Monday, February 20, 2012

Aku dan Sangkuriang

Matahari telah cukup terik untuk bisa bertengger di atas langit. Angin dingin masih terasa di ujung jari walau sebentar lagi hari tak lagi pagi. Jalan-jalan sudah terlihat ramai dijejali orang-orang yang membawa kesibukannya masing masing di hari minggu ini. Kendaraan dari arah kota telah banyak melintas menuju Lembang. Di sudut yang lain, angkutan umum tampak berbaris menunggu penumpang. Aku sendiri sudah cukup lama menunggu teman-teman yang memang sudah berjanji untuk sama-sama pergi berekreasi.
Jam menunjukkan pukul sembilan kurang lima belas menit dan baru hanya ada aku, Angga dan Oky. Desi dan Irfan sedang dalam perjalanan; Andri sedang mencuci; dan Siska sedang menjadi ibu yang baik di rumahnya. Angga dan Oky sibuk dengan ponselnya mencoba mengajak teman-teman yang lain untuk bisa ikut dalam acara ini. Tak lama kemudian Oky berkata bahwa Andri pun batal untuk ikut. Lima belas menit lagi kita berangkat, kataku. Tak berapa lama Desi dan Irfan terlihat berjalan dari arah lain dan dengan ini maka perjalanan pun bisa dimulai. Perjalanan menuju gunung Tangkuban Perahu.

Masing-masing membawa tas dengan persedian yang sudah disiapkan sebelumnya. Oky dipilih menjadi semacam komandan lapangan yang menunjukkan arah jalan. Kami akan terlebih dahulu menggunakan angkutan sebelum sampai di titik dimana kami akan benar-benar berjalan menuju gunung. Tak lama, kendaraan pun melaju setelah kita semua naik. Tampak semangat terlihat di antara kami. Betapa tidak? Ini adalah reuni kali pertama kami setelah lebih dari empat tahun kita tak pernah bertemu. Reuni anggota koperasi mahasiswa kampus UPI.
Setibanya di start point di daerah Lembang, kami pun mulai berjalan. Oky langsung mengambil komando. Perjalanan akan menghabiskan waktu sekira tiga jam, mudah-mudahan, katanya. Oky mengambil jalan yang tak pernah aku tahu sebelumnya. Sempat aku pun melakukan perjalanan yang sama ke Tangkuban Perahu, tetapi selalu menggunakan rute jalan dari Jayagiri. Sesuatu yang memang sudah terlalu basi. Aku cukup senang ketika Oky menunjukkan jalan yang berbeda, bahkan beberapa meter ketika kami berjalan, pemandangan terlihat begitu indah. Sebuah jalan yang tampak bergelombang dimana jalannya menurun dan menanjak sangat kentara diapit oleh dua lembah bertanamkan padi di sampingnya.
Kami berjalan dan terus berjalan sambil memekarkan senyum dan mengembangkan dada melihat betapa indah pemandangan dunia dan betapa masih sejuknya udara. Kendati matahari sudah cukup tinggi, namun hawa udara yang dingin masih terasa di sini. Sesekali kami berfoto bersama dengan latar belakang pemandangan yang indah dan berbeda-beda sambil bercanda. Oky sibuk dengan kotak musiknya. Angga dan Desi tampak asik mengobrol soal yang tak aku tahu. Aku sendiri mengobrol dengan Irfan tentang kegemaran kami yang sama dalam berjalan-jalan dan mengagumi pemandangan ciptaan Tuhan yang tiada bandingannya.
Satu jam, dua jam berlalu tak terasa ketika pada akhirnya kami tiba di sebuah pertigaan yang membingungkan. Aku bertanya pada Oky rute mana yang harus diambil, apakah jalan yang lurus, belok kiri atau kanan. Tersirat di dahinya kebingungan karena dia pun baru pertama kali menemukan rute ini. Jika ke kanan, khawatir kami akan masuk ke rute Jayagiri. Jika lurus, mungkin akan tiba ke perkebunan. Sedang jika mengambil ke kiri, bisa jadi ini lebih cepat sampai ke Tangkuban Perahu, spekulasinya. Cukup lama kami harus menentukan rute jalan yang harus dilalui. Setidaknya, keadaan seperti ini dapat kami gunakan untuk beristirahat.
