Thursday, January 10, 2013

Konferensi Kerbau

Tak lama setelah mendengar berita jika manusia hendak menjadi kerbau, keluarga kerbau pun kelimpungan. Bukan tak mungkin kerbau akan menjadi banyak; tapi, bagaimana dengan kerbau sendiri? Masihkah mereka tetap menjadi kerbau, atau harus menjadi apa?

Sebenarnya berita itu sudah jauh-jauh hari mereka dengar, walau hanya sebatas gosip-gosip tetangga. Tapi jika kenyataannya manusia benar-benar ingin menjadi kerbau, malah ingin mendeklarasikannya segala, ini bukan main-main namanya. Keluarga kerbau bisa jadi kehilangan pekerjaannya karena terlalu banyak saingan.

Lahan pekerjaan bisa jadi bekurang. Sawah tempat biasa kerbau bekerja bisa penuh, pedati yang biasa ditarik pun bisa jadi lahan rebutan antar sesama kerbau. Keluarga kerbau yang biasa mengerjakan pekerjaan ini bukan tak mungkin jadi pengangguran. Kerbau pengangguran. Dan itu tidak mungkin, tidak baik dan tidak sehat.

Tanpa pikir panjang, keluarga kerbau pun mengadakan pertemuan, semacam konferensi yang diikuti keluarga kerbau dari seluruh dunia.

Seekor kerbau yang kebetulan sudah tua, tak hanya umur tapi juga pengalamannya, membuka konferensi itu.

“Sebelumnya, saya, mewakili kaum kerbau yang ada di sini, mengucapkan banyak terima kasih atas kehadiran Anda semua. Sengaja konferensi ini diadakan di Andalas mengingat selain kaum kita ini adalah asli dari negeri ini, jumlahnya pun lebih banyak ketimbang di negeri-negeri lain. Akan tetapi, tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan, saya haturkan selamat datang dan terima kasih untuk keluarga kerbau yang sudah jauh-jauh datang baik dari Filipina, India, bahkan dari negeri Paman Sam sana, Amerika.”

Semua peserta khidmat mendengarkan pembukaan dari Eyang Kerbau yang disinyalir merupakan empunya kerbau dan masih punya darah keturunan langsung dengan nenek moyang dari segala kerbau yang ada di dunia.

“Keluarga kerbau semuanya yang saya hormati, sebagaimana kita tahu jika akhir-akhir ini kita mendengar berita yang cukup mencengangkan kita semua. Walau demikian, saya pikir ini bukanlah hal baru bagi kita. Semenjak manusia tahu sifat dan tingkah laku kita, semenjak itu pula kita menjadi contoh, teladan dan panutan bagi mereka. Manusia mungkin berpikir jika kita ini, keluarga kerbau, adalah makhluk yang pandir dan bodoh, meski sebenarnya kita adalah makhuk yang rendah hati. Tidak berarti kita ini dicocok hidung maka kita nurut-nurut saja sama manusia. Kenyataanya, kita ini kasihan sama mereka, karena tanpa kita bagaimana mungkin mereka bisa makan, bisa membajak sawah tempat padi disemai. “

“Lalu,” lanjutnya, “kita juga turut serta memberikan kerabat kita, yakni sapi, punya nama. Walau kita tahu kita ini punya susu. Akan tetapi, kenyataanya, tidak hanya manusia tidak belajar dari kerbau; parahnya, mereka malah memiliki sifat dan tingkah kita. Bukan yang baik, tapi yang buruk. Manusia sekarang adalah kerbau yang menanduk anak; adalah kerbau yang runcing tanduk; adalah kerbau yang dibeli di padang; adalah manusia yang mengambat kerbau berlabuh antara sesamanya. Bahkan lebih parah lagi, manusia sekarang banyak yang suka berkumpul seperti kerbau di hutan remang-remang sana. Saya pikir, mungkin, karena terlanjur memiliki sifat dan perilaku seperti kita ini, manusia pada akhirnya memutuskan untuk menjadi kerbau saja.”

Mendengar itu, suara gemuruh dari mulut-mulut kerbau memenuhi konferensi. Sebagian ada yang marah akan keputusan manusia itu, sebagian lagi menyayangkannya.

“Baik-baik,” sela empu kerbau, “saat ini saya hanya bisa mengembalikan keputusan kepada kita semua yang ada di sini tentang bagaimana sikap kita seharusnya menghadapi kenyataan itu. Satu yang pasti, kita harus memikirkan bagaimana nasib kaum kita selanjutnya.”

