Friday, November 4, 2011

Hidung (1)

Oleh: Nikolai Gogol
Pada tanggal dua puluh lima Maret sebuah peristiwa aneh terjadi di Saint Petersburg. Pagi itu, Tukang Cukur Ivan Yakovlevitch, seorang penduduk di Prosfek Voznesensky, bangun lebih awal dan mencium roti yang baru saja dipanggang. Ivan Yakovlevitch tidak lagi memiliki nama keluarga. Hingga, tak lagi tertera di papan namanya yang dengan tegas memperlihatkan potret seorang laki-laki dengan sabun di pipi dan kata-kata: "Juga, Darah Keturunan di Sini.“ Sedikit beranjak, ia merasa bahwa istrinya (seorang perempuan yang sangat terhormat dan suka sekali dengan kopi) tengah mengambil roti gulung dari oven.
"Prascovia Osipovna“ katanya, "tak apalah jika aku tak mendapat segelas kopi untuk sarapan, asalkan aku mendapat roti panas dan bawang,“ –kenyatannya, ia ingin mendapatkan keduanya. Tapi ia tahu percuma saja untuk memintanya dalam sekali waktu, sebagaimana Prascovia Osipovna tidak suka dengan muslihat seperti itu.
"Oh, Si Bodoh akan mendapatkan rotinya,“ pikir istrinya, "tentunya itu lebih baik untukku, seperti halnya aku akan mendapatkan lebih banyak lagi kopi.“
Ia pun melemparkan sebuah roti ke atas meja. 