Desi mengeluarkan bekal rotinya; Angga meneguk air yang dibawa dalam botol satu liternya; sedang aku dan Irfan tengah membagi-bagikan permen kepada yang lain sambil mengunyahnya satu buah terlebih dulu. Aku lihat Oky masih ragu untuk menentukan rute. Yang lain tidak terlalu ambil pusing. Aku sendiri tak terlalu mempermasalahkannya karena selain memang ingin berjalan-jalan, kelelahan yang sangat pun terbayarkan dengan pemandangan yang saat ini aku lihat. Oleh karena itu, sekalipun rute jalan akan menjadi sangat jauh, aku berharap bahwa aku bisa mendapatkan pemandangan indah yang lainnya lagi.
Merasa sudah cukup, kami pun melanjutkan perjalanan dengan keputusan mengambil jalan ke sebelah kiri dari pertigaan yang membingungkan tadi. Kami pun berjalan dan berjalan lagi dengan tujuan yang selalu dinantikan.
Aku pikir tiga jam perjalanan akan menjadi cukup untuk tiba di puncak gunung Tangkuban Perahu sebagaimana biasanya, tapi ternyata tidak. Tiga jam berlalu dan perjalanan masih saja terus dilakukan. Sempat Angga bertanya pada Oky apakah kami tidak tersesat jalan. Tidak, jawabnya. Alasan dia menjawab tidak barangkali karena kami selama ini berjalan di jalan setapak yang telah menjadi sangat lazim digunakan orang-orang. Dengan keadaan seperti itu, maka kami pun merasa optimis bahwa pasti bakal cepat sampai.
Sedikit demi sedikit kegelisahan hinggap. Aku melihatnya dari wajah Desi yang tersirat. Angga bernyanyi-nyani; Oky masih sibuk dengan kotak musik kecilnya; Irfan mengarahkan kamera ponsel ke pemandangan yang hendak dipindainya. Tiba-tiba kami sampai di sebuah tempat yang benar-benar asing. Tempat itu ditumbuhi banyak pohon pinus dan hanya di tempat itu saja. Daun-daunnya yang berguguran menutupi permukaan tanah dan jalan; tampak seperti sebuah lahan yang ditutupi permadani maha luas dan besar. Kami tertegun. Suara gemericik air terdengar walau begitu kecil suaranya. Aku merebahkan diri sambil bertasbih; bingung antara harus kagum dan gelisah. Desi sudah mulai bertanya-tanya soal apakah kami tersesat atau tidak. Angga sedikit menganalisis perjalanan yang sudah dilakukan. Oky sendiri bimbang dan tampak merasa khawatir juga bersalah karena mengambil rute yang dia sendiri tidak cukup yakin untuk dilalui. Irfan berputar-putar mencoba mencari jalan keluar.
Saat ini kami hanya bisa melanjutkan perjalanan dengan mengambil jalan setapak yang tak ada duanya sambil terus berharap dan berharap menemukan jalan keluar. Lima belas menit keluar dari tempat asing itu, kami menemukan jalan besar berbatu. Jalan itu cukup memadai untuk dilalui mobil sekalipun. Seketika wajah kami cerah. Sayang, hal itu tak lama karena setengah jam berlalu tak juga membawa kita tiba di tempat yang kami tuju. Kami sudah tak lagi berjalan bersamaan. Oky tampak lebih dulu berjalan bersama Irfan. Aku, Angga dan Desi berada di belakang. Desi tampak kelelahan dengan kakinya yang sudah lecet.
Pikiran kami sudah tak karuan, seperti tingkah kami yang juga sudah tak wajar: Angga bernyanyi kencang-kencang; Desi menitikan air mata; Irfan yang duduk di pinggir jalan sambil melempar-lempar batu-batu kecil. Oky tampak masih sibuk mencari-cari jalan keluar. Perasaan sudah benar-benar campur aduk. Kami sudah tidak lagi tahu apa yang harus dilakukan dalam kembimbangan, kegelishan, kebingungan, juga ketakutan yang kami rasakan juga perlihatkan masing-masing.