Dengusan nafas, lenguhan dan cibiran mulai membahana di antara mereka. Limbung tak dinyana mendapati kenyataan tentang manusia yang ingin mendeklarasikan dirinya menjadi kerbau. Hajat hidup keluarga kerbau pun ditaruhkan di konferensi itu.

Setelah menghembuskan napas berat seekor kerbau yang berasal dari Amerika dengan amarahnya berkata: “Apa harus kita serbu saja manusia itu? Kita seruduk saja mereka sampai mati agar mereka mengurungkan niatnya itu.”

Sesaat peserta keonferensi terdiam mendengar perkataannya, akan tetapi dengan cepat suara gemuruh lekas membahana.

“Tidak, tidak Bapak Bison,” sela Empu Kerbau, “cara itu bukanlah cara yang baik yang bisa kita lakukan terhadap manusia. Meski kita ini besar dan kuat, tapi jumlah kita tidak lebih banyak dari mereka yang sekarang ini sudah mencapai tujuh miliar. Cara itu pun hanya akan menambah permasalahan saja. Bukan tidak mungkin akan muncul banyak pemberitaan tentang tingkah laku kita yang sangat tidak kerbauwi itu di media massa. Jika sudah seperti itu, manusia bisa jadi memutuskan untuk melenyapkan kita di muka bumi karena image jelek yang kita buat sendiri. Dan itu sama artinya dengan ancaman punah bagi kaum kita.”

Beberapa kerbau manggut-manggut mendengar penjelasan itu. Tapi tak lama setelah itu, seekor kerbau yang sedari tadi duduk, berdiri dan melangkah beberapa kali seraya berkata,” jika begitu, mengapa tidak kita biarkan saja manusia itu menjadi kerbau? Biarkan saja mereka mendeklarasikan keinginannya jadi kerbau sehingga Sanghyang Dewata mengubah mereka jadi kerbau.” Kerbau Tamarau dengan kaki pendek yang berasal dari Filipina tapi masih menyimpan kepercayaan leluhurnya dari India itu, menggelengkan kepalanya ke kanan ke kiri seakan berkata: “Ya, begitu saja.”

Seekor kerbau lainnya berdiri dan menegaskan perkataan kerbau tadi. “Ya, begitu sajalah. Biarkan saja manusia menjadi kerbau kalau memang itu yang mereka inginkan. Tidakkah bagus banyak kerbau? Bakal banyak sawah yang digarap, pedati yang ditarik dan banyak lagi lainnya. Jadi kita tidak harus terlalu cape mengerjakan pekerjaan yang biasa kita lakukan itu….”

“Maaf saudaraku,” seekor kerbau Carabao menyela, “jika manusia jadi kerbau, lalu kerbau jadi apa?”

“Ya, jadi banyak, “ celetuk seekor kerbau yang kebetulan masih remaja dan suka bercanda. Tawa dan senyum pun tebar di antara mereka.

“Maksud saya,” lanjutnya, “jika manusia jadi kerbau, lalu siapa yang akan menikmati hasil dari pekerjaan kerbau? Sangat muskil sekiranya kerbau dan manusia-kerbau menikmati hasil pekerjaannya sendiri, karena kerja kita hanya kerja: membajak sawah dan segala pekerjaan angkut-mengangkut, mulai dari mengangkut hasil panen sampai mengangkut manusia.”

“Kerbau makan kerbau, dong?” sahut kerbau yang menyela tadi. Gelak tawa kembali meramaikan percakapan.

“Ada betulnya juga kata Bapak Carabo tadi,” seekor yang lainnya coba membenarkan. “Coba bayangkan bagaimana kalau manusia jadi kerbau? Rumah-rumah akan ditinggalkan dan kandang-kandang akan berjejalan memenuhi muka bumi. Sawah-sawah dan ladang akan penuh dengan kerbau sedang kita tahu kerbau tidak bisa membuka lahan sawah dan ladang baru melainkan oleh manusia. Lahan pekerjaan akan menyempit dan persiangan pasti akan terjadi. Persaingan lahan, dan tentunya persaingan bahan makanan. Sangat tidak mungkin jika kita harus jadi kerbau pengangguran. Itu bukan kerbau namanya, lagi pula itu bukan identitas kita, keluarga kerbau.”