Ivan Yakovlevitch yang dengan sangat sopan mengenakan jaket di atas kemejanya dan duduk di depan meja, menuangkan garam, mendapatkan beberapa buah bawang, mengambil pisau, menghirup udara segar, dan memotong roti gulungnya. Sekilas kemudian ia memandang bagian tengah roti. Dengan sangat terkejut ia memandang sesuatu berkelip di sana. Ia memeriksa dengan hati-hati menggunakan pisaunya, lalu mencongkel dengan jarinya.
"Sungguh sangat padat!“ ia berkata pada dirinya. "Apa ini sebenarnya?"
Ia menusuk dengan jari dan mengeluarkannya –hidung! Tangannya terjuntai di samping tubuhnya untuk beberapa saat, lantas menggisik dengan keras matanya. Ia pun memeriksa lagi benda itu. Hidung! Tentu saja hidung! Ya, dan bagaimanapun ini  adalah hal yang sangat dikenalnya. Oh, kengerian menjalari seluruh tubuhnya! Belum lagi, kengerian itu sangat sepele ketimbang harus menaklukan kemarahan sang istri.
"Dasar kejam!“ Prascovia Osipovna berteriak kebingungan.“Kapan kau memotong hidung itu? Dasar keji, kau! Dasar pemabuk! Wah, aku akan pergi dan melaporkanmu pada polisi. Dasar perampok, kau. Aku telah mendengar dari tiga orang bahwa, ketika mencukur mereka, kau menarik hidungnya sampai-sampai mereka tak tahan lagi.
Tetapi Ivan Yakovlevitch tidak merasa dirinya terancam maupun selamat. Ia sadar bahwa hidung itu tak lain dan tak bukan adalah milik Asisten Kolega Kovalev, yang dicukurnya setiap hari Rabu dan Minggu.
"Berhenti, Prascovia Osipovna. Aku akan membungkusnya dengan kain lap. Tinggalkan dulu  di sana sebentar, sesudah itu aku akan mengambilnya.“
"Dan aku tak ingin lagi mendengarnya! Seolah-olah aku akan memotong hidung dan membiarkannya tergeletak begitu saja di sekitar ruangan. Oh, dasar tua bangka. Mungkin kau hanya bisa mengasah pisau cukurmu. Tapi segera setelahnya, tak ada gunanya lagi kau dengan pekerjaanmu itu. Dasar pemalas, dasar pemboros, dasar ceroboh, dasar tolol! Ya, akan kulaporkan kau pada polisi. Ambil kalau begitu. Ambil sana. Ambil ke mana pun kau mau. Sungguh, aku tak mau lagi mencium baunya!“
Ivan Yakovlevitch pun tercengang. Ia berpikir dan terus berpikir, akan tetapi ia tidak tahu apa yang ia pikirkan.
"Iblis pasti tahu apa yang sudah terjadi,“ katanya sambil menggaruk telinganya sebelah. Kau tahu, aku tak tahu pastinya apakah aku pulang mabuk tadi malam atau tidak. Tapi pastinya hal itu terjadi seolah-olah di luar yang sebenarnya, untuk roti yang keluar dari panggangan, dan hidung yang merupakan hal lain secara bersamaan. Oh, entah bagaimana semua ini bisa sampai terjadi.“
Maka ia pun duduk terdiam. Dalam pikirannya ia merasa sangat takut jika polisi menemukan hidung itu di tempat kerjanya dan menangkapnya. Ya, ia bahkan dapat melihat kerah merah dengan balutan perak yang tajam –pedang! Seluruh tubuhnya gemetar.
Tapi akhirnya ia keluar, mengenakan mantel dan sepatu, membungkus hidung dengan kain lap, dan berangkat di tengah-tengah makian keras Prascovia Osipovna.
Satu-satunya ide adalah membuang hidung itu, dan kembali ke rumahnya dengan tenang –untuk melakukannya, entah, mungkin dengan membuang hidung itu ke selokan di depan gerbang atau mungkin dengan menjatuhkannya sembarangan. Sayangnya, ia terus bertemu dengan teman-temanya yang terus bertanya padanya: "Mau pergi ke mana?“ atau "Siapa yang bakal kaucukur pagi-pagi begini?“ sampai-sampai menemukan waktu yang tepat pun menjadi sangat mustahil.
Sekali waktu, ia sebenarnya telah berhasil menjatuhkannya, tapi secepat itu pula ia tak melakukannya ketika seorang polisi menunjuknya dengan pentungan sambil berteriak: "Ambil lagi!“ Kau telah kehilangan sesuatu,“ dan terpaksa ia harus mengambil lagi hidung itu dan memasukannya ke dalam saku. Sementara, keputus-asaannya bertambah sebanding dengan bertambah banyaknya pojok-pojok tempat dan toko-toko yang buka untuk berbisnis, dan banyak dan banyak lagi orang bermunculan di jalanan.
Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke jembatan Isaakievsky dan membuangnya ke sungai Neva, jika memungkinkan. Akan tetapi saya akui kesalahan saya untuk tidak berbicara lagi soal Ivan Yakovlevitch, seseorang yang patut dihargai dan dihormati dari pada yang lainnya.
Seperti halnya setiap pedagang Rusia yang baik, Ivan Yakovlevitch adalah seorang pemabuk yang buruk. Setiap hari ia mencukur dagu orang-orang, tetapi dagunya sendiri tidak pernah dicukurnya, dan jaketnya belang (ia tidak penah mengenakan jas luar) –hitam, padat bertabur warna keabu-abuan, bernoda kecoklat-kuning-kuningan—dan berkilauan di kerahnya, serta dihiasi dengan tiga tumpukan benang dan bukannya kancing. Tapi, dengan itu, Ivan Yakovlevitch adalah seorang sinis yang hebat. Kapanpun Asesor Kolega Kovalev tengah dicukur dan berkata padanya, sesuai kebiasaannya: "Ivan Yakovlevitch, tanganmu itu bau!“ ia akan menjawab: "tapi mengapa harus bau?“ Dan ketika Assesor Kolega sudah menjawab: "Sungguh aku tidak tahu, saudaraku, tapi tanganmu memang bau,“ ia mencium, serta menyabuni pipi Assesor Kolega, dan di bawah hidung, dan di balik telinga, dan di sekitar dagu menurut keinginan dan kesenangannya.
Dan seorang warga yang baik pun telah berdiri di jembatan Isaakievsky, lantas memperhatikan dirinya. Kemudian, sambil bersandar ke dinding, ia berpura-pura melihat apakah ada ikan melintas di bawah. Lalu, dengan sangat hati-hati ia membuang hidung itu.
Sekali waktu beban berat itu terasa telah terangkat dari pundaknya. Bahkan sebenarnya ia tersenyum! Meski begitu, bukannya pergi untuk terus mencukur pipi chinovniki (birokrat Rusia), ia berubah pikiran untuk membuat kegiatan berjudul "Makanan dan Teh,“ yang barangkali akan ia dapati segelas punch di sana.
Tiba-tiba ia melihat seorang polisi berdiri di ujung jembatan, seorang polisi dengan penampilan yang tampan dengan jambang yang panjang, mengenakan topi bersudut-tiga, dan lengkap dengan sebuah pedang. Tidak, Ivan Yakovlevitch bisa saja pingsan! Lalu polisi itu, dengan isyarat jarinya, berteriak:
"Tidak, ya, Tuan. Kemari!“
Ivan Yakovlevitch, yang mengetahui kesopanannya, membuka topinya dari jarak yang cukup jauh dan dengan lekas ia berkata:
"Saya harap yang mulia Paduka sehat-sehat saja.“
"Tidak, tidak. Bukan 'yang mulia Paduka‘ itu saudaraku. Mari sini dan katakan apa yang telah kaulakukan di jembatan itu?“
"Demi Tuhan, Tuan, saya hanya menyeberang dalam perjalanan menuju beberapa langganan ketika saya menengok apakah ada ikan melompat di sana."
"Kau berbohong, saudaraku!“ Kau bohong! Kau tak bisa mengelak seperti itu. Berbuat baiklah seraya menjawab pertanyaanku dengan jujur.“
"Oh, dua kali seminggu ke depan, aku akan mencukur Anda dengan percuma. Ya, bahkan tiga kali seminggu jika perlu.“
"Tidak, tidak, kawan. Itu omong kosong. Aku baru saja mendapatkan tiga tukang cukur untuk itu dan kesemuanya meminta dengan hormat. Sekarang, katakanlah, aku tanya sekali lagi, apa yang baru saja kaulakukan?“
Hal itu membuat Ivan yakovlevitch pucat, dan....
Peristiwa selanjutnya pun terselimut kabut. Apa yang selanjutnya akan terjadi sungguh tidak diketahui oleh siap pun.
(To be continued....) 

Translated by Firman Nugraha & Edited by Dede Elin, from the story entitled Nose (1836); Photo by Bastian Schreck; Modified by Kesa Garisan.

1 comment:

  1. Satire hebat!! Masih terasa rasa keheranan dan keingintahuan akan "Hidung" itu sampai sekarang. Membayangkan bagaimana seseorang bisa tanpa hidung dan bagaimana itu bisa terlepas, sungguh suatu yang menggugah pikiran.(Dede Elin)

    ReplyDelete