sesudahnya saya bisa berkata: “Mengapa apa yang saya bayangkan dan harapkan bisa terjadi, justru tidak kesampaian?” atau: “Ternyata, apa yang saya bayangkan tidak bisa terlaksana.” Akhirnya, semua jatuh pada satu pernyataan: “Ya, sudahlah.”

Apa yang hendak saya sampaikan bahwa, ternyata ada dua imajinasi atau bayangan itu tadi, yang memang sudah sepatutnya dipisahkan. Pertama adalah, imajinasi realitas, seperti contoh di atas. Kedua adalah, imajinasi yang seyogiyanya saya gunakan hanya pada wilayah penciptaan kreatif (puisi, prosa, novel, drama, dsj) yang kemudian saya beri nama imajinasi kreatif.

Dalam imajinasi realitas, saya bukanlah penguasa penuh karena dalam masalah ini saya tidak sedang menduduki posisi sebagai Tuhan. Berbeda halnya dengan imajinasi kreatif. Di sini, kita bebas memikirkan apa saja, membayangkan apa saja entah itu sebuah gambar, cerita atau film di kepala kita yang pada akhirnya dapat ditumpahkan melalui kata-kata (karya sastra). Kita bisa berbuat apa saja sekehandak kita, walau tetap saja ada aturan mainnya. Karya imajinatif bukan karya yang tanpa batas tanpa mempertimbangkan norma, etika dan estetika. Sekalipun liar, ia tetap harus mempertimbangkan imajinasi itu sendiri agar tak keluar jalur. Seperti, misalnya, saya tak bisa membayangkan bagaimana caranya seorang bayi lahir dari lubang hidung ibunya (?) Selain tidak logis, tidak ada juga manfaatnya. Orang mungkin akan susah membayangkannya walau saya pribadi tidak.

Dalam imajinasi kreatif, seseorang adalah tuhan untuk karyanya, dan itu tidak berhingga. Tidaklah dapat disangka betapa penulis-penulis punya banyak sekali cerita untuk dituliskan, karena selain imajinasi tak pernah ada habisnya, hidup pun dipandangnya sebagai suatu yang kompleks di mana banyak dan banyak lagi hal yang bisa dijadikan cerita. Alam semesta telah menyediakan inspirasi buat kita dan hanya dengan kemampuan berimajinasi-kreatiflah kita bisa membedahnya dan membahasakan lewat kata-kata.

Tentunya, akan berbeda dengan imajinasi realitas yang reflektif sifatnya ketimbang imajinasi kreatif yang lebih kontemplatif. Imajinasi realitas seringkali bertumbukkan dengan kenyataan. Jelas saja, karena di sini, kita bukanlah Tuhan YME, dan sebiji zarah pun tidak bisa disamakan dengan-Nya dan tidak ada yang menyamai dan setara dengan-Nya. Kita justru menjadi salah satu “tokoh”-Nya yang harus dengan senang hati menerima segala keputusan dan kenyataan yang bisa jadi “tidak” selaras dengan apa yang kita inginkan. Peribahasa dalam Al-Qur’an di atas tadi mungkin bisa dijadikan pegangan. Kita terbiasa mengharapkan sesuatu sesuai dengan apa yang kita bayangkan. Hal ini memungkinkan untuk terjadi, atau bisa jadi tidak sama sekali. Imajinasi kita, betapapun, tidak bisa dijadikan tumpuan maupun pegangan. Begitu pun dengan apa yang kita bayangkan atau imajinasikan. Ada kalanya, kita tidak berkutik mendapati kenyataan, yang menurut kita, tidak sesuai harapan.

Dalam hidup sesungguhnya, kita hanya bisa menjalani. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa semoga yang baik itu sampai kepada kita. Maksud yang baik di sini adalah bahwa keputusan atau akhir dari sesuatu yang kita harapakan, baik yang berkenan maupun yang tidak, bisa diterima dengan lapang dada dan ikhlas. Jadi, bukan berarti yang baik itu semuanya baik untuk kita. Atau bahkan apa yang kita bayangkan itu semua dapat terjadi. Bukan! Saya yakin semua ada hikmahnya dan hanya mereka yang beruntunglah yang bisa benar-benar mengambil pelajaran darinya. Lagipula, Tuhan tidaklah memberikan apa yang kita inginkan, tetapi apa yang kita butuhkan. Terkadang kita pun masih harus di beri pil pahit kehidupan untuk membuktikan seberapa kuatkah ia menerima segala keputusan-Nya hingga benar-benar bisa membuktikan diri sebagai hamba-Nya.