“Susah amat sih, sudah seruduk saja manusia itu,” bison lantang berteriak.

“Jangan!” Empu kerbau menjawab.

“Ya sudah biarkan saja mereka jadi kerbau!” seru Tamarau.

“Tidak bisa!” Carabao menyahut.

Pertengkaran pun terjadi di antara mereka. Sebagian setuju, sebagian tidak, sebagian lagi bingung entah harus memihak mana. Haruskah mereka setuju membiarkan manusia mendapat apa yang diinginkannya, atau tidak. Saking sengitnya perdebatan itu, beberapa ekor kerbau malah sempat beradu dan saling seruduk karena pendapatnya masinng-masing. Sampai pada akhirnya,…

“Cukup… cukup! Hentikan perdebatan dan perkelahian ini wahai saudaraku sebangsa dan seketurunan! Hentikan!” teriakan empu kerbau mengalihkan perhatian semua. “Tidakkah kita sadar dengan perbuatan kita ini? Apa bedanya kita dengan manusia kalau begitu? Suka berdebat dan membenarkan pendapatnya masing-masing, sampai-sampai harus menumpahkan darah, bahkan mengorbankan nyawa sesama? Di mana harkat derajat kita sebagai seekor kerbau? Apa kata nenek moyang kita nanti? Ingat saudaraku, tidak ada sejarahnya kerbau saling menikam kaumnya sendiri. Tidak ada dan tidak pernah, bahkan dalam ilmu biologi sekalipun, bangsa binatang itu saling bunuh. Ingatlah hakikat binatang! Ingat saudaraku, kita ini bukan manusia. Camkan itu!” Geram Empu Kerbau seraya bahunya turun-naik karena amarah.

Kerbau-kerbau pun seketika terdiam mendengar perkataan itu. Mereka sadar mereka khilaf. Mereka tahu jika mereka adalah kerbau, dan bukan anjing, babi apalagi yang lainnya, terlebih manusia. Beberapa saat mereka kehilangan kekerbauan mereka, dan hal itu benar-benar sangat disayangkan oleh semua yang ada di sana. Mereka melenguh dan mengemoh menangisi peristiwa tadi. Peristiwa yang hampir saja mengubah status mereka yang kerbau menjadi sesuatu yang lain.

Tiba-tiba dari arah kerumunan melangkahlah seekor—atau mungkin seorang –kerbau ke tengah-tengah forum. Semua kerbau menatapnya keheranan seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dari ujung tanduk sampai ke ujung kaki, baru mereka melihat mahluk seperti itu untuk pertama kali. Tak sedikit matapun mengedip ketika mereka melihat makhluk itu. Semua tatapan teruju pada makhluk berkepala kerbau namun bertubuh manusia.

Empu kerbau pun sempat mengernyitkan dahi tepat ketika makhluk itu berada di hadapannya.

“Wahai, siapa dan ada keperluan apakah gerangan datang kemari, ke konferensi kerbau ini?” tanyanya.

“Mmoooaaah (baca: Salam), Empu Kerbau yang saya hormati. Sebelumnya, saya minta maaf jika penampakan saya ini mengganggu jalannya konferensi. Saya yakin jika keberadaan saya ini mengganggu semua kerbau yang ada di sini. Karenanya, sekali lagi, saya mohon yang teramat maaf sekali.” Makhluk itu melenguh dan menjatuhkan tatapannya ke tanah.

“Seperti yang Empu Kerbau dan semuanya lihat,” lanjutnya seraya menatap ke depan, “saya ini adalah manusia, tapi saya juga kerbau. Kalian bisa melihat kepala saya yang kerbau dan tubuh saya yang masih manusia ini. Sungguh menyedihkan bernasib seperti ini. Tapi, bagaimana lagi, saya harus menerimanya dengan dada yang lapang.”

“Adapun kedatangan saya ini adalah, bermaksud untuk memberi tahu seyogianya, bahkan sebelum pendeklarasian itu, manusia sudah banyak yang menjadi kerbau. Sebagaimana yang kita semua tahu, manusia adalah makhluk yang selalu butuh eksistensi. Mereka butuh pengakuan atas apa dan siapa dirinya. Maka dari itu, untuk menjadi kerbau pun mereka butuh deklarasi. Biar dianggap sah katanya. Entahlah. Dan, saya pikir, tak perlu kiranya keluarga kerbau yang ada di sini kalang kabut dengan keputusan manusia itu. Saya pikir semua sudah pada jalannya masing-masing.”

