Sunday, February 12, 2012

Dhandhaka

18visions_wallpaper_roses[archives]
Sindang

Pusat khayalku mengunjungimu lebih lama ketimbang cahaya
Arah kiblat ditelikung di bawah ketiak
Ujung rambut pun iman yang terputus
di hamparan padang tandus
Kemudian kubangun upacara dalam sila sempurna
di bawah meja, di antara buku, di lembar halaman seserahan
diamini dengan rasa nyeri berkali-kali
Bukan dengan gula atau susu, tapi dengan langit hitam
menderaskan hujan dari hulu hingga mengalir
gigir takdir pada sebentuk hening
Bulir-bulir hening merayap di atas dinding. Mata berkilat
Ucap tak henti-hentinya bersiasat tentang pucuk mimpi
separas wajah yang lebih bijak ketimbang malaikat
Lalu kuberlari di antara rumah yang membangun perih
menceraikanku dengan kata-kata, sedang langit
berikan juta pesona nyawa bagi para pengharap
Aku bersenda bersama cekung sabda
lekang dimakan waktu menawarkan segala racun
segala madu segala tawar di tubuhku
Aku menunggu. Namun entah apa yang kutunggu
Cahaya hanya bermain-main empedu
Hilang seluruh sukma. Tubuh tak lagi bermandikan matahari
karena gelap telah memulas paru-paru langit penuh bulu
Apa benar yang kukunjungi itu dirimu?


Musim Keranda

Tak ada lagi akrab tatapan di antara lengang gang
setelah riwayat ditukar dengan keasingan
Kuberjalan menghitung langkah satu-satu ke arah entah
Seperti mengeja kembali nama sendiri dari belakang
lantas menuliskannya di sudut kelambu dan pigura keluarga
Atau barangkali belajar membuka kunci pintu dan laci
Meletakkan buku penuh debu sebelum membakarnya
sebagai waktu. Di atas, mega tampak tak ingin mengalah
di langit sajadah. Angin memeluk wajahku yang tak terbaca
mengusutkan dada sedang perjalanan belum sampai
Tujuan belum dituai. Musim keranda. Suara seakan berat
membubuhkan kalimat di cuaca pertama. Alenia tenggara
Aku berjalan menundukkan kepala. Membaca riak benak
Gelagat tak tegas sonder berita. Hari terkelupas
di ketulusan telapak tangan. Keringat kutanggalkan
Ingatan kuhapus dalam pupus dalam bayang
Dalam istirah menantiku meninggalkan sejenak pusat khayal
dan berharap pelukan putih singgah mengucapkan salam
padaku yang tak jemu menggenggam jam penantian


Pematang Luka

Ingat sawah. Kakek berjalan menyiangi hari
Menanam mimpi di seludang padi
yang kubantun dalam bulir-bulir puisi
Itu adalah warisanku, dulu, ketika nenek senang mengaji
menghafal nama-nama nabi di atas rumah panggung
dan musim datang dengan permisi
Mengetuk pintu, jendela dan tali ari-ariku
Kakek selalu berjalan ke barat setiap pagi
Menabur bayang-bayang yang tak pernah bisa
dilangkahinya sekalipun dengan berlari
Nenek lain lagi. Lesung adalah genderang subuh
yang selalu dibunyikannya. Tanda bahwa
bunga masih mekar dan dituai di dadaku
Namun sekarang potret itu telah buram
semenjak ayah membawa televisi
Membunyikan radio dengan berbagai frekuensi
yang membuatku selalu nangis dan merasa najis
Kakek dan nenek pun terpaksa harus berdiskusi
soal rumput yang tak lagi hijau, ternak tak lagi beranak
dan pematang-pematang luka di urat nadi yang lelah
Kini lanskap desa terbentang hanya dalam ingatan
Sawah di atasnya lembu berjalan dengan gagah
dalam balutan dasi warna-warni. Dan aku tersadar
bahwa tubuh ini pun akan memudar
Seperti warisan itu yang selalu tampak tak tegar


Fragmen Perjalanan
           
(1)
Pagi masih merdu ketika sebentuk senyum
menyambutku lewat hangat cuaca
Matahari yang sumringah
Bagai ibu yang memapahku meninggalkan masa:
Tangisan pada lengan, rengekan dan sakit
di ujung ranjang. Tapi ini adalah perjalanan
ketika di setiap tangan terbaring kembang
atau mungkin pedang. Siang pun berkibar
dan doa jadi menara. Bukit mungkin cita-cita
Tapi garis tangan takkan pernah bisa terbaca

(2)
Pagi melebur di antara langkah lamur
Daun-daun menyembunyikan cahaya
Tangan yang terkepal pun jadi kegelisahan
di saat pohonan mengakrabi nama kita
Bertunas, bertumbuh dan rapuh
di antara tubuh yang julang di gelap kata
Barangkali pada tumbuhmu kita adalah saudara
Namun tegakmu adalah kita yang terus beranjak
Berlari menuju cahaya di ujung muara

(3)
Pagi yang sendu ketika aku duduk
di antara dua kayu, menikam mata nanar
menghantar gebalau risau. Entah pada arah yang mana
angin meninggalkanku di antara belukar rimba dan perdu
Perjalanan terpaku dan waktu yang mereda
Gelisah pun kita jadikan api unggun
Tapi kulihat embun menyimpan air mata kita
Memanjatkan doa kita yang purba
bagi tubuh yang menyusut

Gn. Tangkuban Parahu-Panaruban, 2010

Narasi Api

Siapa lagi yang mesti kutemui selain engkau
ketika hari membawa gelembung-gelembung pagi?
Aku pun diam di depanmu tungku penuh abu
Menciptakan anak panah memecahkan gelembung itu
Sedang, betapa tabah kau menjaga merah kayu
untuk tetap nyala bagai matahari dan di belakangmu
anyaman-anyaman bambu pasrah endapkan dosa
Purbapun menjadi waktu yang tak kenal usia
Dalam gairah batu angkuh tubuhmu
kesetiaan tak lagi punya malu

No comments:

Post a Comment