Saya pribadi sering sekali mendapati bahwa apa yang saya bayangkan atau imajinasikan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada (realita). Dan, saya yakin, bahwa hal itu bukan berarti tidak memiliki maksud apa-apa. Justru, pasti ada apa-apanya. Kecewa? Tentu saja. Marah, mencaci? Bisa jadi. Tapi saya pikir sikap itu terlalu dini untuk dilakukan. Setelah sesuatu terjadi –yang tidak sesuai dengan keinginan kita itu tadi—itu bukanlah suatu yang final, finish, tamat. Tapi, pasti  ada jalan cerita selajutnya. Cerita yang menunggu bakal bagaimana akhirnya dan itu tergantung dari sejauh mana kita menyikapi dan menerima kenyataan yang terjadi dan datang ke hadapan. Bukankah kita selalu berkata: “Kalaupun tidak sekarang, pasti nanti ada waktunya,”  atau: “Kalau sekarang kehilangan, nanti pasti dapat yang lebih baik dari ini.” Itu adalah petuah, dan bagaimanapun, itu menjadi lampu kuning agar kita tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan serta sikap. Sungguh, sikap sabar adalah tanda bagi orang yang kuat dalam menghadapi setiap masalah, dan itulah yang kita butuhkan.

Saya pribadi cenderung mengatakan bahwa imajinasi relitas ini mengandung harapan dan jalan singkat. Sedangkan hidup adalah proses. Terlebih, di sini kita adalah salah satu tokoh-Nya. Semakin saya membayangkan sesuatu itu harus seperti apa, maka semakin dibuailah saya dengan harapan-harapan yang samar. Dan, itu adalah sebuah kekacauan, walau tidak bisa melebihi kekacauan yang lebih besar ketika harus menerima kenyataan yang bertolak belakang nantinya. Tapi, tidak berati bahwa kita tidak bisa mengubah keadaan yang akhirnya menimpa. Bukankah Ia takkan mengubah suatu keadaan kecuali lewat tangan kita sendiri? Perubahaan itu bukan dari cikal bakal mengkhayal hingga akhirnya yang dikhayalkan itu terjadi dengan mudahnya. Tidak! Hanya usaha yang membuktikannya. Pada hakikatnya, apa yang kita usahakan, itulah yang bakal kita dapatkan. Jikalau memang tidak didapat di sini, mungkin nanti di sana. Tidak mungkin mengharapkan balasan dari apa yang kita lakukan, semuanya harus terbayarkan di dunia, kan? Bagaimanapun, kita butuh celengan.

Yang pasti dada yang lapang dan hati yang ikhlaslah yang pada akhirnya mesti ditanamkan dalam diri kita dalam menerima yang baik yang seperti dikatakan di atas. Ya, sekalipun kita cuma tokoh di sini, tapi tokoh itu sendiri punya wewenang untuk bisa mengubah keadaannya.

Akhirnya, saya yang sempat mengalami kenyataan ini pun berkata, bahwa fiksi dan realita itu berbeda, walau antara keduanya ada hubungannya. Imajinasi kreatif itu milik kita. Kita membutuhkannya untuk berkarya, dalam bidang apa pun, tanpa terkecuali. Sedang imajinasi realitas bukan. Ia adalah hidup dan jalan hidup itu sendiri. Kita tidak diberi kemampuan untuk mengetahui jalan hidup kita akhirnya bakal seperti apa. Terlebih saya, paranormal atau peramal saja tidak tahu nasibnya sendiri. Satu yang pasti bahwa, kita masih diberi kewenangan memiliki apa yang harus dan bisa kita jalani lewat perubahan tangan sendiri. Hasilnya, kita kembalikan lagi kepada Si Pencipta Semua Hasil. [Firman Nugraha/01-2009]

No comments:

Post a Comment