“Moah (baca: Selamat datang) saya ucapkan padamu anak muda. Jujur, kami terkejut melihat kedatangan Anda di konferensi ini. Terlebih melihat wujud Anda yang seperti itu. Tapi asal Anda tahu, kami tidak lantas merendahkan Anda juga manusia yang ada. Dari dulu kaum kami dan kaummu sudah berteman sejak lama. Kami membantu pekerjaan manusia sebagaimana manusia dengan sangat baik mengurus kami. Tapi, ada satu hal yang membuat saya, kami, masih penasaran...,” Empu Kerbau memotong kata-katanya dan sejenak terdiam.

“Apakah itu Empu? Ceritakanlah!” pintanya.

“Sebenarnya, alasan apa yang membuat manusia ingin menjadi kerbau seperti kami? Tidakkah nikmat menjadi manusia. Mereka bisa melakukan apa saja dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mengapa harus repot-repot menjadi kerbau yang tempat kerjanya tak lebih dari kandang dan sawah? Tolong jelaskan kepada kami!”

“Sungguh bukan kesalahan yang bisa dibanggakan, Empu. Benar kata Empu tentang manusia. Tapi di tengah gemerlap hidup yang serba tak pasti, di zaman yang santer disebut-sebut sebagai globalisasi, di masa dimana kebutuhan akan materi menjadi satu-satunya tujuan, manusia justru menjadi makhluk paling tidak jelas. Tidak jelas nasib dan takdirnya. Tak tahu ke mana arahnya. Setiap hari yang kami lakukan hanya bekerja dan bekerja. Kami turuti semua aturan dan larangan dan segala macam perintah atasan. Kami iyakan semua perkataan dan perbuatan pimpinan karena jika tidak, hidup kami bisa terancam. Bahkan sebagai rakyat kecil pun kami tak bisa berbuat apa terhadap tindakan pemerintah. Sedang, ancaman hidup adalah musuh manusia. Jika kami menolak atau melanggar apa yang pimpinan katakan,kami bisa bahaya. Hajat hidup bisa terganggu dan kami tidak bisa dengan enak makan atau minum. Kita tahu, makan adalah kebutuhan primer dan kami tidak bisa hidup tanpanya.”

“Ya ya, saya mengerti. Tapi, mengapa harus menjadi kerbau? Mengapa tidak menjadi sapi, contohnya, atau yang lainnya?”

“Sesungguhnya, kami juga belajar bahwa makhluk yang paling rendah hati adalah kerbau. Tak ingin kami menjadi anjing yang suka menyalak walau kenyataannya sudah banyak dari kami yang seperti itu. Tak hanya kawan, lawan pun kami telikung. Atau babi, yang kerjanya hanya makan dan tak pernah peduli bahkan dengan sesamanya sendiri. Tapi, siapa juga yang ingin jadi makhluk kotor yang rumahnya adalah kubangan lumpur? Tidak ada! Dengan pikiran yang matang, pada akhirnya kami pun memutuskan untuk jadi kerbau saja. Sudah banyak dari kami yang menjadi kerbau meski belum seutuhnya, dan bahkan tanpa pendeklarasian itu.”

“Bagi kami, tak apalah kami hanya menurut apa kata atasan, pimpinan dan semua yang memegang peranan penting di roda kehidupan ini. Yang penting, kami, istri-istri, anak-anak serta keturunan kami bisa makan. Itu saja. Sejatinya kami ikhlas menjadi kerbau asal bisa tetap hidup.

Mendengar penjelasan manusia-kerbau itu, keluarga kerbau yang ada di konferensi itu terdiam. Mereka iba dan kasihan dengan nasib manusia yang tidak berdaya dan tak kuasa berbuat apa-apa terhadap pekerjaan, keluarga; dengan kata lain, terhadap hidupnya. Terlebih, mereka juga sadar jika manusia bisa berbuat apa saja sekehendaknya, serta mendapatkan hasil dari perbuatannya itu. Mereka tahu bahwa semua yang ada di dunia punya jalannya sendiri-sendiri. Takdir sudah ditentukan; tinggal waktu yang bakal menjawabnya. [Fim Anugrah]

Subang, 02 Desember 2012

No comments:

Post a Comment