Sunday, February 12, 2012

Anomali Hari

archives
Wajah ruyup. Tubuh gigil. Sorot matahari di celah pintu. Burung-burung pipit menerjemahkan lagi hari. Di bawah kakinya, hidup mengalir di antara biji, perdu dan pohonan. Sambutan selamat pagi disenandungkan lewat nyanyian matahari. Keduanya menjulurkan lagi tangan Tuhan dengan kemestian hakiki bersama langit biru yang bersih, bersama puputan. Aku dan balutan mimpi yang terhenyak juga hidung terbangkis oleh debu-debu kepayahan. Ubun-ubun terpasung gelombang sadar-tak sadar. Napas meminta lagi hembusan. Degup jantung seakan telah berlari sejak malam hingga subuh tadi. Hidup lagi!
Handphone berdering empat kali, kubiarkan. Baterei minta diisi ulang. Perut bernyanyi seperti burung-burung tadi. Langgam perih yang tersisih meruap dalam rentang jemari. Kusingkap selimut, kupukul semut yang berdiam di atas lutut. Terduduk. Maka hinggaplah renung. Pikiran masih kabut tebal mengisi ingatan. Bantal, guling kutendang. Kutendang pusat khayal yang gatal di musim bergigi. Kubahasakan nyanyian matahari. Kuisi lirik-liriknya dengan tuangan air ke gelas penuh gula dan kopi. Sebatang rokok diam di kempit jari tengah dan telunjuk. Dan asap pun berlari menuliskan janji memenuhi ruangan berukuran 4 x 3 meter.
Satu, dua, tiga sms muncul di layar. Kutekan tombol ‘Yes’ sambil menerka-nerka siapa dan apa isinya: 1) Nono: Tlg antr Laila ke RS. Dy dmm dr td mlm. No ga bs, ad kul. Mksh; 2) Laila: Bs mnt antr k RS? dtnggu jm 9 d dpn grbng; dan 3) Asep: Maaf ganggu. Mnt tlng trjmhny pretty handy & precut on easel. Trm ksh bwt jwbny. Slmt tdr kmbl. Interaksi sosial di pagi hari. Kubangun dengan gemeletuk lutut dan pikiran yang masih saja gatal. Radio kunyalakan supaya hening berubah bising. Volume kukencangkan supaya bisa mengalahkan nyanyain burung di luar tadi. Tak lupa kukirim balasan: 1) OK; 2) OK; dan 3) Brmnfaat/mdh dipegng. Mmprsiapkn... Blm kutemukn trjmhn precut. Kubangkit, raih handuk dan segayung peralatan mandi. Menuju kamar mandi!
Jejak-jejak langkah memenuhi jalan. Kunyalakan motor menderu mesinnya kencang. Melesat menemui Laila, menghantarnya ke rumah sakit. Sampai. Gedung megah lobi luas. Dokter, suster, pasien memenuhi ruangan. Tak ada bau obat yang segak seperti biasa. Laila mendaftar. Kududuk diam bersama buku. Melalui beberapa kamar, kami tiba di sebuah ruang dengan bangku berjejer di depan. Menunggu. Pukul 10 lewat. Menunggu. Tak juga ada panggilan tuk Laila diperiksa. Menunggu. Menunggu dokter tak kunjung datang. Jam berlari kencang. Kami terdiam satu jam: Aku membaca buku; dia mengkhidmati setiap hembus udara yang dihirup dan keluarkan. Seolah berkata: “Jangan lupa bernapas.” Di tengah kondisi yang tak bersahabat pun napas seyogianya selalu setia memapah langkah. Hati diiris sembilu. Lalila kuyu menarik-narik jaketnya disapa angin lalu dari arah barat ruangan.   
“Aku mesti pergi pukul 9.30. Ada kuliah.”
“Ya, sudah. Aku bisa sendiri.”
“Tak apa?”
“Tak apa. Terima kasih sudah mengantar.”
“Jika mau dijemput lagi, sms saja.”
Okay. Hati- hati di jalan.”
“Kutunggu sms-mu.”
