Thursday, November 10, 2011

Dhandaka

Prosesi

Siapa yang berkata darah sama dengan airmata?
Ruang putih tak pernah menagih janji
selain kita sendiri yang menciptanya
Lantas upacara pun dilaksanakan
Utang-utang dibayar dengan jari dan debar
Selanjutnya perjalanan. Langkah demi langkah
diayunkan menapaki tangga-tangga kalimat
persetubuhan menuju kiblat. Seakan tak ada lagi
kewajiban menghias jejak dan telapak tangan
adalah cermin bagi setiap nama dan kata
untuk diamini. Mari kita membuat kenangan di sini
sebelum musim beranjak pergi. Jadikan keringat
sebagai testamen dan ruang sakramen. Darah tetap darah
yang harus tetap dijaga kesuciannya kecuali air mata
yang tak pantas diabadikan di atas dada penuh bulu

(2009)


Purwakarta

Ada suara guratan pena
Mulut menganga di alam raya
Ada entah ilapat Purba
Swarga Katon Bhujangga Budhi*
Antara Krawang dan Wanayasa

Aku kenalkan kau pada kotaku
Kota yang telah sentosa sejak dulu
Ditemukan lewat hutan-hutan
sungai-sungai sempit juga wangsit purba
Suriawinata, raden bijak bestari
menenteng tasbih sepanjang hari

Aku kenalkan kau pada kotaku
Kota dengan jalan panjang berliku
Udugudug nama kecilnya
Sindangkasih asal benihnya
Dan sekarang seperti Nusantara
yang tak dihafal kecuali pulau dewata
yang bendungan Jatiluhurnya selalu jaya
menghidupi banyak nyawa namun dilupa

Aku kenalkan kau pada kotaku
Kota yang bermula dari sebuah kubangan
badak mandi dari Ujung Kulon menjadi situ
Lantas terpancang di tengahnya piring terbang
hingga langit di sini tak lagi biru seraya
cerobong-cerobong asap beranak pinak
melelehkan keringat membakar tubuhku

Aku kenalkan kau pada kotaku
Kota tasbih yang selalu mengaji
Kota yang telah jadi senja, kota matahari
Kota sabar penyemai mimpi
seorang bocah yang ingin membaca puisi
tentang kasihnya kepada ibu, kepada daddy
yang tak mau membelikannya baju

(2004-2009)

*) Bahasa sanskerta untuk tahun 1931
 

Rumah Kiblat

Rumahku menghadap kiblat. Garis lurus
yang menembus menuju kalimat
Ka Ha Ya ‘Ain Shad Ha Mim ‘Ain Sin Qaf
Di pucuk waktu lagumu menggema kemana-mana
Mengisi ruang, waktu dan kepalaku
Kautundukkan angin yang berputar
Kauredakan terik yang membakar
Kaukalahkan kabar yang tersamar
Perjalanan menuju bukit pun kutunaikan
Salam demi salam adalah lambaian daun
menyejukkan setiap pintu yang terbuka
menghijaukan semua tatapan
pada alas keningku yang sempurna
Ka Ha Ya ‘Ain Shad Ha Mim ‘Ain Sin Qaf
Rumahku menghadap kiblat. Garis lurus
yang tergores di atas hayat
ke satu penjuru yang tak lagi bercagak

(2009)
 

Terra*

Wajah siapa yang kaubawa padaku
Pada waktu yang tak mau menyerah
Sedang matahari terus gelisah

Sebelum cuaca menjadi tak wajar
sempat aku berkata padamu untuk tak berganti baju
seraya tubuhmu mengelupas di atas kertas
sehingga aku harus menyalakan dupa
dan membacakan doa-doa

Tiba-tiba saja di malam yang dingin ini
Seseorang datang dengan wajah asing
Mengajakku berbicara tentang musim

Setelah langit pecah di atas sana 
Angin pun dituduhnya ‘bagai biang masalah
Hutan-hutan diwaspadai
Laut, gunung, dan mendung dianggap api
Ia anggap apa tubuhmu yang tinggal rangka
setelah tanah retak dan kata astaga jadi percuma

Baiknya kubalut saja wajahmu yang terluka
Menanam tangan mekarkan bunga
Sebelum umur tinggal kubur
dan namamu hanya kata di mulut bisu