Hal demikian berlangsung cukup lama seraya sedikit demi sedikit masing-masing dari kami mencoba untuk bangkit. Pikiranku sendiri sudah benar-benar tidak jernih. Aku berpikir soal memberi tanda semacam asap yang digunakan suku Indian di negara Paman Sam sana. Oky sendiri mencari-cari sinyal  di ponselnya, berharap bisa menghubungi seseorang. Tapi hal itu menjadi sangat mustahil. Di tengah hutan yang tidak pernah kami kenali ini, alat-alat canggih seperti ponsel menjadi sangat tidak berguna. Semuanya benar-benar gelisah dan takut. Desi mulai menangis dan Angga menenangkannya.
Oky kudengar tak henti-hentinya beristigfar hingga pada akhirnya dia menemukan sebuah pintu gerbang di mana berdiri di baliknya sebuah gedung tua. Terpancang di sekitar gedung itu sebuah pemancar. Aku lihat ponsel; tetap tak ada sinyal. Pemancar itu memang bukan pemancar sinyal ponsel. Mana mungkin pemancar ponsel berdiri di puncak gunung di tengah hutan yang tak ada kehidupan? Angga mencoba mencari tahu apakah ada orang di dalamnya. Sedikit pun tak ada jawaban ketika dia berteriak-teriak menanyakan apakah ada orang di dalam gedung itu.
Tak hendak berlama-lama di sana, kami melanjutkan perjalanan. Ada dua jalan di sana: jalan kecil di samping gedung dan jalan besar berbatu yang tampak memang sengaja dibuat untuk menjangkau gedung itu. Entah apa yang ada dalam pikiran kami; bukannya mengambil jalan besar berbatu, kami justru malah mengambil jalan kecil. Entah apa mungkin jalan berbatu terkesan lebih lebar dan tampak jauh sehingga kami pada akhirnya memutuskan mengambil jalan kecil, jalan memotong, aku tak tahu. Tetapi setelah itu, kami tahu bahwa jalan kecil itu mengarahkan kami ke nasib yang lebih tak jelas lagi. Itu menjadi hal paling bodoh yang kami lakukan. Angga pun menyepakatinya.
Kami pun memasuki rimba di mana jalan setapak tak lagi tampak seperti jalan setapak. Pohon berjejalan di samping kanan dan kirinya; terkadang menghalangi jalan yang kami lalui. Perdu dan lumut pun ikut ambil bagian membingungkan setiap langkah yang kami jejakkan. Seratus persen yang pasti, kami telah benar-benar tersesat. Kami hanya bergantung pada ketakutan dan kegelisahan sendiri. Bergantung pada istigfar yang kami ucapkan keras-keras dalam hati.
Jam adalah sesuatu yang menjadi pusat perhatian kami, juga langit dan jalan setapak. Mendadak kami menjadi sangat takut ketika tiba-tiba kabut datang menyelimuti dan membatasi pandangan kami. Aku berteriak agar semua berkumpul dan berpegangan tangan. Tidak ada yang boleh berjalan sendirian. Kami terdiam di tengah hutan dengan nasib yang tak jelas. Oky menampakkan wajah bersalahnya dengan berkata hal-hal yang menyalahkan dirinya. Tak ada gunanya menyalahkan diri sendiri, kataku. Irfan terlihat masih menyimpan semangat dari situasi dan kondisi terjepit dengan terus melihat ke sekeliling, berharap mendapat jalan keluar. Angga sendiri terus mencari-cari petunjuk.
Kabut yang tadi cepat datang ternyata dengan sendirinya cepat juga pergi. Di saat seperti itu, aku gunakan kesempatan mencari jalan keluar. Beruntungnya. Aku menemukan petunjuk. Sebuah tali rafia berwarna biru dan merah terikat pada ranting-ranting dan dahan-dahan pohon. Aku meminta Angga melacak tali berwarna biru sedang aku berwarna merah. Yang lain aku minta untuk tetap diam di tempat sambil tetap berjaga-jaga –khawatir ada binatang buas, dan meminta masing-masing menjaga suhu tubuhnya agar tetap hangat.
Kami, aku dan Angga, tetap berkomunikasi dengan berteriak dan saling memberi tahu apabila menemukan jalan keluar. Kami bersepakat untuk terus melacak petunjuk jalan yang tadi aku temukan dengan batas waktu setengah jam. Lebih dari itu, aku dan dia harus kembali ke tempat teman-teman tadi menunggu.