Kugegaskan langkah kaki menuju parking lot. Motor kunyalakan dan melaju menuju tempat kuliah. Sedikit balapan sepertinya menarik. Lima belas menit kemudian tiba di kampus. Berlari menuju ruangan kuliah. Syukur tak terlambat. Dosen di depan sudah bercerita. Kukeluarkan alat tulis dan buku yang sempat tadi kubaca. Lima puluh tujuh kepala terduduk menuliskan kata-kata di buku catatan, di lapang kening, di sudut hening kecuali racau mulut dosen yang sudah berbusa. Arah jam sepuluh seorang Peri tak lagi menari. Kerudung merah marun mendekapnya khusyuk. Seseorang telah dicampakkan: Aku. Seseorang telah didekapnya lagi di antara jemari. Seseorang berkawan sepi, sembilu datang lagi mengiris hati: Aku. Pijar cahaya Peri tak lagi jingga. Air mata khayalku terlepas jatuh satu-satu di atas buku. Pulpen mengguratkan tinta darah. Aku diam batu. Tapi masih ada yang setia walau hati tak lagi biru: Napas.
Dekatku, duduk pria tegap berucap gagap. Memutar-mutar pulpen menerka-nerka setiap ucap dosen berbahasa alien. Ditangkap dan dituliskannya tanda-tanda dalam catatan. Namun seperti tetap ragu apa ia bisa menerjemahkan makna lagu. Kemudian pulpen menetak di atas jidatnya. Pusing. Di sebelahnya, anak kecil menulis tartil mengulum senyum lewat tembus gelas kaca di matanya. Ia selalu bersujud padaku meminta restu. Dalam kadar langit mengitam, menyorot cahaya muram, ia tetap bersujud padaku. Di sebelahnya lagi, aroma segak tercium. Tatapan tawas seringkali muncul, kadang seringai. Rasa benci belum menguap. Aku dan Peri dilempar batu-batu olehnya. Seperti yang bisa menerka, padahal entah. Aku menaruh curiga. Ia duduk mengambang di udara.
Aku, Peri, dan dia adalah rahasia. Tak ada garis tegas sebenarnya. Namun, seperti seseorang berucap takdir: Aku subjek, Peri objek, dan dia komplemen. Aku raja, Peri ratu, tapi dia bukanlah hantu gentayangan yang minta sesembahan. Mengapa selalu ada peran ketiga di setiap sandiwara? Terkadang jika ada waktu ia menyunggingkan senyum yang berat sambil mengutukku sebagai Malin Kundang. Analogi yang tak tepat. Apa peduliku! Aku dan Peri, kami, biasa bermain-main di balai bambu. Tak ada yang tahu kecuali ruang dan waktu. Bumi tak merestui. Juga dia. Kepodang yang layak pengintai menebar kabar samar ke penjuru dunia. Dia pun menangkapnya. Menerjemahkan bahasa kisah kasih dengan mulut yang dikulum, dan terpancang padanya kutuk maut padaku. Tak ada harmonisasi tangga lagi karena aku memainkan lagu dengan nada minor. Maka, ditulislah aku sebagai onak. Peri tetap peri karena dibalut kerudung merah marun. Aku senyum. Senyum yang gigir hingga luruh semua musim. Dalam salam, pikirannya tetap nyinyir padaku. Aku memelas balas, menyimpan duka, mengusap usia yang senja.
Waktu berlalu. Ada awal ada akhir. Kupulang dengan sebotol bir di tanganku yang rindu peluk dan kecup Peri. Tak ada penjelasan. Tiba-tiba semua kembali berjalan masing-masing sambil terhuyung-huyung. Kabar telah kubur disemayamkan cuaca dan anggur.
Di ruangan ini semua berkumpul, semacam reuni yang tak direncanakan. Aku dan pikiran yang tuba segala tanya. Peri telah hinggap di musim yang lain dan dia, yang duduk di atas udara, seakan tak rela aku ada. Maka kupandangi rasa tawar warna nyawa itu dengan nyata: Aku telah menjadi sepi. Dan sudilah kiranya melepaskan semua peran itu karena cerita telah usai. Anak kecil memanggil-manggilku guru. Kami bercakap. Bercanda. Dia menatapku dengan rasa yang entah.