(2009)

*) Terra = bumi
 

Pagi di Bawah Matahari

Tiba-tiba perasaan bangkit kembali setelah tergugah
oleh kaki yang berdiri di lantai suci
Benih lagi. Setelahnya senyum dibawa derak jarum
jam berlari. Rencana-rencana pun menegaskan
jadwalnya. Sebuah pemandangan penuh bunga
mengeramnya sejak lama. Begitu aku telah
mengenalnya namun tak sebentar pula
membungkamnya bersama muram, kemarau,
dan keringat tak sedap. Udara yang berputar-putar
di atas atap seakan tak mampu meraba kuasa cakrawala
Senja redup. Fajar menghantar dingin, surup
Sebuah ingatan dari tongkang dan tiang kayu
membelai memintaku menuliskan buku waktu

(2009)


Aku Yang Pulang

Akhirnya aku pun pulang ke rumahmu
Bukan karena selalu ada jamuan digelar
disambut dengan tangan dan pelukan
Tetapi agar tak ada lagi pengkhianatan
yang mesti dikiblatkan di tengah badar

Angin menyerpih. Dada kiri hilangkan serpih
kata luka. Juga kering ranting menggema
bait-bait rubayat dan nazam di mayapada
setelah singgah di depan pintu dan jendela
yang selalu terbuka melafalkan kasih

Lantas tak ada lagi air melebamkan mata
selain hati yang menangis dan jatuh
sebagai doa, pinta, dan sorga menempuh
safar pucuk salam di kilat titik cahaya

Aku benar-benar pulang ke rumahmu
Menjumpai surau menghempas racau
Menyimpan musim di langgam sepuh
agar tetap bisa mendapati engkau
menungguku dengan hati yang teduh

(2008)


Apa Lagi

Apa lagi kalau bukan cinta
Jika aku bisa menulis puisi karenamu
Hingga kata anjing dan hening
Tak lagi bisa bedakan mana malang
mana sayang mana rindu mana dendam

Selanjutnya sudut
Sehampar sajadah kurebah pasrah
menghadap pelita
Namun kuingat matahari tetap garang
seperti dirimu yang sempat bertolak pinggang
ketika kutanya soal ibumu yang
kini berayah banyak gara-gara gincu

Cinta tetap saja cinta
Tapi puisi bukan akibat justru sebab
Begitu juga mau dan tidak
Tipisnya hanya seiris garis
Aku pun loncat berkelebatkan sayap kepodang
Meluncur lewati awan-awan bersama
keok flamenco yang hinggap di bunga teratai

Tak ada kata lagi untuk Isa
setelah kuselipkan bunga malam yang
kusendiri tak tahu namanya

(2008)


Malam Suatu Puncak
                  -Febi N. Handayani

Malam ini langit tak nyala
Entah apakah bintang-bintang itu jatuh
ke tengah kota hingga benderang
seluruh sudut yang lebih indah
ketimbang senja

Dan kuingat kecupan membekas setengah doa
Meminang alam dengan hati paling lapang
di belahan benua
Lantas kubertanya, mengapa tak kita nyalakan
lilin sebelum pulang pengganti bintang?

Seperti tak kuasa
Kita pun luruh tanpa pesona
Membiarkan malam mencumbui gelap di atas atap
Menidurkan kita sebuah mimpi yang lelap
tanpa berita

(2008)


Hot Spot

Di bawah lampu aku terang sendirian
Menari Ibrahim di pangkal khayal
Meneguk hangat teh lemon nikmat
sambil menghafal jari sendiri

Di sini debu-debu bertebaran
membawa sebentuk kabar
jadi kelakar di meja dan kursi kayu

Mungkin benar jika hidup
seperti mengunjungi tempat makan
Menghibur diri dengan hidangan
Kenyang perut kepalang bukan

Maka kuhanyut di antara menu waktu
Meninggalkan sejarah angin
yang lindap di tepi kuku

Aku tahu di piring itu usiaku berkurang
Karena setiap suap adalah hutang
yang mesti dibayar
Dan pertemuan pada gelas-gelas percakapan
seperti seorang nenek meneguk teh tawar
di bawah pudar cahaya bulan

(2008)


Dimuat di Kompas.com edisi Senin, 5 Oktober 2009

No comments:

Post a Comment