Oleh: Firman Nugraha
Di dunia kepenulisan, istilah epigon seringkali dikaitkan dengan plagiarisme. Apabila plagiarisme merupakan tindakan menyalin atau “mencuri” karya orang lain dan mengklaimnya sebagai karya sendiri; maka, epigon lebih kepada tindakan mengikuti atau meniru karya orang lain, khususnya dalam sudut pandang artisitik atas karya (sastra) tersebut.
Kata ‘epigon’ berasal dari bahasa Yunani (epigonos) yang berarti keturunan, sedang dalam bahasa Sanskerta berarti nurun. Dalam tingkatannya, kata ‘nurun’ bisa menjadi ‘nurun sungging’ apabila peniruan yang dilakukan sama betul dengan karya aslinya. Dan inilah yang membuat epigon berubah menjadi plagiarisme, meski tidak berarti bahwa seorang plagiat berasal dari seorang epigon. Namun, akan lebih baik lagi jika tidak menjadi keduanya.
Ketika berbicara ‘meniru,’ tentunya, berarti ada yang ‘ditiru’. Tulisan ini sengaja membedakan epigon (peniru karya) dengan plagiat (pencuri karya) mengingat epigon hanya sebentuk ketidak-mapanan dalam mencipta karya. Sedang, plagiarisme jelas-jelas masalah serius karena merupakan sebuah tindak kejahatan intelektual.
Apabila dalam proses epigonisasi ada semacam tindakan pemersepsian, maka dalam plagiarisasi proses itu tidak ada. Kalau pun ada, sangat kecil sekali kemungkinannya. Inilah yang menjadikan plagiarisme menjadi tindakan yang tercela, terlebih di dunia pendidikan dimana intelektual mestinya bisa menjadi mahkota yang berwibawa dalam menjaga dan membuktikan keilmuan seseorang, bukan hanya sekadar copy paste (salin-temple).
Secara tidak disadari, para penulis atau pengarang yang sudah besar namanya –dalam sebuah proses kreatif yang digeluti—biasa memiliki panutan dalam dunia kepenulisannya. Ini dapat disaksikan dari bagaimana mereka mensibatkan panutannya sebagai sumber inspirasi, ilmu dan motivasi. Bagaimanapun juga, keterpukauan menjadi stimulus seseorang dalam melakukan apa yang ia senangi setelah “bertemu” dengan panutannya.
Ide-ide pun bersliweran hingga pada akhirnya keinginan untuk melakukan yang sama muncul lewat ekspresinya dalam mencipta. Sejauh itu, tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukannya. Yang salah adalah, ketika seseorang tidak lagi menjadi pengikut, melainkan menjadi orang kedua dari satu orang yang sama. Identitas salinan. Percis dengan copy-an dari buku asli yang warnanya tidak cerah dan jelas, tetapi buram. Sungguh tidak enak dibaca, terlebih disimpan sebagai koleksi.
Dalam proses epigonisasinya, ada tindakan daur-ulang di sana. Pengolahan dan pemersepsian. Sekeras mungkin menelurkan ide yang berasal dari induk ayam yang sama. Hal ini tentu berbeda dengan plagiarisasi dimana karya benar-benar dicomot dan dicaplok. Yang lebih miris adalah, ketika hasil karya sebangga-bangganya diklaim sebagai karya sendiri. Dalam dunia kepenulisan, apalagi sastra, hal demikian menjadi ketakutan tersendiri bagi setiap penulis –entah penyair, cerpenis atau eseis—hingga saat ini. Karena jika demikian kenyataannya, maka dapat dipastikan bahwa perkembangan sastra negeri ini menjadi stagnan dan akhirnya hanya diisi oleh saduran-saduran saja (Plagiat dan Apresiasi Sastra: Subakastawa, 2002).
Setiap orang memang belajar. Tapi apalah artinya belajar jika tidak bisa original? Asli? Tidakkah itu namanya membuang-buang waktu, tenaga dan pikiran? Mochtar Lubis yang sangat terkesima dengan gaya penulisan, belajar pada Ernest Hemmingway. Leo Tolstoy yang akhirnya memiliki sifat nasionalisme, belajar pada Rousseau. Sapardi pun belajar dari terjemahan-terjemahan puisi yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Mereka belajar dari orang besar dengan karya-karya besarnya. Namun demikian, mereka pun memiliki jati diri dan identitas sendiri lewat karya-karyanya lantas jadilah mereka besar.
Sungguh, tidak ada yang salah dengan menjadi epigon selama ia menyadari bahwa dirinya masih berada di ketiak orang lain, hingga pada akhirnya ia bangkit dengan identitasnya sendiri. Layaknya seekor kuda, terkadang ia harus mendapat cambuk dari sais agar dirinya bisa berlari kencang. Namun akan bahaya akibatnya jika kuda itu sampai kesurupan karena hanya bisa menurut saja pada sais hingga tak mampu lagi melihat jalan yang mesti ditempuhnya. Sesat arah. Seperti itu juga seorang penulis. Bisa jadi ia akan dianggap “kesurupan” apabila hanya cuma bisa menjadi epigon orang lain tanpa bisa menciptakan ide baru and segar untuk setiap karya-karya ciptaannya.
Ketakutannya –jika diibaratkan sebagai penyakit, ini akan menumbuhkan sikap dan sifat seorang plagiat dimana dirinya tak mampu lagi berpikir dan tak mau repot-repot untuk mencari-cari ide semata agar karyanya bisa booming dalam waktu singkat. Bagaimanapun, tidak ada kebanggaan dan pelajaran untuk sesuatu yang instan. Bukankah hidup itu sendiri adalah proses? Dan tidak mungkin, untuk menjadi diri sendiri, dilakukan dengan cara tidak terpuji seperti itu (?)
Sejatinya, dewasa ini, terlebih plagirisme, epigon pun telah menjadi sesuatu yang dipandang sebelah mata. Sesungguhnya, tak ada yang namanya perkembangan untuk sebuah jipakan. Dan oleh karena itu, tak ada kebanggaan.[]
Subang, 17 Oktober 2011
*) Tulisan ini dimodifikasi dari artikel berjudul “Menyoal Sastra Epigon” dari penulis yang sama (2006).
Cara Mengutip Tulisan Ini:
Nugraha, Firman. (2011). Tentang Epigon dan Plagiarisme. Dalam Saswaloka. Diambil <sesuaikan