Sekalipun kabut menghalangi pandangan, tapi aku masih bisa melihat ke sekelilingku berada. Pohon bertumbuhan di sini-sana. Lumut menempel di atasnya. Perdu menutupi jalan yang aku lalui. Aku tersadar bahwa aku berada di lembah sebuah kawah di mana batu-batu berserakan di atasnya. Sekalipun begitu, aku masih bisa mendapati petunjuk dari tali rafia berwarna merah tadi.
Berada di sebuah lembah yang cukup luas ditemani kabut yang masih bertebaran, aku terkejut ketika melihat sesosok bayangan beberapa meter dari tempatku berdiri. Hati seketika berdebar antara senang dan takut sekaligus. Senang karena pada akhirnya aku menemukan seseorang; takut apabila yang aku llihat itu bukanlah orang. Aku beranikan diri untuk mendekati bayangan yang tampak sedang duduk itu. Dan ternyata memang benar. Itu adalah seseorang yang tengah duduk dengan tangan yang seperti mengipas-ngipas sesuatu.
Penasaran pun bangkit. Pada akhirnya aku menemukan seseorang di antah berantah ini. Perlahan demi perlahan aku berjalan mendekatinya. Kabut memudar menjelaskan pandangku. Dahiku mengernyit ketika aku melihat bahwa orang itu menggunakan pakaian zaman dulu, pakaian yang biasa aku lihat di film-film kolosal di TV. Dia menggunakan celana selutut dengan baju yang, sepertinya, terbuat dari kulit kambing. Percis seperti pakaian prajurit di masa kerajaan. Tetapi hal itu cepat-cepat aku tepis. Yang aku tahu, aku bersyukur bahwa aku dapat bertemu dengan seorang yang bisa aku tanyai. Seseorang yang barangkali bisa menunjukkanku jalan keluar dari ketersesatanku ini.
Assalamu’alaikum, kataku. Dia menengok ke arahku sedang tangannya tak henti-hentinya mengipas-ngipas sesuatu. Kuulangi salamku sampai pada akhirnya ia berkata, ‘Iya, ada apa?’ Seketika senyumku tersungging lebar lantas bertanya apakah ia tahu jalan menuju Tangkuban Perahu, tempat rekreasi. Aku kira aku akan mendapatkan jawaban yang aku harapkan, tapi ternyata tidak. Ia menggelangkan kepalanya pertanda ia tak tahu tempat yang aku maksud. Dengan maksud memperjelas, aku pun menceritakan keadaanku: siapa aku dan bagaimana pada akhirnya aku bisa berada di tempat ini. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Kendati begitu, sungguh sangat disayangkan karena ia sendiri tak bisa memberikan solusi. Yang aku tahu bahwa ia sudah tinggal di tempat itu sejak lama, entah sejak kapan. Satu hal yang benar-benar membuatku heran adalah ketika aku bertanya siapakah namanya. Sangkuriang, katanya. Seperti nama seorang tokoh dalam sebuah legenda, sahutku. Ia pun tampak asing ketika mendengar kata ‘legenda,’ bahkan sampai dia harus bertanya apa itu. Aku hanya menjawab bahwa legenda itu adalah sebuah mitos atau, sebut saja dongeng. Hal yang sama berulang ketika ia mendengar kata ‘dongeng’. Aku hanya bisa menerjemahkannya dengan kata-kata biasa yang bisa dimengertinya.
Percakapanku dengan Si, yang katanya, Sangkuriang ini berlangsung cukup lama hingga aku lupa tujuan awalku tadi. Kendati percakapan itu tampak mengasyikkan, tapi tak sedikit ia memunculkan keanehan demi keanehan. Terlebih ketika aku tahu bahwa ia adalah Sangkuring yang diusir oleh ibunya sendiri, Dayang Sumbi. Aku sempat memukul kepalaku dengan telapak tangan; khawatir jika aku tengah bermimpi. Tapi tidak. Pertemuan dan percakapan itu benar-benar nyata. Aku benar-benar mendengarkan setiap perkataannya, setiap ceritanya, bahkan saat ini aku duduk bersamanya. Aku juga tahu bahwa ternyata ia sedang mengipas-ngipas bara untuk menyalakan api menggunakan daun kering yang cukup lebar di tangannya. Aku terkejut ketika di sampingnya kulihat seekor anjing tergeletak dengan leher bersimbah darah yang tampak telah mengering.