“Guru, minta uang dong!”
“Untuk apa?”
“Iuran.”
“Ah.. tidak. Aku kan bukan lagi generasi baru.”
“Ga apa-apa atuh.”
“Mending kau ambil saja uangku dari iuran kemahasiswaan. Uangku masih numpuk di sana. Dan sedikit pun belum kuapa-apakan.”
Dia menatapku dengan senyum tertahan. Beberapa gigi muncul bahkan decit seperti burung dan diantarkannya padaku. Dia tersenyum. Aku tersenyum dengan pikiran dan hati heran. Tertahan. Dia tersenyum? Cuaca tidak hujan badai tiada, dia tertawa padaku. Ada apa gerangan? Lapang sudahkah hati berkabut kemarin dulu? Selesaikah sandiwara segitiga tak kentara? Kubalas tawa tanpa ada pretensi. Oh, Tuhan akhirnya menurunkan dunia baru padaku. Aku tetap dengan heranku. Tapi jika ini seyogiyanya harus aku dapat, aku bersyukur karena tak ada lagi siasat atau rasa dendam. Semoga ini jadi pelabuhan penghantar getekku yang baru. Tanganku menjulur tak terlihat bagai ingin berkata: “Terima kasih wahai tawa. Wahai dia yang membuka pintu tuk bercanda. Takkan kumainkan lagi teka-teki cuaca. Biarlah yang akan datang berlalu tanpa harus kita menjadi lagi batu. Terima kasih.”
Satu jam, dua jam, tiga jam pelajaran pun berlalu. Dalam ruang aku hanya bisa mengajukan beberapa pertanyaan tanda belum paham. Memang seperti itu hakikatnya. Selesai kuliah, kulangkahkan gontai kakiku menuju entah dalam balutan surga karena tawa tadi. Tapi selanjutnya kebingungan melanda. Ku-sms Laila. Ia sudah dijemput Nono. Kuikuti langkah Nani, dan Ade. Makan siang! Mencari-cari tempat makan yang alami bahannya. Maka, kami bertemu lotek dan karedok. Dua karedok dan satu lotek kita pesan. Makan. Perut diisi dengan berbagai macam unsur: sayuran, ulekan kacang bersama garam dan gula merah. Sial, Si Ibu menambahkan bawang putih, penyedap makanan yang tak kusuka. Ruang mulutku terasa panas. Kuminum segelas air putih yang tersedia, namun tak hilang. Kita tak berlama-lama. Setelah itu kita putuskan ke perpustakaan. TUTUP.
“Jadi, kapan kita bisa diskusi?”
“Bagaimana kalau besok?”
“Besok siang Nina ada janji dengan teman. Paling pagi.”
Sms kuterima: Bs mnt tlng d antr lg k RS. Td cek drh, trombosit trn. Bsk mst ksn nge-cek hslnya.
“Ade gimana?”
“Ade sih ga masalah. Mau pagi mau siang juga bisa.”
“Aku ada janji pagi. Temen minta anter ke Rumah Sakit.”
“Gimana dong?”
“Ya sudah. Bagaiman kalau kamis aja?”
Okay kalau begitu.”
“Sampai ketemu besok Kamis.”
Kami berjalan pulang. Aku pulang menunggu lagi hari tuk diguratkan. Menanti-nanti cerita apa yang singgah menghias langit yang belum dilukis. Mungkin masih ada tawa yang lain yang abadi bisa kudapat. Bahwa ia menjadi teramat surga walau tak terbahasa, membuatku tahu artinya berkata-kata tanpa harus berbicara. Maka gontai lagilah kakiku ini berjalan. Ade ke arah Timur, Nina ke Utara, aku ke Barat menuju senja.  Angin tak lagi deru mengikuti langkahku. Tawa kudendangkan. Aku pulang mengucap sayang, mengakhiri hari dengan langgam: Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.*[FA]

Lantaidua-Bandung, Maret 2008


*) sebait sajak Sapardi Djoko Damono berjudul “Aku Ingin”

No comments:

Post a Comment