Entah apakah aku harus percaya setiap perkataannya atau tidak, bahwa dia memang Sangkuriang dalam legenda Tangkuban Perahu itu. Tetapi aku tidak ingin ambil pusing. Percakapan ini seperti mendekatkan aku dengannya, dengan legenda. Aku sempat memberitahukan alamat rumahku di pusat kota dan memintanya bermain. Tiba-tiba ketika aku teringat dengan tugasku tadi, seketika itu aku berpamitan padanya dan bergegas pergi menyelesaikan urusanku yang belum selesai.
Aku berjalan ke tempat terakhir aku menemukan petunjuk dari tali rafia berwarna merah dan kembali melacaknya. Beberapa menit kemudian, pada akhirnya, aku menemukan jalan berbatu dan sungguh ini merupakan sebuah keajaiban. Jalan itu sepertinya jalan yang memang seharusnya kami susuri. Jalan dari arah gedung tadi itu. Jalan berbatu adalah salah satu bentuk dari peradaban, setidaknya aku tahu jika jalan itu juga yang biasa digunakan orang-orang untuk melakukan aktivitasnya di seputar kawah di gunung ini. Sontak aku berteriak bahwa aku menemukan jalan keluar.
Kembali ke arah teman-teman yang sedang menunggu, aku menebas tanaman-tanaman kecil dan perdu dengan kayu yang aku pungut, bermaksud untuk membuat jalan agar mudah untuk kulalui. Sambil berlari, aku terus berteriak dan berteriak: “ketemu, ketemu!” Perasaan antara senang dan haru bergejolak di dadaku. Kulihat Angga sudah bersama teman-teman yang lain. Mereka menghampiriku seraya menepis kekhawatiran dan kesedihannya. Wajahnya mulai sumringah. Mereka tak dapat berkata-kata. Segera kutunjukkan jalan keluar sambil sedikit demi sedikit menuntun mereka dari depan.
Perjalanan yang benar-benar melelahkan dan menakutkan. Kami duduk di pinggir jalan berbatu dekat pohon di pinggir kawah Domas. Desi menghapus air matanya; Angga terheran-heran; Irfan banyak menarik nafas panjang; Oky berdiam diri; dan aku meneguk air minum dengan teguknya. Sesekali tahmid dan tahlil terlontar dari mulut kami. Rekreasi tadi benar-benar menjadi sebuah petualang yang asyik sekaligus mengerikan. Baju telah basah oleh keringat. Perasaan telah benar-benar teraduk-aduk. Selain mengistirahatkan diri, sungguh tak ada kata-kata.
Kami saling mengasihi dan memandang. Oky yang semenjak tadi tampak merasa bersalah, dihiburnya oleh Angga. Irfan spontan bangkit dari duduknya dan mengambil gambar, menggunakan kamera di ponselnya, kawah Domas yang mengepul. Aku bersandar pada pohon dan berkali-kali menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Desi sudah mulai bisa tertawa lantas meneguk air dari botol minum yang aku bawa. Udara dingin membuat kami semua tampak seperti mengepulkan asap rokok dari mulut masing-masing. Udara memang sangat dingin. Matahari yang tadi barangkali sudah terik di pucuk langit, telah kami lewati. Beberapa jam lagi ia akan hilang di ufuk barat.
Masing-masing membawa kesan atas apa yang telah kami lalui dari rekreasi yang mengerikan tadi. Kami pulang menggunakan kendaraan yang ada di kawasan Tangkuban Perahu –sebuah jasa yang baru-baru ini beroperasi. Satu yang pasti, kami tak mau lagi jika harus mengalami peristiwa itu untuk kedua kalinya. Tak ada yang mau! Aku sendiri membawa kesanku sendiri. Terlebih, aku mengalami peristiwa yang benar-benar aneh dengan bertemu Sangkuriang di lembah sebuah kawah di gunung ketika aku tersesat. Hal itu tak sempat kuceritakan kepada teman-teman, karena selain aku lupa, aku pun terlalu senang karena pada akhirnya kami bisa terbebas dari musibah itu. (Fim Anugrah/"Saswaloka")

Purwakarta, 2009

No comments:

Post a Comment